Detak 43 - Luluh

303 22 4
                                    

Fajar telah terbaring diatas ranjang itu, ditunggui oleh Amil. Tadi Amil membawa pria itu ke kamarnya lewat rooftop, membersih dan mengeringkan tubuh kuyupnya, memberinya pakaian hangat, Fajar dilanda oleh demam rupanya. Bagaimanapun juga imun tubuhnya masih rentan, dan telah diguyur hujan yang lebat pula. Di kening pria itu menempel kompresan penurun panas.

Amil memandang sosok terpulas Fajar tanpa berkedip, ada rasa yang menyayat-nyayat hatinya.
"Jar, mungkinkah kita masih bisa bersama kembali? Kau telah dimiliki oleh Susi, apakah aku tak keterlaluan jika masih mengharapkan dirimu yang telah menjadi suami orang? Ya Tuhan, semakin lama aku memandangnya semakin besar harapku untuk memilikinya. Jar, andai saja kita hidup di negeri yang lebih terbuka, maka aku tak akan ragu untuk memperjuangkan cintaku" Amil tenggelam dalam kahayalannya sendiri, entah mengapa sejak beberapa hari ini rasa bencinya terhadap Fajar mulai mengikis. Padahal niat awalnya kembali ke kampung itu ialah untuk membalaskan semua rasa sakit hatinya yang dicampakkan Fajar demi menikahi Susi. Tanpa terasa air mata Amil meleleh mengenang masa-masa indah mereka berdua.

"Jar, asal kau tau, cintaku kepadamu bukan seolah-olah. Andai saja aku yang menjadi pendampingmu, jangankan raga dan harta, mati untukmu pun aku rela"

Amil semakin larut akan bisikan-bisikan hati kecilnya, hingga akhirnya dia terlelap sendiri, tidak diranjang dimana Fajar tengah terlelap melainkan diatas satu sofa panjang yang ada di satu sisi dinding kamar.

Jarum jam menunjukkan pukul 3 dini hari, Fajar merasa badannya tak nyaman hingga dia terbangun, kepalanya begitu berat. Diapun bangkit duduk di ranjang sembari memandang berkeliling mencoba-coba mengingat dimana keberadaannya sekarang. Haus... Ya rasa haus menggerogoti kerongkongannya, beruntung diatas meja ada segelas air, dia langsung meneguknya habis.

"Kamar Amil" lirihnya tatkala tau dimana dia berada. Fajar menggigit bibirnya, entah mengapa saat menyadari dia tidur di ranjang Amil dia malah terpikirkan hal yang menyakitkan.
"Ranjang ini telah menjadi surganya Amil bersama Arum, tempat lelaki terindahku itu menggauli sang istri" Fajar menangis, sungguh tiap kali membayangkan Amil melakukan hubungan suami istri dengan Arum membuat perasaan Fajar tercabik.

Fajar kemudian tersadar bahwa di sebelahnya tidak ada Amil.
"Mil, Amil!" Panggilnya, saat itu pula matanya membentur sosok yang tengah terlelap di atas sebuah sofa berwarna biru.

Fajar tersenyum, sejak dulu hingga sekarang wajah Amil selalu berhasil mendamaikan hatinya.
"Kau ganteng Mil, aku suka padamu"

Fajar bangkit dari ranjang, melangkah sempoyongan menuju sofa itu. Dia bermaksud ingin menyelimuti Amil, namun begitu tiba di sofa itu, rasa pusing dikepalanya tak tertahan lagi, dia jatuh terduduk di sofa itu, untung saja tidak menduduki tubuh Amil.

Tubuh Amil menggeliat tak nyaman karena guncangan di sofa empuk itu. Fajar menyumpahi kebodohannya, dia menyesal telah mengganggu tidur Amil yang lelap. Namun deghhhh, ssketika jantungnya berdegup keras. Sepasang tangan Amil tiba-tiba saja menggelung pinggangnya dan membawa tubuh Fajar untuk ikut jatuh terbaring di sofa itu, Fajar kini ada di dalam pelukan Amil.

"Jar, tidurlah. Aku akan memelukmu sampai pagi" lalu cuppp, Amil mengecup ubun-ubun Fajar.

Laksana merekah, jiwa raga Fajar meremang haru, inilah yang dia suka dari Amil. Amil tau cara memanjakannya, sentuhan seperti ini nyaris tak pernah diberikan oleh Susi, sang istri. Bersama Amil, Fajar merasa seperti raja yang dibutuhkan, selalu didengar dan diperhatikan. Sebagai lelaki dia juga butuh sentuhan batin seperti itu.

Fajar tersenyum bahagia, dia pun semakin membenamkan dirinya ke dalam pelukan Amil, andai saja harus  mati sekarang, Fajar rela. Asal di dalam pelukan hangat Amil.
***

Pagi menyingsing,Fajar bangun dari lelapnya, dia terkejut dapati dirinya ada di atas ranjang kembali, padahal jelas-jelas tadi malam dia tidur di atas sofa, di dalam pelukan Amil. Tidak mungkin semua keindahan dan kehangatan tadi malam itu cuma mimpi.

"Kreekk" pintu kamar terkuak, masuk seorang lelaki ganteng dengan singlet dan bokser, ditangannya ada sebuah nampan berisi dua gelas susu dan sandwich buat sarapan. Amil Arruhi.

"Selamat pagi. Namamu saja yang Fajar, tapi bangunnya kesiangan"
Sapa Amil dengan sedikit meledek.

Fajar tersenyum, sumpah, andai saja setiap bangun pagi ada Amil disisinya tak terlukis betapa bersyukur dan semangatnya dia menyambut hari.

"Pagi juga Mil" sahut Fajar.

"Bersih-bersih dulu yuk, kita sarapan bareng"

Fajar mengangguk.

Amil meletakkan nampannya di atas meja di depan sofa. Kemudian dia menghampiri Fajar, membantu memapah pria itu ke kamar mandi.

Di kamar mandi, Amil membantu Fajar buat cuci muka, memberikan pasta gigi, juga membersihkan telapak kaki.

"Sungguh, berbeda sekali perlakuan Amil dengan Susi. Dia benar-benar tahu bagaimana cara merawat seorang lelaki"

Selesai cuci muka. Amil membawa Fajar menuju sofa. Di sana mereka menikmati sarapannya. Beberapa sandwich dengan isian sayuran sehat, telur, potongan daging dan saus penambah rasa.

"Pantas saja badanmu bagus, kau tampak awet muda. Kau benar-benar menjaga pola makan" ucap Fajar setelah menelan kunyahannya.

"Ah enggak juga, sebenarnya pola makanku sama. Kalau pengen jajan diluar ya aku pergi makan jajanan. Tapi aku imbangi juga dengan olahraga, beruntung aku memiliki badan yang gak mudah gemuk walau aku makan sebaskom penuh"

Fajar tertawa mendengar perkataan Amil tadi.
"Mil..." Panggilnya dengan menatap lekat pada pria itu.

"Hmmmm" sahut Amil dengan gumaman, dia tengah menikmati susu.

"Andai saja setiap pagiku dimulai seperti ini, sarapan dan mengobrol denganmu. Sumpah, bekerja banting tulang sampai mandi darah pun akan aku tempuh. Asal setiap hariku ada kamu"

"Udah Jar, kita nikmati dan jalani saja apa yang ada" Amil malas berandai-andai, jika dulu saat SMA mungkin dia adalah pria paling bucin, maka sekarang dia mencoba untuk lebih menggunakan logika. Memiliki Fajar kemungkinannya kecil, bahkan nihil.

"Kau benar, tapi kau jangan marah ya jika mungkin besok-besok di setiap pagi aku akan sering mengintipmu dari luar pagar"

"Buat apa?" Amil terheran.

"Kau penyemangat daya juangku"

Amil terkagok, hampir saja dia keselek.
"Gombalmu gak ngotak"

"Aku enggak gombal. Aku bersungguh-sungguh" tegas Fajar,

Duh, kok Amil deg-degan ya?
"Baik, akan ku tunggu sosokmu besok dari atas rooftop. Awas saja kalau kau tak ada diluar pagar"  ancam Amil.

Fajar tersenyum.
"Pegang kata-kata ku, kalau aku bohong, maka kau boleh menciumku sepuas-puasnya"

"Hei, siapa juga yang mau menciummu!" Kaget Amil, janji seperti apa itu?

Fajar tertawa begitu bahagianya, dan Amil tentram mendengarnya.

Selesai sarapan Amil mengantarkan Fajar pulang naik mobilnya, sedangkan motornya dibawakan oleh Pak Narto.

"Maaf Sus, suamimu tadi malam main ke rumah, eh kehujanan. Jadinya terpaksa menginap" jelas Amil.

"Iya gak apa-apa, terima kasih ya Mas Amil. Cuma sedikit khawatir saja, soalnya hape bang Fajar rusak, jadi gak bisa dihubungi" ujar Susi dengan riang berbunga-bunga, sungguh dia selalu senang jika bertemu Amil. Matanya seakan-akan puas dengan memandangi ketampanan pemuda  itu.

"Rusak?" Tanya Amil sambil melirik Fajar.

"Iya, gak tau tuh, kemarin hari dia membanting hapenya, mungkin kalah main slot" ujar Susi dengan merengut.

Amil melirik pada Fajar yang cuma menyengir.

"Ya sudah ya, aku pamit, mau ke kerjaan juga nanti. Semoga cepat sembuh Fajar"

"Udah sembuh kok, kan kau obat mujarab nya" bisik Fajar di telinga Amil.

Gombal.

"Lho gak mampir dulu?" Tawar Susi.

"Lain kali saja ya Sus, takut terlambat" tolak Amil.

Lalu pria itu diikuti oleh Pak Narto masuk ke dalam mobil, dan mobil itupun meluncur menjauh.
***

DETAK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang