Kahyangan begitu damai. Nawang Wulan dan Nawang Cende melongok ke kolam memandang pantulan dunia yang berlahan menghilang. Bunga-bunga di taman itu tak pernah kuncup, selalu mekar sepanjang tahun. Semerbak wanginya melebihi taman-taman di bumi. Indah warna-warni seperti replika surga.
Nawang Wulan menghembuskan nafas besar. Kecewa.
"Kolam ini hanya memantulkan bayangan dunia yang perlu kita lihat, bukan yang kita inginkan. Kita tidak bisa sesuka hati melihat manusia atau tempat mana yang ingin kita tonton. Ini bukan pagelaran wayang, Nawang Wulan," ujar Nawang Cende lembut.
"Itulah sebalnya. Kolam ini punya pikiran sendiri," celetuk Wulan.
Nawang Cende hanya tersenyum manis. Hingga tiba-tiba telapak tangannya bercahaya memancarkan warna jingga seperti selendangnya. Mereka berdua sontak menatap langit. Sudah waktunya senja.
Nawang Cende, dialah bidadari jingga atau sebut saja bidadari cahaya. Dewa Matahari memberikannya berkat untuk mengatur cahaya yang menerangi Jawa di siang hari dan menguasai apinya saat malam. Kecantikannya yang lahir dari senja pertama di Jawa dan keanggunannya yang sekuat langit fajar. Dia memang terlihat lemah lembut, tapi jangan pernah membuatnya marah karena dengan jentikan jarinya saja kau akan terbakar.
"Sedang apa kalian?" Nawang Rasati datang bersama saudari-saudari lainnya. "Melihat kehidupan Kerajaan Niscala lagi?" tebaknya.
"Itu adalah tugas kita, Rasati," balas Cende.
"Hujannya sudah kamu redakan, Ayunda?" tanya Nawang Wulan sambil membenahi selendang merahnya.
"Sudah. Dia melakukannya dengan baik seperti biasa." Nawang Asri yang menjawab.
"Kolamnya juga sudah berhenti?" Nawang Manik bertanya sambil melongok ke kolam. Dia berdecak karena hanya menemukan pantulan bayangannya saja di air. "Andai kolam ini bisa kita atur sesuka kita," gumamnya.
"Oh, Manik... Kita adalah bidadari, bukan Dewa. Kita punya batasan untuk melihat manusia."
***
Di Pastika, Pandya sedang sibuk di Balai Agung, memeriksa semua catatan dan pembukuan negara. Di luar hujan sudah reda, langit meremang, tapi Pandya masih betah di sana. Dia malah menyalakan obor dan lilin untuk menemaninya.
Krreekkk!!! Pintu dibuka. Prabu Radhityajaya masuk ke ruangan.
"Kau di sini sepanjang hari. Apa yang kamu lakukan, Nak?" tanya Radhityajaya pada anaknya itu.
Pandya menaruh gulungan lontar yang dipegangnya ke meja. Dia mendekat. "Dari penyelidikanku kemarin di luar istana, aku menemukan banyak kejanggalan, Ayahanda. Ijinkan aku untuk menyelidikinya lebih lanjut."
"Ketika kau duduk di tahta, kau tak bisa memerintah dengan sesukamu. Kita butuh para pejabat dan para bangsawan untuk menjaga kestabilan negeri. Apa yang kau lakukan di ruang tahta tempo hari sangat berani, tapi kau juga menempatkan posisimu dalam bahaya. Kau butuh merangkul mereka semua, bukan menjadikan mereka musuh."
Pandya menatap ayahnya heran. Dia menyadari sesuatu dari penyampaian Raja barusan. "Jadi Ayahanda sudah menduga kalau para pejabat ada yang korup dan menyelewengkan kekuasaannya?" Pandya benar-benar terkejut.
"Politik tidak semudah itu, Nak."
"Tidak, Ayahanda," tukas Pandya tegas. "Politik dan kekuasaan sepenuhnya ada di tangan Raja... di tanganmu. Bagaimana bisa Ayahanda bersikap tak acuh? Kemana Raja hebat yang termasyur itu? Yang kata orang-orang mampu melawan hukum dan tradisi saat mengangkat almarhum Arya Wijaya sebagai Putra Mahkota? Kemana kekuatannya yang mendiamkan semua penjabat bahkan Ratu sendiri didiamkan waktu itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari
FantasySiapa sih yang nggak tahu cerita rakyat Jaka Tarub, seorang pemuda yang mencuri selendang bidadari? Selalu dikisahkan bahwa Jaka Tarub adalah pemuda miskin yang baik hati. Tapi pernahkah Anda berpikir seorang pemuda yang baik hati bisa-bisanya mencu...