2| Sang Hyang Antaboga

164 17 3
                                    

Langit cerah. Kahyangan begitu tenang. Nawang Kencana duduk di tepi kolam sendirian. Gaun kuning dan perhiasan emasnya sangat indah. Kecantikannya yang semurni tawa anak-anak. Yang tatap matanya bisa melahirkan kebahagiaan. Bidadari berselendang kuning yang mengatur kesuburan wanita dan keceriaan anak-anak berdasar perintah Dewi. Dia melongok ke dalam kolam, menerawang kehidupan di bumi.

Istana Kerajaan Niscala sibuk seperti biasa. Dayang-dayang berseliweran, prajurit-prajurit berjaga di sudut-sudut istana. Seperti keraton-keraton Jawa lainnya, istana Niscala yang berdiri di tanah seluas 420.000 meter persegi dengan ratusan kompleks bangunan. Menjadikannya keraton paling luas nan megah di tanah Jawa. Bangunan utama biasa disebut Balai Agung, yang mencakup ruang tahta dan kantor para penasihat kerajaan. Kediaman Prabu dan Permaisuri dibuat bersebelahan. Lalu ada bangunan khusus untuk putra mahkota. Ada juga Keputren, kediaman para selir dan putri kerajaan yang di belakangnya ada kolam seluas 6,5 hektar. Di paling depan ada benteng tentara untuk berlatih. Istana besar itu dikelilingi tiga lapis tembok tinggi, yang pertama yang paling tinggi dan paling luar adalah pagar zona bebas yang bisa dimasuki masyarakat umum. Lapisan kedua adalah untuk benteng dan zona militer. Dan yang terakhir untuk membatasi bangunan inti istana. Ada empat gerbang di setiap arah mata angin yang gapuranya tentu saja bergaya Jawa yaitu gerbang yang seperti terbelah. Gerbang utama dekat benteng tentara langsung menghadap ke kota Pastika, ke utara, ke sungai Bengawan Solo. Gerbang lainnya ada di timur dan barat. Yang jarang dibuka adalah gerbang selatan yang memang berbatasan langsung dengan padang rumput sebelum menuju hutan kdi kaki gunung Lawu.

Pandya Wijaya kini sudah tujuh belas tahun, putra Permaisuri Sumitra itu tumbuh menjadi pemuda tampan nan hebat. Dia sungguh pintar dalam sastra dan ilmu ketatanegaraan, dia juga seorang ksatria yang pandai bermain pedang. Bagaimana tidak? Dia berguru pada Resi dan Ksatria terbaik negeri ini. Asupan makanannya pun selalu dijaga. Hidupnya dijamin, karena dia adalah masa depan negeri. Dia adalah Putra Mahkota, menggantikan abang tirinya, Arya Wijaya, yang sudah dianggap mati tujuh belas tahun lalu.

Radhityajaya amatlah bersedih atas kepergian putra sulungnya. Piyama sutra milik Arya yang ditemukan di tepi sungai Bengawan Solo menjadi satu-satunya bukti akan meninggalnya putra sulungnya itu. Selama seratus hari prajurit menyusuri sungai besar nan terpanjang di Jawa itu. Ratusan kilometer mereka arumi, tapi tetap saja nihil. Keluarga Penasihat Keuangan semuanya dihukum mati karena dituduh dalang dari semua ini. Sang Ratu dan Patih Kebo Abang sama sekali tak tersentuh. Kalaupun terungkap, apakah iya, Radhityajaya mampu menghukum istrinya sendiri? Walau rambutnya sudah beruban, ia tetap mampu menopang mahkota berat yang senantiasa ada di kepalanya. Menjadi raja paling bijak semampunya, walau abdinya sangatlah korup. Waktu menelan kebijaksanaan sang Raja.

Sementara istrinya, Sumitra, lebih sering diabaikan raja. Walau sudah melahirkan putra dan menyingkirkan selir kesayangan suaminya, dia tetap menjadi Ratu yang kesepian. Radhityajaya lebih memilih sibuk diruang tahta dan saat lelah dia mendatangkan gundik-gundiknya. Ya, dia lebih memilih pelacur daripada istrinya. Karena itu, seperti pagi ini, seorang gadis muda yang melayani Radhityajaya semalam dipanggil Sumitra.

Gadis itu dengan gemetar menghadap Sang Ratu yang duduk di balik meja makannya. Sumitra dengan santainya memakan nasi, sayur, dan daging ayam yang semuanya tanpa bumbu rempah-rempah. Dia menatap gadis itu lamat-lamat, meletakkan sendok emasnya, dan mendekat. Kebaya hijau polosnya kalah mewah dengan pakaian pelacur itu. Sumitra menjalankan sumpahnya pada Dewi Hariti untuk berpuasa rempah-rempah dan tidak memakai perhiasan. Akibat sumpahnya itu dia sering menjadi bahan gosip di antara dayang-dayang istana. Karena tidak meminum jamu untuk merawat dirinya dia menjadi cepat tua, lihat saja keriput di sudut matanya dan uban itu. Dia tidak tampak seperti ratu. Pengorbanan dan cintanya hanya menjadi bahan olok-olok saja.

"Siapa namamu, Nimas(nona)?" tanya Sumitra ke gadis itu.

Dengan gugup dia menjawab, "Sari, Kanjeng Ayu(Paduka Ratu)."

Jaka Tarub dan Tujuh BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang