7| Cincin Bulan

69 9 0
                                    

Jaka hampir tak percaya pada orang di depannya. Jantungnya rasanya ingin melompat keluar. Matanya memandang nanar. Mulutnya bergetar tak mampu berkata-kata. Dia langsung melompat memeluknya.

"Lama tidak bertemu, Raden," gumam orang serba hitam itu sambil balas memeluk Jaka.

Lama mereka berpelukan, merasakan keajaiban yang mempertemukan mereka kembali setelah tujuh belas tahun. Kemudian melepaskan.

"Kukira kau sudah mati. Aku melihatmu terkena panah Kebo Abang. Aku melihatmu tenggelam di Bengawan Solo." Suaranya bergetar sepenuhnya.

"Aku berhasil selamat. Selama ini aku mencarimu, Raden. Anda benar-benar menghilang tanpa jejak setelah malam itu. Jika Anda tidak mengeluarkan cincin bulan di toko obat waktu itu, aku mungkin tidak akan menemukan Anda," jelas Jaka Karsa panjang lebar.

Jaka Tarub mengeluarkan cincin mendiang ibunya. "Maksudmu ini?"

Karsa mengambilnya, mengelus batu putih bulat di cincin itu. "Batu permata ini konon dari bintang yang jatuh ke bumi. Cincin ini merupakan harta kerajaan dan di hadiahkan pada Selir Kayla, mendiang ibundamu. Aku pernah melihatnya dulu saat sering memasuki istana." Kemudian dia mengembalikannya lagi.

"Jika kamu tahu ini aku, mengapa kamu menyerangku dan Anjani?"

Karsa menunduk. "Karena aku tak yakin waktu itu. Mohon maafkan aku, Raden."

"Jangan panggil Raden. Sudah tak ada yang memanggilku begitu. Terdengar aneh."

Karsa menatap Jaka dan tersenyum. Merasakan bahwa teman kecilnya itu tak banyak berubah. "Apa Anjani tahu Anda adalah Pengeran Arya?"

Jaka menunduk sedih. "Tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya."

"Raden..." Karsa seolah mengerti perasaan Jaka. Kemudian perlahan dia berlutut, lalu mengambil satu anak panah dari pungungnya dan menaruhnya di bawah kaki Jaka. "Aku, Jaka Karsa, sebagai Ksatria Piningit bersumpah akan melindungi dan setia pada Arya Wijaya putra dari Prabu Radhityajaya III, yang merupakan pewaris sah kerajaan Niscala. Aku akan menyerahkan hidupku untuk Anda. Aku bersumpah demi para Dewa yang pernah menempati gunung-gunung di Jawa."

Jaka membeku menatap Karsa yang berlutut di hadapannya. Dia tidak pernah mengira akan ada ksatria yang melakukan 'Amukti Piningit' (sumpah suci ksatria pada pangeran atau putri) untuknya. Nafasnya tercekat, dia terlalu bingung untuk meresponnya. Jaka Karsa tetap berlutut sebelum sumpahnya diterima.

Hingga perlahan dengan suara patah-patah Jaka berikrar, "aku Arya Wijaya, menerima sumpah Jaka Karsa. Aku berjanji untuk menjaga kehormatan dan tidak menodai kepercayaannya sebagai Ksatria Piningit. Aku bersumpah demi para Dewa yang pernah menempati gunung-gunung di Jawa."

Karsa bangkit dengan penuh rasa bangga. Dia menatap Jaka Tarub dengan serius. Katanya, "kita harus mengembalikan tahtamu dan membersihkan nama baik keluargaku yang dihukum mati karena fitnah membunuhmu dan Selir Kayla."

"Maksudmu..."

"Kita akan berperang."

***

Penginapan itu begitu tenang. Obor dan lilir menyinari setiap sudut bangunan. Para pelayan yang kebanyakan wanita berlalu-lalang, seolah malam makin menyibukan. Tapi bangunan yang ditempati Semut Ireng tampak lengang, hanya penjagaan yang lebih ketat.

"Tumenggung." Pria berotot itu mengetuk ruangannya.

"Masuk." Semut Ireng meletakan pena bulunya. Mejanya berantakan penuh lontar, kelihatan dia sangat sibuk.

Pengawalnya masuk ke ruangan, tangannya masih terbalut perban. "Beberapa pengawal yang melakukan misi telah tiba. Tapi, mereka gagal menangkap Jaka Tarub. Pemuda itu dibantu oleh Pendekar Hitam yang anda temui di gubuk tua tepi kota. Sudah jelas dia adalah anggota Pendekar Hitam."

Jaka Tarub dan Tujuh BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang