13| Ada yang Disembunyikan

53 9 0
                                    

Pagi itu saat warga desa berbondong-bondong ke sawah atau ladang, dan para pemuda pergi ke pendopo untuk belajar, Jaka Tarub bersiap-siap pergi ke hutan untuk berburu. Dari teras rumah reotnya suara batuk Mbok Mila terdengar makin sering. Jaka yang sedang menghitung anak panahnya termenung sejenak, uang dan berasnya telah habis. Tak ada yang tersisa untuk makan atau membeli obat. Jika dia tidak menangkap sesuatu hari ini makan mereka berdua hanya akan memakan ubi bakar seperti tiga hari belakangan ini.

Dia melesahkan nafas jengah sambil memasang panahnya. Dia berteriak ke dalam, "Mbok, aku pergi dulu!" Setelah itu dia menutup pintu dan mulai berjalan menuju pepohonan pinus yang rapat. Sebelum dia meninggalkan halaman matanya menangkap siluet seseorang semak-semak. Pastilah itu orang suruan Kepala Desa untuk mengawasinya, ayah Panji itu masih menuruti perintah Tumenggung Semut Ireng. Selain itu dia juga penasaran kenapa Jaka Tarub menjadi perhatian orang penting.

Jaka menghelan nafas pasrah. Dia membiarkannya begitu saja, toh Karsa tidak pernah muncul dalam sebulan ini. Dengan tegap dia memasuki hutan.

***

Balai Agung Istana kembali mengadakan rapat atau lebih tepatnya persidangan. Para pejabat dan Tumenggung berbaris rapi di kedua sisi ruang tahta. Radhityajaya duduk agung di singgahsananya dengan Pandya berdiri di sisi kanannya dan patih Kebo Abang di sisi kiri.

"Baginda Prabu." Semut Ireng melangkah maju. "Tumenggung Pembangunan dan beberapa pejabat terbukti bersalah. Mereka telah melakukan korupsi dan menyelewengan kas kerajaan. Raden Pandya benar-benar menyelidikinya dengan sangat detail."

"Berdasar hukum negara, hukuman bagi Tumenggung Pembangunan adalah dipenggal," sahut Patih Kebo Abang.

Radhityajaya menggenggam erat sandaran tangan singgahsananya. "Maka hukuman bagi mantan Tumenggung Pembangunan dan pengikutnya adalah dipenggal," putusnya final.

"Ayahanda, bolehkah aku bicara?" Pandya berbisik pada sang Prabu.

"Silakan."

Pandya menatap para pejabat, suaranya menggema lantang. "Tumenggung Pembangunan dan semua yang terbukti bersalah besar... Untuk memberi pelajaran pada para pejabat di seluruh negeri dan untuk mendapat kayakinan dan kepercayaan rakyat... Aku sarankan, eksekusi dilakukan di pendopo gerbang istana."

Seketika ruangan riuh. Para pejabat saling berbisik.

"Itu berlebihan, Pangeran Pandya," gumam Radhityajaya.

"Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang besar, Ayahanda. Kita harus menumbuhkan rasa takut agar rakyat berpegang teguh pada hukum dan keputusan tahta kerajaan." Pandya bersih keras.

"Aku tidak akan mempertontonkan eksekusi ke publik. Tidak selama aku menjadi Rajanya, Anakku." Nada itu absolut. Tak bisa dibantah. Radhityajaya kemudian berdiri, sekitika ruangan hening, para pejabat kembali menunduk. "Eksekusi dilakukan dengan tata cara seperti biasanya sore ini!" Suaranya tegas. Lalu dia menatap Kebo Abang. "Jangan ada kesalahan, Patih."

"Sendiko dawuh, Baginda."

Setelah itu Radhityajaya melangkah maju menuruni undakan, terus berjalan membelah barisan pejabat dan meninggalkan aula. Pandya dan semua orang hanya bisa menatap.

***

Matahari meninggi, sinarnya terhalang awan-awan putih. Di istal kuda Pandya mengelus kuda sembraninya. Dia cukup jengkel oleh perdebatan tadi pagi. Diberinya sebuah apel kuda itu. Bercengkrama dengan hewan seperti ini menenangkan pikirannya.

Perhatiannya teralih saat mendengar sekumpulan sepatu kuda. Dia melongok keluar kandang. Kabo Abang sedang memerintahkan semua bawahannya untuk memasukan kembali kuda-kuda ke kandang. Pandya menghampiri.

Jaka Tarub dan Tujuh BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang