Prolog

464 38 0
                                    

Suara rintik hujan yang mengenai atap rumah terdengar cukup berisik, suara patahan kayu yang terbakar di perapian membuat anak berusia 7 tahun itu mendengkus kesal karena bosan. Dia tidak pergi bermain lantaran hujan. Tidak ada mainan di rumah tua ini karena ayahnya tidak sempat membawakan sekarung mainannya yang masih tersimpan di kamarnya yang berada di kapal. Anak itu memangku tangan di wajah. Menatap bosan ke arah neneknya yang sibuk meracik ramuan herbal yang nantinya akan dijual di pasar atau hanya sekedar untuk persediaan mereka.

"Nenek, kapan hujan berhenti?"

Sang nenek tidak menjawab. Tapi anak itu tetap terus bertanya. Hingga akhirnya wanita tua itu menyerah.

"Kau sudah bertanya pertanyaan yang sama berkali-kali. Hentikan, kau membuat kepalaku pusing!"

"Hah ... Kalau saat bersama Ayah, pasti aku diajak bermain hujan-hujanan di dek kapal bersama Monster! Lalu setelahnya aku mandi air hangat bersama Ayah. Setelah itu aku akan dibuatkan susu coklat hangat oleh Paman Roo dan mendengar kisah petualangan seru oleh Paman Benn atau paman Lime, sebelum akhirnya pergi tidur!"

"..."

"Tinggal bersama Nenek itu membosankan!"

Si nenek menghela napas gusar. Dia menghentikan aktivitasnya, dan menatap cucunya. "Ayahmu tidak akan datang!"

"Dia akan datang! Nenek kenapa sih, selalu mengatakan hal tersebut?!"

"..."

"Nenek seperti tidak suka dengan Ayah. Padahal kan, Ayah itu baik. Dia tidak pernah marah padaku, kecuali aku memang nakal."

Si nenek kembali menghela napas. Kali ini dia menghampiri si anak tersebut yang terduduk di meja makan. "Ayahmu adalah kapten bajak laut. Semua orang membencinya, Sarah!"

Anak yang bernama Sarah itu mengedikkan bahunya tidak peduli. "Aku tidak membencinya."

Sang Nenek menatap cucunya lekat-lekat. "Dia mungkin baik kepadamu, kepadaku, atau kepada beberapa orang yang mengenal dirinya. Tapi di luar itu, orang-orang yang tidak mengenalnya akan menaruh benci pada ayahmu."

"Kenapa?"

"Sarah, ada beberapa hal yang tidak akan kamu mengerti. Ayahmu memang baik, aku baru menyadarinya. Tapi orang-orang yang tidak mengenal siapa dia belum tentu bisa memahaminya. Suatu saat kau akan paham, bahwa pemikiran orang-orang tidak bisa kita kontrol sesuai dengan kemauan kita. Makanya lebih baik kau bersama Nenek agar orang-orang tidak mencelakaimu, juga tidak mencelakai ayahmu."

"Tapi tinggal bersama Nenek membosankan!"

"Tch! Kau ini!"

DOR!

Suara letupan peluru terdengar di mana-mana. Pandangan Sarah langsung tergantikan bagaikan layar hologram. Kini bukan lagi suasana hujan dengan perapian menyala di dalam rumah, melainkan sebuah pemandangan mengerikan yang menjadi salah satu mimpi buruknya. Nenek tergeletak di tanah dengan darah yang merembes di dada dan perutnya. Beberapa peluru bersarang di dalam tubuhnya, membuat tubuh rentannya tak sanggup menahannya. Sarah terduduk dengan tubuh yang bergetar. Suara teriakan terdengar di mana-mana bersamaan dengan kobaran api yang semakin menjalar melahap rumah penduduk. Sarah memegang tangan sang nenek. Air matanya sudah menetes sedari tadi.

"Nenek, ayo bangun! Kita harus pergi dari sini!"

"..."

"Hiks ... Nek!"

"..."

"NENEK!"

Sarah terbangun dari tidur siangnya saat mendengar suara lonceng pintu toko bergoyang. Seorang pria tua dengan luka codet di wajahnya datang. Dia mengenakan pakaian kimono berwarna ungu, yang langsung bisa Sarah tebak kalau dia bukan berasal dari Dressrosa.

"Selamat Siang. Apakah ... Ada yang bisa aku bantu?"

Pria itu berjalan dengan tongkatnya. Matanya tertutup, ditambah dengan tangannya menggerakkan tongkatnya seakan-akan sedang meraba-raba apakah di depannya ini ada benda yang menghalanginya atau tidak. Sarah meneguk ludahnya. Pria ini buta. Lalu orang buta mau apa ke toko buku? Setahu Sarah di toko buku milik Nenek Rene ini tidak menjual buku khusus untuk orang tunanetra.

"Permisi. Aku ingin membeli buku yang berjudul ini." Pria itu mengeluarkan secarik kertas padanya.

Kertas itu bertuliskan judul buku yang dijual banyak di pasaran. Sarah langsung mengangguk. Dia tidak perlu menanyakan untuk siapa atau bagaimana pria ini membacanya. Gadis itu mengambilkan buku tersebut yang masih disegel oleh plastik. Membungkusnya dengan kantung plastik dan menyebutkan nominal harga yang perlu dibayar. Pria itu pun segera membayarnya. Setelah urusannya selesai dia menenteng kantung tersebut dan berbalik badan hendak meninggalkan toko.

Sarah tidak tega, alhasil membantunya untuk membukakan pintu. Pria itu menatapnya—maksudnya, wajah dia mengarah ke arahnya dan tersenyum.

"Terima kasih, anak baik. Titip salamku kepada orang tuamu."

Lalu pria itu pergi.

Sarah mengernyit. Tidak paham apa yang dikatakan oleh pria buta itu. Orang itu memang buta, tapi entah kenapa dia seperti memiliki mata gaib sehingga bisa jalan seorang diri tanpa menabrak sedikit pun.

Lagi. Apa yang dia maksud dengan orang tua? Benar-benar pria yang aneh. Semoga saja dia tidak kesasar atau paling buruknya menabrak preman agar tidak berakhir buruk.

* * *

Coming HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang