12| Tusuk Konde Perak

66 10 0
                                    

Ruang tahta dipenuhi para penasihat dan pejabat istana yang berbaris rapi di kanan dan kiri. Prabu Radhityajaya duduk gagah di singgahsananya, menerima setiap gulungan lontar yang diberikan kasim. Cahaya mentari menembus jendela ke aula hikmat itu.

"Baginda Prabu." Kali ini giliran penasihat keuangan yang bicara. "Akibat serangan makhluk mistis di seluruh kerajaan, negara mengalami kerugian yang cukup besar. Beberapa pelabuhan penting hancur, kota-kota besar rusak, belum lagi korban jiwa yang cukup banyak di wilayah timur dan barat karena merpati kita terlambat menyampaikan pesan."

Prabu menghembuskan nafas berat. "Berapa banyak korban dalam semalam?"

"846 jiwa, Baginda. Dan, mungkin akan bertambah," sahut Tumenggung Kesehatan dan Kesejahteraan.

"Gunakan kas kerajaan untuk memperbaiki pelabuhan dan kantor-kantor penting agar perekonomian tidak putus," cetus Prabu.

Penasihat keuangan gusar. "Baginda, kas kerajaan semakin menipis. Saya tidak yakin pembangunan akan tepat waktu."

"Kalau begitu gunakan kas pribadi keluarga kerajaan."

"Baginda Prabu?" semua orang terkejut.

"Mulai rencanakan," tukas Prabu.

"Sendiko dawuh, Baginda," ujar Penasihat Keuangan.

"Sendiko dawuh, Baginda," semua orang di aula mengulanginya.

Brrnnggg... Tiba-tiba pintu terbuka. "Putra Mahkota Raden Pandya Wijaya!" seru kasim yang menjaga pintu.

Semua orang terperangah begitu juga Radhityajaya. Pandya dengan gagah berjalan menembus barisan pejabat. Pakaiannya sudah rapi nan indah dengan mahkota di kepalanya. Dia langsung berlutut di hadapan Radhityajaya.

"Maaf, saya terlambat, Baginda," ucapnya.

"Kamu kembali. Kapan?" Radhityajaya terlihat senang.

Pandya kembali bangkit. "Tengah malam. Saya membantu di kadipaten Tanggul dalam perjalanan pulang, jadi saya tiba sangat larut. Saya tidak ingin membangunkan Prabu dan Permaisuri. Apalagi saya dengar Ayahanda sedang sakit, apakah Ayahanda baik-baik saja?"

Prabu tersenyum. "Aku baik-baik saja, anakku. Kau memang pangeran yang sangat baik. Bukankah begitu, Penasihat Keuangan?"

"Ya, Prabu. Raden Pandya memang putra mahkota sejati."

"Ahahaa..." Radhityajaya amat senang.

***

Di kediaman permaisuri Semut Ireng menemui Sumitra dan Kebo Abang. Aula indah dengan ukiran kayu khas Jawa sebagai dindingnya. Semerbak wangi bunga yang ditaruh di guci-guci menghiasi ruangan. Duhulu bangunan itu megah dengan banyak emas di sudut-sudutnya sebelum Sumitra mengambil sumpahnya. Kini ia selalu tampil sederhana dengan kebaya polos dengan jarik tanpa motif, bahkan tanpa perhiasan satu pun.

"Kau kembali lebih cepat dari yang kukira, Lakeswara," sapa Kebo Abang.

"Aku cepat kembali setelah menemukan hal yang tidak terduga."

Sumitra menaruh tangannya di permukaan meja. "Apa itu?"

Semut Ireng lebih mendekat. "Saya bertemu dengan salah satu anggota serikat Pendekar Hitam. Dia memperingatkan saya bahwa akan ada peperangan."

"Kenapa mereka bertindak sejauh itu?"

"Orang dibalik mereka..." Semur Ireng berhenti sejenak, melirik sekitar memastikan benar-benar tidak ada orang di ruangan itu yang bisa mendengarnya. "Jaka Karsa, putra Penasihat Keuangan yang dihukum mati."

Jaka Tarub dan Tujuh BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang