14| Ratu yang Tidak Dicintai

59 10 0
                                    

Radhityajaya berdiri seorang diri di ruang tahta. Bumi bergucang hebat membuat lantai dan dinding-dinding retak. Kaca-kaca jendela pecah. Debu berjatuhan dari langit-langit.

Brak!!! Pintu dibanting keras. Radhityajaya terlonjak melihat ke belakang. Asap hijau masuk dan bergerak seperti ular yang terbang mengitari aula besar itu, membuat dinding menghitam dan berguguran.

"Ayahanda! Ayahanda!"

Di singgahsananya Arya kecil berseru memanggilnya. Tubuhnya kering kerontang. Tengkoraknya bahkan terjiplak di kulit wajahnya. Asap-asap hijau mengepung singgahsana. Bocah kecil itu berteriak takut memanggil ayahnya.

"Arya..." guamam Radhityajaya tercekat. Dengan tertatih ia berusaha ke singgahsana. Namun, sebuah suara jeritan menghentikannya.

"Kakanda!"

Dia menoleh kembali ke pintu.

Di sana Selir Kayla masuk berlari dengan gaun putih kematiannya. Lantai terus berguncang hingga Kayla terjatuh dan asap-asap itu langsung mengitarinya seolah menemukan mangsa empuk.

"Kakanda!" Dia kembali menjerit ketakutan. Tangannya ingin meraih Radhityajaya. Namun dengan cepat asap-asap itu masuk ke dalam mulut, hidung, telinga, bahkan matanya.

"Tidak!" Radhityajaya berteriak takut.

"Ayahanda!" Arya kembali menjerit dan asap-asap hijau di sekelilingnya juga masuk dengan cara yang sama. Tubuh kecil itu menggelinjang kesakitan.

Radhityajaya menatap bingung harus mendekati istri atau anaknya. "Aaaaaakkhh!!!" Dia menjerit frustrasi.

Bumi makin hebat berguncang hingga lantai di bawahnya ambruk. Radhityajaya jatuh bersama puing-puingnya.

Dia kembali menjerit. Tubuhnya terus jatuh dalam kegelapan. Tangan-tangan raksasa ingin meraihnya, tapi dirinya terus saja jatuh. Lalu muncullah asap-asap hijau tadi dan langsung masuk ke tubuhnya lewat mulut, hidung, telinga dan juga matanya. Dia menggelinjang kesakitan, seperti ada ribuan jarum menembus dagingnya tanpa ampun.

Di kamarnya, tubuhnya juga menggelinjang. Itu adalah mimpi yang sangat nyata yang ia rasakan. Dia terus menggelinjang hingga mencengkram kuat selimutnya. Dari leher dan tangan timbul pembuluh darahnya, berwarna hitam seperti akar pohon. Dia menjerit kesakitan.

Brak! Pintu dibanting dengan keras. Lalu muncul dua kasim dan langsung berusaha membangunkan prabunya.

"Baginda!"

"Baginda!"

Mereka mengguncang tubuhnya dengan keras. Hingga... "Huaaakk!!!" Dia tersadar dengan tersentak sambil membuka mulut dan matanya lebar-lebar. Pembuluh darahnya kembali masuk.

"Baginda Prabu, Anda baik-baik saja?" tanya seorang kasim.

Radhityajaya tak menjawab. Nafasnya memburu, dia merasakan dadanya sesak. Keringat dingin mengucur dari keningnya.

***

Sumitra mengawasi dayang-dayangnya mengambil bunga-bunga dari gerobak-gerobak yang datang dari kota Menir. Dengan kebaya polos yang ia kenakan ratu itu sangat bersemangat.

"Hati-hati, bunga itu sangat cantik. Jangan sampai layu esok hari. Simpanlah dengan aman," serunya pada dayang-dayang.

"Ya, Kanjeng!"

Sementara itu tak jauh dari sana, Citra dan para gadis yang juga tinggal di keputren sedang berjalan-jalan membagikan gosip terbaru bahwa setiap gadis bangsawan di kota telah membeli gaun-gaun terbaik untuk pesta esok.

"Lihat! Bukankah itu Ratu Sumitra?" seru gadis yang paling tinggi. Yang lain ikut melihat kemana telunjuknya mengarah.

"Ratu pasti sedang mempersiapkan pesta besok. Perlukah kita membantunya?" cetus gadis berdada besar.

Jaka Tarub dan Tujuh BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang