Hari itu cerah, burung-burung berkicau ria. Jaka Tarub keluar dari hutan pinus dan menemukan asap mengepul dari genting dapurnya. Dia tersenyum senang, setidaknya kini ada yang menyambutnya pulang dan menyiapkan makanan enak. Jaka mengikat kuda yang tidak dikembalikannya di halaman rumah dan menghela nafas puas karena berhasil memburu babi besar.
"Wulan! Aku pulang!" serunya sambil melangkah masuk ke rumah dan menanggalkan panah saktinya.
"Masuklah, aku sudah selesai!" sahut Wulan dari dapur.
Dengan senang Jaka pun masuk, aroma sedap membelai hidungnya. Ia langsung tergoda dengan makanan yang ada di meja makan. Berbagai olahan yang tak pernah ia jumpai sebelumnya, sayangnya tak ada daging ataupun ikan, tapi masakan Wulan justru lebih enak dari daging. Makanan-makanan itu seolah datang dari surga.
"Makanlah. Aku harus mandi, badanku bau asap," cetus Wulang sambil menuangkan air dan meletakannya di hadapan Jaka yang sudah duduk.
Jaka sekali lagi tersentuh akan perhatian kecil itu. Dia menatap Wulan dan mendadak tertawa kecil. "Ada angus di pipimu."
Wulan langsung mengusap hidungnya, tapi wajahnya makin tercoreng. Jaka tertawa tertahan. Lalu ia mengeluarkan sehelai kain.
"Kemarilah, aku akan membantumu."
Wulan menggeret kursi ke samping Jaka dan duduk menghadapnya. Perlahan Jaka mengusap wajahnya, begitu lembut dan penuh perhatian. Mereka sangat dekat, hingga saat Jaka menatap balik mata coklat itu ia tercenung. Mata yang begitu indah, cerah bak matahari terbit. Bulu mata yang lentik dan alis yang begitu rapi. Pipinya yang halus seperti sutra. Bibir tipis yang semerah ceri membuat jantungnya berdegup. Entah kata apa lagi yang mampu mendeskripsikan kecantikan itu, Jaka kehabisan kata. Sebuah bentuk kecantikan yang nyaris sempurna.
"Sudah." Jaka langsung memalingkan muka. Gugup.
Wulan berdiri, hendak pergi tapi dengan cepat tangan Jaka menahannya.
"Makanlah dulu. Tidak enak makan sendirian," gumamnya mengawang.
"Tapi aku bau asap."
"Tidak apa." Jaka melepaskan tangannya. Entah mengapa dirinya menjadi sangat canggung.
Wulan pun kembali duduk dan mulai memakan tanpa suara. Hingga akhirnya jaka memulai obrolan lagi. "Aku menangkap babi hutan, kamu boleh memasaknya untuk makan malam."
Wulan menelan makanannya berat. "Maaf. Apa masakanku tidak enak? Aku tidak makan apapun yang punya hati. Jika kamu mau makan daging, bisakah kamu masak sendiri?"
"Kenapa? Kamu tidak makan daging?"
Wulan hanya diam.
Sedetik kemudian Jaka menjadi paham, tidak ada pertanyaan. Dia melanjutkan kembali makannya. "Kalau begitu kita jual saja, sekalian kita jual batu permata yang kamu berikan kemarin. Kamu butuh baju baru, itu kelihatan sangat kuno."
Wulan tersenyum tipis sambil mengusap baju bekas Mbok Mila itu. "Tidak apa. Walau agak kasar tapi ini cukup nyaman. Ngomong-ngomong, kenapa kamu masih berburu? Apa batu yang kuberikan bernilai murah?"
Jaka mengambil makanan lain di meja. "Bagiku berburu bukan hanya demi mencari uang. Selain untuk melatih teknik memanahku, hutan memberiku ketenangan. Berburu adalah caraku berkomunikasi dengan alam."
Wulan hanya mengangguk. Walau dia sedikit tidak setuju dengan cara pandang Jaka, dia mengerti. Begitulah manusia, punya caranya sendiri dalam mendefinisikan sesuatu yang padahal itu tidak cukup baik.
"Masakanmu benar-benar enak."
***
"Teman-teman, aku punya berita bagus hari ini," seru seorang gadis yang dadanya besar bersemangat sambil memasuki kolam paling besar di istana bahkan kerajaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari
FantasySiapa sih yang nggak tahu cerita rakyat Jaka Tarub, seorang pemuda yang mencuri selendang bidadari? Selalu dikisahkan bahwa Jaka Tarub adalah pemuda miskin yang baik hati. Tapi pernahkah Anda berpikir seorang pemuda yang baik hati bisa-bisanya mencu...