Nawang Asri, Cende, dan Rasati sekali lagi menghadap pemimpin Kahyangan. Kubah-kubahnya begitu agung, pilar-pilar raksasa itu berkilau. Aula putih luas itu lengang, dari atas mereka terlihat seperti serangga kecil. Dengan murung mereka semua menunduk, layaknya anak yang meminta tolong pada ayahnya.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan. Takdir telah mengambil Nawang Wulan. Hanya takdir yang mampu mengembalikannya ke Kahyangan," gumam pria berjenggot yang ketiga pasang sayapnya menekuk lesu.
"Maafkan aku, Ayahanda. Ini semua salahku," lirih Asri.
"Jangan menangis. Air mata bidadari yang jatuh akan mengubah dunia, bahkan hanya setetes. Tugas kita adalah menjaga keseimbangan, ingat itu."
"Bolehkah kami sering mengunjungi Nawang Wulan?" pinta Cende.
Pria tua itu tampak marah. Dia langsung menggebrakkan ujung tongkatnya ke lantai yang membuat tiga bidadari itu menunduk takut. "Sudah kubilang, tugas kita adalah menjaga keseimbangan. Kita tidak boleh mencampuri sang takdir. Bidadari yang jatuh perlahan akan menjadi manusia."
"Apa kita tidak akan bertemu Nawang Wulan lagi?" tanya Rasati lirih.
"Turunlah kalian ke bumi. Beri berkat kalian pada Nawang Wulan. Hanya itu yang bisa aku ijinkan. Jangan lagi membahas urusan selain penugasan kalian di aula suci ini."
"Kami mengerti, Yang Mulia," ucap ketiga bidadari itu yang kemudian pergi.
Sementara itu Nawang Kencana, Shindang dan Manik menatap sedih pintu aula Nawang Wulan yang berbentuk bulan dengan warna keemasan.
"Sekarang bagaimana perjodohan manusia di Jawa? Tanpa Nawang Wulan kisah cinta akan kacau," gumam Shindang resah.
"Dewi Asmara pasti tahu apa yang dia lakukan. Kini hanya Sang Takdir yang bisa menghubungkan dua hati manusia," sahut Manik.
Kencana murung menatap patung kecil ditangannya. Dia menghela nafas pasrah dan mengetuk pintu bulan itu sekali.
Pintu itu terbuka. Aula itu tak berubah, masih penuh patung kecil yang saling terhubung benang merah. Kencana terbang dan mendarat di tengah aula, di depan meja berbentuk hati. Patung itu diletakkan di atasnya. Dari langit-langit yang menjulang tinggi turun sehelai benar merah, benang itu seolah hidup dan melilit patung itu hingga dibawanya naik.
"Semoga takdir mempertemukanmu dengan jodoh," gumamnya yang kemudian kembali terbang ke Shindang dan Manik. Pintu pun tertutup kembali.
***
Fajar menyingsing. Ayam-ayam berkokok. Citra terbangun, dia menoleh ke pria paruh baya di sampingnya masih pulas. Dia memberikan kecupan dan turun dari ranjang besar itu. Satu persatu dia memungut pakaiannya yang berceceran dan memakainya kembali.
"Kamu akan pergi?" gumam Radhityajaya yang baru saja terbangun.
"Saya harus segera pergi sebelum ada yang melihat, Baginda," jawab Citra sambil membenahi tambutnya.
"Untuk pertama kalinya aku bisa tidur nyenyak. Kamu tidak perlu takut. Aku akan melindungimu."
Citra tersenyum senang. Dia kembali menghampiri ranjang dan memberi kecupan sekali lagi. "Jangan pernah lupakan malam ini, Radhit," bisiknya genit dengan berani memanggil nama masa kecil raja.
Akhirnya dia pun pergi.
Pagi itu Kebo Abang hendak ke kamar Radhityajaya untuk melihat keadaannya. Dia berpapasan dengan Citra di pintu masuk. Kaget di wajahnya benar-benar sangat jelas.
"Apa yang telah kamu lakukan?" sentaknya tertahan.
Citra malah tersenyum licik. "Kau tidak boleh bicara kasar denganku lagi, Patih. Aku wanita raja sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari
FantasySiapa sih yang nggak tahu cerita rakyat Jaka Tarub, seorang pemuda yang mencuri selendang bidadari? Selalu dikisahkan bahwa Jaka Tarub adalah pemuda miskin yang baik hati. Tapi pernahkah Anda berpikir seorang pemuda yang baik hati bisa-bisanya mencu...