14; masa lupa

200 13 0
                                    

Don't forget to like this part ⭐

~HAPPY READING~

Dengan modal tekad seadanya, Giri kini akan mengeksekusi rencana yang ia pikirkan semalaman penuh. Remaja dengan balutan jaket denim dan celana levis hitam itu saat ini tengah berdiri di area parkir restoran, menunggu kedatangan sohibnya.

“Woy, lama ya?” Suara bariton menyapa Giri yang langsung terima tos dari kawannya ini, Gemintang.

“Enggaklah, santai. Yok,”

Mereka berjalan beriringan mulai memasuki restoran bintang lima ini, sebenarnya Gemi sendiri tidak tau apa yang akan teman miskinnya itu lakukan ditempat semewah yang mereka pijak. Tapi biarkan dulu lah, kalau disuruh cuci piring jika tidak bisa bayar ya gapapa asal dilakukan berdua. Pikirnya.

“Kita berdua aja nih?” Tanya Gemi saat Giri sudah memilih tempat duduk, pasalnya tempat yang Giri pilih ini tergolong VIP sebab hanya ada beberapa sofa panjang dan meja bundar besar yang nantinya jadi tempat sajian makanan disana.

“Engga, nanti ada yang dateng,”

“Siapa? Gebetan lo? Waah, gabilang bilang lo kalo ada gebetan.”

“Gebetan pala lo kotak! Tunggu aja bentar, tapi lo jangan kaget ya,” Giri mewanti wanti.

“Kaget? Ya tergantung,” ujar Gemi mengambang, “kalo yang dateng waria ya gue jelas kaget, ga nyangka lo udah se–”

“Waras dikit Gem, plis..,” Giri potong ucapan Gemi yang akan tambah mengada-ngada jika dibiarkan.

Hal itu berhasil undang gelak tawa Gemi, lagian sohibnya ini aneh aneh saja. Untung ruang ini privat, jadi tidak malu lah kalau Gemi tertawa dengan tidak santai.

Sampai bunyi decitan pintu yang menghubungkan ruangan depan dengan ruangan tempat mereka berada terdengar, kompak keduanya tolehkan kepala dan dapati sosok gagah Hartono disana.

Pria setengah abad itu tersenyum, satu hal yang Gemi baru tau. Sebab setaunya Hartono itu sosok kejam yang sering Giri sendiri ceritakan.

Hartono melangkah mendekati mereka sendirian, ia menerima jabatan tangan putranya juga satu orang disebelah putranya itu.

“Gemi, Yah,” Hartono mengangguk.

“Ibu sama Adikmu lagi perjalanan kesini,” ujarnya lalu ambil duduk di sofa yang berada didepan dua remaja itu.

Gemi sendiri berusaha mencerna perkataan Hartono, Hah? ini dia disuruh menemani Giri makan bersama keluarga baru Ayahnya gitu?

“Heh, dongo. Jadi kita makan sama Nyokap tiri lo?” Tanya Gemi dengan suara super lirih di samping telinga Giri, hal itu ia lakukan supaya tidak mengundang kecurigaan Hartono. Kan tidak enak saja.

“Iya, tunggu dulu nanti lo tau sendiri siapa orangnya,”

Gemi mengerutkan keningnya, “ngapain juga gue tau, anjir?” Herannya masih dengan suara yang berbisik bisik.

“Ck, sabar makanya, abis ini lo boleh maki maki dia,”

Gemi gagal paham, otak Giri ini diletakkan dimana, sih? Bisa-bisanya mengajaknya melakukan kesesatan begini, hadeh batin Gemi.

“Mak–”

Perkataan Gemi terpotong kala lagi-lagi suara pintu disana terdengar terbuka, kali ini datang tiga orang pelayan restoran pembawa hidangan mereka yang diikuti oleh dua orang lainnya dibelakang.

“Ayah!”

“Halo anak Ayah.”

Dihadapan dua remaja itu tersaji dua pemandangan sekaligus. Pertama, pemandangan menggiurkan yang tercipta dari berbagai jenis makanan yang diletakkan oleh pramusaji, kedua, pemandangan Hartono dan seorang anak kecil yang saling berpelukan. Di samping Hartono juga kini hadir seorang wanita yang tidak asing lagi bagi mereka, terutama Gemi.

Gemi mematung, detik itu juga sendi sendi dan syaraf ditubuhnya seperti tidak lagi berfungsi. Tubuhnya lemas, otaknya tidak dapat mencerna apa yang ia hadapi kini.

Dihadapannya, didepan matanya. Sosok Vira tengah mengoceh ria dengan keluarga barunya. Iya, Hartono suaminya, dan anak kecil laki-laki yang sepertinya anaknya.

“Liat 'kan? Maki maki aja, gue izinin.” Ujar Giri, membuat Gemi kembali tersadar dan membenarkan posisi duduknya.

Remaja labil itu terkekeh, “jangan diem aja Gem, dia ga mungkin untuk ga mengenali lo,” bisik Giri.

Namun, belum sempat menjawab. Hartono sudah lebih dulu membuka acara lunch time mereka.

“Hah.., kita makan dulu aja ya? Nanti baru kenalan dan cerita-cerita, oke?”

“OKEEY!!”

Hanya anak kecil disana yang menyahut, yang lainnya membalas dengan anggukan lalu mulai memakan hidangan didepan mereka.

Selama mereka menyantap makanan bintang lima didepannya, selama itu juga manik mata elang Gemi mengamati gerak demi gerik Ibunya. Ah, ralat, mantan Ibunya mungkin?

Hal itu juga yang membuat remaja delapan belas tahun itu tidak kunjung juga mengunyah makanannya, ntahlah ia hanya ingin memastikan sosok wanita yang masih terbilang cantik diusianya yang hampir berkepala 5 itu benar Ibunya. Gemi benar-benar dibuat heran, apa perubahannya dari anak anak ke remaja se kontras itu sehingga membuat Ibunya sendiri tidak mengenalinya.

Ia jadi lebih percaya ucapan Giri beberapa saat lalu, Ibunya itu hanya pura-pura lupa 'kan?

Acara makan bersama mereka selesai, setelah semuanya sudah meletakkan alat makannya. Hartono jadi yang pertama bergerak, ia memangku putra bungsunya.

“Nah Gufta, ayo kenalan sama Abang kamu,” Hartono menurunkan kembali putranya supaya mrndekat sendiri ke arah anak sulungnya, Giri.

Tidak mau membantah Ayahnya, si kecil Gufta pun mendekati tempat duduk Giri, juga Gemi pastinya.

“Halo Abang, kenalin aku Uta!”

Giri terima uluran tangan kecil itu, “Giri, Senopati Giri. Lo bisa panggil gue Bang Seno,”

“Sama Adiknya kok lo gue si Bang,” suara wanita menginterupsi, Giri menoleh dan dapati sosok Vira yang sedang mengamatinya.

“Ibu ga lupa pernah marahin saya sama temen saya 'kan?” Giri coba ingatkan kejadia di tempat les karate tempo hari lalu.

Hal itu buat Hartono yang tidak tau apa-apa menatap bingung putra sulungnya, sedangkan Virs sudah nampak pias mukanya. Dugaannya benar, Vira sedang membangun image baik didepan suaminya dengan tidak mengungkit kejadian lalu itu. Apalagi dirinya mernah asal memarahi Giri, juga Gama.

“Marahin gimana si? Kita baru ketemu loh..,” Vira coba tertawa, meskipun garing.

“Iya kamu ini ngada ngada aja!” Sentak Hartono, agaknya terpancing emosi melihat sikap anaknya yang asal tuduh begitu.

Melihat itu Giri tersenyum, ia bergerak mendekati Gemi dan merangkulnya. Kali ini ia tidak akan biarkan Vira lari dari kenyataan lagi, biar saja wanita itu malu.

“Berarti Ibu juga lupa ya kalo bro saya ini, anak kandungnya Ibu?”
















3W
Waduh waduh wadidaw

Kamis, 9 November 23
7.30 PM

SEMESTA DAN CERITA [ End✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang