Kisah ini terjadi di masa lalu, jauh sebelum Bandung Bondowoso mengutuk Roro Jonggrang jadi arca batu, bahkan jauh sebelum seorang pemuda menakhlukan Tujuh Kerajaan.
Alkisah, saat manusia masih muda, Jawadwipa masih terombang-ambing di lautan lepas. Batara Guru memerintahkan untuk memindahkan gunung Meru di India sebagai paku bumi Jawa. Menjelmalah Dewa Wisnu menjadi kura-kura raksasa untuk menggendong gunung tersebut. Dewa Brahma menjelma ular panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan kura-kura agar tidak tergelincir. Sementara Dewa Bayu bersama para Dewa lainnya dan bangsa Raksasa yang bertugas mengangkat gunung Meru tersebut.
Setelah sampai di Jawa, gunung Meru di letakan di bagian pertama yang mereka temui yaitu sebelah Barat. Namun berat gunung itu membuat ujung Timur Jawa terangkat. Lalu dipotonglah gunung Meru untuk diletakkan di Timur. Selama perjalanan ke Timur gunung itu berguguran sehingga menjadi ceruk, alhasil saat diletakkan miring ke Utara. Akhirnya dipotong lagi dan diletakkan di Barat Laut. Sementara itu, ada daratan yang terpisah dari Jawa, yakni Bali. Gunung Meru pun kembali di potong untuk menyelamatkan Bali agar tak terombang-ambing.
Pangkal gunung Meru di Barat menjadi gunung Kelasa, bagian yang paling besar di Timur menjadi gunung Semeru, di Barat Laut dinamai Pananggungan, dan di Bali di sebut gunung Agung. Sementara guguran selama perjalanan ke Timur menjadi gugusan gunung sepanjang pulau Jawa.
Begitulah lahirnya gunung-gunung di Jawa yang membuat pulau itu kokoh. Tapi ini bukan kisah gunung-gunung suci para Dewa, ini kisah antara manusia dan bidadari.
Selama ratusan tahun, Dewa menguasai tanah Jawa, memerintah dengan sempurna. Namun tanpa disadari selama penancapan paku bumi, ada retakan yang dalam hingga ke Dunia Bawah, tempat para jin dan iblis bersemayang. Selama ratusan tahun pula, para demit menggali retakan itu agar bebas dari neraka hingga akhirnya menembus bumi dan menyebar ke pulau Jawa.
Perang besar antara para Dewa dan bangsa Jin pun pecah. Iblis tahu, bangsanya tak akan pernah menang melawan para Dewa. Sungguh licik akalnya, mereka menghasut manusia yang rapuh hatinya untuk membelot dari para Dewa. Larangan pun dilanggar, kewajiban ditinggalkan. Manusia jatuh dalam dosa.
Perang itu tentu dimenangkan para Dewa, celah berhasil ditutup kembali. Raja Iblis Bondowoso dikurung di gunung Ijen. Namun jin-jin masih ada yang berhasil kabur, dan manusia yang terjerumus dosa tak mau bertobat. Tanah suci Jawa pun menjadi kotor.
Para Dewa akhirnya memutuskan untuk naik ke Mayapada. Tapi bagaimana nasib manusia yang masih beriman kalau Dewa menginggalkan mereka? Ketahuilah, para Dewa tak akan meninggalkan manusianya.
Di antara manusia paling suci dijadikanlah mereka bidadara dan bidadari untuk mengawasi tanah Jawa. Di puncak Semeru, tempat para Dewa naik ke surga, diangkatlah orang-orang suci itu untuk memerintah kerajaan langit oleh Dewa Bayu yang menguasai angin.
Di antaranya ada seorang pertapa yang punya seorang putra dan tujuh putri, merekalah orang yang paling suci, paling setia melayani Dewa.
"Pertapa, majulah kau dan terima wahyu dari Dewa Tertinggi," perintah Dewa Bayu.
Pertapa itu berlutut. Lalu Dewa Bayu memberi tongkat perak padanya. Dengan rendah hati pertapa itu menerimanya, seketika puncak Mahameru bersinar indah, lalu muncullah tiga pasang sayap putih di punggung pertapa itu.
"Kau akan menjadi Bidadara tertinggi, memimpinlah dengan bijak," ujar Dewa Bayu.
Setelah itu majulah putri tertuanya, Nawang Asri. Dia diberi selendang berwarna hijau. "Dewi Sri memilihmu untuk menjaga padinya. Jagalah manusia agar tetap makmur dan sedikit lapar," tutur Dewa Bayu.
Lalu putri kedua, Nawang Kencana, diberi selendang warna kuning. "Dewi Hariti memilihmu untuk menjaga kelahiran anak-anak manusia dan kesuburan wanita demi kelangsungan dunia."
Putri ketiga, Nawang Rasati, diberi selendang biru. "Dewa Indra memilihmu untuk mengendalikan cuacanya, dan menghujani manusia dengan kesenangan atau derita."
Putri keempat, Nawang Manik, diberi selendang warna nila. "Dewa Darma memilihmu untuk menjaga keadilan dunia, dan membimbing manusia yang hidup atau mati."
Putri kelima, Nawang Cende, diberi selendang jingga. "Dewa Surya memilihmu untuk menjaga hari, dan menenangkan hati manusia kala fajar atau menyengsarakan mereka kala senja."
Putri keenam, Nawang Shindang, diberi selendang ungu. "Dewi Pertiwi memilihmu untuk menjaga bumi, dan memelihara manusia atau memberi bencana."
Putri ketujuh, Nawang Wulan, diberi selendang merah. "Dewi Ratih memilihmu untuk menjaga bulan, dan menerangi hati manusia dengan cinta atau patah hati."
Lalu untuk seorang putranya, Dewa Bayu memberikan setangkai bunga edelweis. Saat menerimanya rambut hitamnya berubah warna menjadi perak dan matanya biru cerah. Dewa Bayu berpesan, "Dewa kembar Aswan dan Aswin serta Hanoman memilihmu untuk tinggal di Istana Putih dan mengawasi Raja Jin. Tugasmu akan menjadi yang sangat berat."
Lalu semua orang-orang suci itu meminum seteguk air tirta amerta yang membuat mereka tak menua, umurnya berhenti di saat itu juga. Ketampanan dan kecantikan juga dititiskan pada mereka.
Sebelum naik ke Mayapada, Dewa Bayu kembali berpesan, bahwa keseimbangan dunia adalah yang utama dan para Dewa akan selalu mengawasi.
Akhirnya sang Pertapa dan tujuh putrinya, serta semua bidadara dan bidadari terbang ke langit dan mengawasi Jawa dari Kahyangan. Sementara putra pertapa itu pergi ke gunung Raung untuk mengawasi apa yang mendiami gunung Ijen. Mereka semua tak menua, cantik dan tampan, serta tak memiliki sifat buruk lagi.
Era manusia pun dimulai...
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari
FantasiSiapa sih yang nggak tahu cerita rakyat Jaka Tarub, seorang pemuda yang mencuri selendang bidadari? Selalu dikisahkan bahwa Jaka Tarub adalah pemuda miskin yang baik hati. Tapi pernahkah Anda berpikir seorang pemuda yang baik hati bisa-bisanya mencu...