Epilog

287 26 2
                                    

'Halo Sarah. Ini Ibu. Surat ini kubuat untuk hadiah spesial di ulang tahunmu yang ke-17. Semoga saja ayahmu tidak lupa memberikannya dan Ibu juga harap semoga ini bisa membuat ulang tahunmu menjadi begitu spesial.'

'Ayahmu orangnya agak pelit. Tapi dia juga yang paling boros di kapal. Paling berisik. Dan terkadang paling tidak bisa diandalkan. Tapi Ibu yakin, dia bisa menjadi sosok ayah yang dapat diandalkan. Benar kan, Sarah?'

'Shanks itu tidak pernah memperlihatkan rasa sedihnya pada teman-temannya. Dia hanya akan menyendiri di ruangannya dan menghabiskan beberapa botol sake hingga terlelap. Tapi sebaliknya, dia akan selalu membagi kebahagiaan kepada teman-temannya, menghidupkan suasana kapal dan memimpin para kru dengan wibawa yang dia miliki.'

'Ah, Ibu senang sekali bercerita tentang Shanks. Ayahmu itu ibarat penyelamat bagiku. Dia menyelamatkanku dari perbudakan, dan memberikanku sebuah kehidupan yang paling Ibu harapkan. Ibu jatuh cinta padanya saat menatap mata merah gelapnya yang selalu memberikan kehangatan bagi siapapun yang melihat. Bahkan aku selalu berharap jika Tuhan memberikan aku satu lagi kebaikan, ibu ingin sekali hidup dan membesarkanmu bersama Shanks. Pasti akan menjadi hal yang paling manis dalam hidupku. Tapi maaf, Sarah. Ibu tidak bisa mewujudkan harapan itu. Aku harap kamu tidak sedih, ya.'

'Tinggal menghitung hari menuju kelahiranmu. Kami memutuskan untuk menetap di pulau Grassland sejak sebulan yang lalu. Di sini tempatnya sangat bagus. Terdapat padang rumput yang luas serta segerombolan domba yang dibebaskan liarkan. Ibu suka jalan sore melihat-lihat isi pulau bersama Shanks.'

'Halo lagi Sarah. Ibu tidak bisa berhenti menuliskan surat. Sebab Ibu sangat senang kau sebentar lagi hadir di dunia. Ayahmu selalu menangis jika kembali mengingat kapan tanggal persalinannya dimulai. Ibu jadi merasa kasihan harus meninggalkan Shanks. Jaga ayahmu, ya!'

'Mungkin ini surat terakhir yang kutulis. Ayah yang bantu menuliskan karena tubuh ibu sudah terlalu lemah. Maaf ya Sarah. Ibu gak bisa hadir dalam hidup kamu. Semoga dengan kehadiran Ayah saja sudah cukup membuatmu amat bermakna di dunia ini. Sarah, Ibu yakin kau akan tumbuh menjadi gadis hebat dan kuat seperti ayahmu. Dengarkan kata Ayah, jadilah anak yang baik, jangan nakal dan membuat Ayah sedih. Para kru bajak laut Akagami adalah orang-orang yang hebat, mereka pasti bisa menjadi paman yang baik bagimu. Sarah meskipun aku sudah tidak ada, aku akan selalu mencintaimu.'

Sarah menghela napas panjang saat membaca surat terakhir yang bentuk tulisannya berbeda dari surat sebelumnya. Kata ibu, surat itu dibantu ditulis oleh Ayah. Di kertasnya pun banyak noda tetesan air yang membuat tintanya sedikit luntur. Seakan-akan memberitahu jika saat surat itu ditulis, Ayah yang menulisnya tengah menangis. Sarah tidak bisa membayangkan betapa sedih dan hancurnya Ayah saat tahu akan berpisah oleh Ibu selamanya. Pasti membutuhkan hati yang besar untuk bisa bertahan dan menemani detik-detik terakhir sang istri.

Sarah menaruh kertas surat tersebut di sampingnya. Menatap langit-langit kamarnya dalam diam. Mencoba mengumpulkan keberanian lagi untuk membaca surat terakhir. Sebab masih tersisa satu amplop berwarna putih yang terlihat masih baru, berbeda dari amplop lainnya yang terlihat kusam akibat termakan oleh waktu. Sarah bangkit dari posisi tidurnya, dan duduk bersila di atas kasur dan membuka surat tersebut.

'Sarah, ini Ayah. Maaf tulisannya acak-acakan sebab ayah sudah lama tidak menulis dan sedikit kaku menggunakan tangan kanan untuk menulis. Kau tahu, kan Ayah dulunya kidal. Sarah, Ayah yakin kamu pasti sudah membaca semua surat dari Giselle. Semoga apa yang dia sampaikan bisa meluruskan semua kesalah pahaman kita, dan Ayah juga berharap kamu tidak membencinya. Dia yang mempertahankan keberadaanmu, Sarah. Dia juga yang membuat Ayah yakin bisa menjadi yang terbaik untukmu. Maaf kalau aku masih belum bisa menjadi sosok ayah yang baik bagimu. Aku tahu, aku ayah yang buruk.'

Sarah menjeda sejenak membacanya. Dia menarik napas dalam-dalam, matanya tidak bisa diajak kompromi saat tangisnya luruh begitu saja.

'Ayah tidak bisa memasak, tapi Ayah bisa menyeduhkan susu untukmu. Ayah memang buruk dalam menata rambut, tapi ayah rajin menyisir rambutmu. Ayah memang tidak bisa menyanyi, tapi Ayah yakin suara ayah cukup untuk membuatmu tenang saat terbangun ketakutan di malam hari. Saat itu Ayah tidak yakin sanggup mengurus bayi yang baru lahir, tapi Ayah akan mencoba yang terbaik untuk anak Ayah. Maaf ya, jika selama ini Ayah masih kurang. Terimakasih sudah menerimaku menjadi ayahmu. Terima kasih telah terlahir di dunia ini. Sarah, kamu anugrah yang Ayah miliki. Jangan sakit dan lakukan apa yang kamu mau. Ayah akan selalu mendukung.'

Tetesan air mata mengenai kertas tersebut. Sarah kembali menangis. Dia menjatuhkan tubuhnya seraya memeluk kertas tersebut.

Tidak Ayah. Aku seharusnya yang mengatakannya. Maaf telah menjadi anak yang sangat menyusahkan, keras kepala, bahkan tidak pernah mau mendengarkan omonganmu. Maaf telah pergi dan membuat hatimu terluka akan tuduhanku yang tidak-tidak. Maafkan aku telah merepotkanmu. Terima kasih sudah mau merawat dan membesarkanku, menjagaku dan mau menjadi ayahku. Ayah, aku selalu mencintaimu. Berjanjilah untuk panjang umur dan melihatku terus tumbuh. Aku sayang Ayah.

* * *

END

Coming HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang