5| Pendekar Hitam

105 10 0
                                    

Di Penginapan mewah di Jalada, Semut Ireng sedang berdiskusi dengan salah satu orang kepercayaannya. Dia sedang meminum wedang di balkon kamarnya yang mengarah langsung ke taman indah dengan kolam ikan. Langit cerah membuatnya rileks, namun obrolan mereka penuh topik konspirasi. Begitulah pejabat.

"Apa kau sudah tahu siapa pendekar bercaping itu?" tanya Semut Ireng.

Pria gagah itu menggeleng. "Dia menghilang bagai asap setelah malam itu."

Semut Ireng menyeruput wedangnya. "Siapa dia sebenarnya? Dia dan kelompoknya sudah meneror dari satu tahun yang lalu. Pasti ada yang menunggangi mereka."

"Menurutmu, Arya Wijaya masih hidup, Tumenggung?" tanya pria gagah itu was-was.

Semut Ireng menaruh cangkirnya. "Mungkin. Mayatnya juga tidak pernah ditemukan. Tapi, aku cukup yakin pendekar itu masih belum menemukannya. Dan, entah mengapa pendekar caping petani itu tak asing bagiku."

"Lalu apa yang akan kita lakukan?"

"Tidak ada. Kita lihat dan tunggu saja."

Di halaman sana masuklah Anjani bersama Raynar, sang harimau.

"Anjani!" panggil Semut Ireng keras. "Dari mana kau? Ini bukan Pastika. Dan, kau keluar membawa Raynar?"

Anjani mendongak, menatap ayahnya di balkon. "Aku hanya pergi sebentar, Ayahanda. Lagian itu kan tujuan Ayahanda menginap di sini bukannya di keraton kadipaten?"

Semut Ireng berdiri, melangkah lebih dekat ke tepi. "Kita menginap di sini karena Ayah sedang menyelidiki sesuatu. Kota ini tidak kita kenal. Jangan keluyuran. Kau bukan remaja lagi, jadi berhentilah membangkang!" Dia melesahkan nafas jengah. "Harusnya kau tak usah ikut."

Anjani menunduk. Seperti biasa, dia tak akan menang melawan ayahnya. "Maaf, Ayahanda."

***

Di desa Nalin, Jaka Tarub sedang mengintip dari tembok pendopo di mana Panji dan para pemuda lainnya sedang melakukan pembelajaran bersama beberapa resi. Dia berpijak pada papan kayu dan membuat suara aneh agar temannya menyadarinya.

Sudah puluhan kali Jaka melakukannya hingga Panji bisa langsung menoleh. Jaka tersenyum, lalu melambai padanya. Tapi dia masih sangat sebal, dia kembali berpaling dan memperhatikan resi. Jaka tak mau menyerah, dia terus bersuara aneh.

Risih. Akhirnya Panji menyusul, membuat alasan ingin pergi buang hajat.

"Apa lagi yang kau mau, Jaka?" ujar Panji pedas.

"Aku punya sesuatu untukmu." Lalu Jaka mengeluarkan sesuatu dari kantungnya, sebuah biji pinus. "Apa kau ingat saat kita masih kecil? Dulu aku di ganggu anak-anak desa waktu pertama kali datang ke sini. Mereka melemparku ke kubangan lumpur, lalu kau melempari mereka dengan biji pinus dan mengusir mereka. Saat semua anak-anak desa menindasku, kau selalu membelaku. Kau adalah satu-satunya teman yang kupunya. Aku tidak ingin kehilanganmu. Ingat apa yang dikatakan Sang Hyang Antaboga? Kita adalah saudara tak sedarah."

"Lalu mengapa kau mencuri darinya?" Panji masih dengan nada dinginnya.

"Maafkan aku."

Hening. Mereka saling menatap lama. Hingga akhirnya Panji melesahkan nafas pasrah dan merebut biji pinus yang dipegang Jaka.

"Jangan mencuri lagi. Apapun keadaanmu jangan pernah menodai dirimu dengan tindakan seperti itu. Apa lagi mencuri dari Sang Hyang."

Mereka akhirnya saling tersenyum. Berbaikan.

***

Di ibukota Pastika, Pandya memacu kudanya ke utara dengan cepat. Hari sudah sore, harusnya dia sudah kembali ke istana. Tapi siapa yang peduli? Kesejahteraan rakyatnya sedang diancam sekarang.

Jaka Tarub dan Tujuh BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang