BAGIAN 8: Perdana Wawancara Ridho (Naf POV)

225 11 0
                                    

"Saya pilih nomor punggung 74 ini ada artinya. 74 itu tahun lahir ibu saya, jadi saya pakai nomor punggung 74 saja, karena nomor lainnya udah dipakai pemain lain semua," jelas Mas Ridho dengan logat Surabayanya.

Ini adalah kali kedua pertemuanku dengan Mas Ridho yang cukup terencana. Mengapa terencana? Karena aku harus melakukan liputan, sehingga harus memastikannya dari jauh-jauh hari supaya dia bisa hadir di wawancara. 

Kedua, bisa aku katakan terencana karena Pak Han sudah menentukan wawancara ini harus dilangsungkan kapan, dimana, pukul berapa, hari apa, dan siapa saja yang terlibat. Seakan-akan Pemredku ini tidak bisa tenang jika aku sedang melakukan pekerjaan.

"Bukan saya tidak percaya dengan kamu, Naf. Tapi, persiapan itu penting dan bakal mempermudah kamu di lapangan nantinya." Itu yang dia katakan padaku sebagai penjelasan.

Benar. Aku memang terhitung anak magang semester tujuh yang baru masuk di perusahaan media ini. Jadi, secara pengalaman tentu aku masih sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali. Selain minim pengalaman, aku juga minim pengetahuan soal dunia olahraga, khususnya sepak bola, padahal aku ditaruh di rubrik olahraga.

Aku tidak mengerti apa-apa di dunia yang sedang aku geluti saat ini. Karena secara pengetahuan aku banyak belajar tentang pemerintahan yang lebih banyak bergesekan dengan isu-isu sosial-masyarakat dan juga kritik terhadap keputusan pemerintah.

Di kampus tempatku berasal aku lebih sering ditanya dan bertanya bagaimana pendapatku dan pendapat teman-teman lain soal keputusan kebijakan pemerintah, ketimbang alasan filosofis di balik pemilihan nomor punggung pemain bola. Ah, sungguh berbeda.

Kembali lagi pada narasumber kita yang cukup informatif kali ini. Mas Ridho masih menjelaskan terkait pertanyaan tadi yang jawabannya cukup bisa membuatku menyimpulkan kalau dirinya adalah seorang anak yang sangat berbakti pada kedua orang tua. 

Intinya, dari wawancara ini Mas Ridho adalah mas-mas jawir (sebenarnya aku sebal dengan istilah ini) yang sopan, memiliki tutur kata yang santun, dan dekat sekali dengan keluarga. Oh iya, jangan lupakan juga dirinya menurutku amat religius karena daritadi tiap kali menceritakan pengalaman hidupnya yang menyenangkan selalu terucap kata syukur darinya. Menurutku hal ini jarang terlontar dari gen-Z zaman sekarang.

"Oke, jadi 74 ini nomor keramat ya. Lalu, untuk pertandingan yang akan berlangsung esok hari melawan Persebaya gimana nih? Apakah Mas Ridho bakal tampil all out?" Samberku pada pertanyaan yang tinggal tersisa dua.

"Ya pastinya saya bakal profesional aja selama 90 menit pertandingan. Meskipun rasanya ini sulit bagi saya untuk melawan Persebaya, karena udah main lama di sana. Tapi, sekali lagi saya harus profesional sebagai pemain, syukur-syukur bisa mencetak gol." Dia mengatakan kalimat terakhir sambil tertawa.

Dua pertanyaan terakhir aku lontarkan sekaligus dalam satu waktu karena ini pertanyaan yang jawabannya menurutku cukup bisa ditebak. Soal rivalitas kedua klub dan himbauan bagi para supporter.

"Soal rivalitas si saya pikir udah cukup. Apalagi melihat kejadian kemarin di Kanjuruhan, rivalitas itu tidak ada untungnya, selain hanya membuat kedua klub semakin jauh dan benci satu sama lain. Jadi, tolong untuk para supporter bisa mematuhi peraturan yang udah ditetapin sama Panpel dan jangan ricuh selama di stadion. Itu aja sih, Naf," paparnya terdengar bijak. Tunggu, apa tadi? Dia memanggilku Naf? Apakah dia merasa kami sudah cukup akrab, hingga memanggil nama saja?

Aku lantas menutup sesi wawancara atau bincang santai ini karena akan tayang di akun YouTube media kami. Sepersekian detik kamera sudah berhenti merekam dan kami saling menghela nafas panjang.

"Selesai juga," seloroh Bang Fawzi yang kali ini bertugas menjadi kameramen. Dirinya lantas menghampiri Mas Ridho dan duduk di sampingnya. Mereka berdua terlihat asik mengobrol dan akhirnya aku asik dengan ponsel sendiri.

Saat kunyalakan data, berbagai notifikasi otomatis masuk dan memenuhi layar. Mayoritas adalah pesan WhatsApp dari beberapa orang. Namun, yang segera kubalas adalah pesan dari Pak Han yang menanyakan apakah ada kendala.

Pak Han Pemred

Liputannya gimana? ada kendala?

Anda

Aman, Pak. Berkat persiapan dari jam 6 pagi, heheh.

Kemudian ada juga pesan masuk dari Nia dan Mas Bayu teman magangku di sini. Mereka kebanyakan meramaikannya lewat grub chat yang hanya berisi kami bertiga. Grub ini kami namakan 'Calon Penghuni Surga'. Sebenarnya sangat bertolak belakang dengan isi percakapan kami di sana yang lebih banyak ngomongin orang.

Calon Penghuni Surga 

(Anda, Mas Bay, Niaaa)

Anda

Aku barusan selesai. 

Bersyukur banget dapat narasumber yang informatif gini, semoga betah deh di olahraga.

Mas Bay

Jangan lupa foto, dik. Buat kenang-kenangan.

Aku hanya berdecak untuk menanggapi. Buat apa? Bukankah kedepannya hidupku akan selalu berkutat dengan mereka-mereka ini.

Hendak membalas pesan dari Mas Bayu, Bang Fawzi terlebih dulu menginterupsi. Akhirnya kuletakkan ponsel dan langsung mengalihkan perhatianku padanya.

"Pas banget waktu makan siang. Kita makan dulu ya sebelum balik," ujar Bang Fawzi bersemangat. Aku berpikir sejenak agendaku setelah ini. Tidak ada acara yang mengharuskan ku segera balik kantor, tapi nanti jam 3 aku sudah ada janji untuk bertemu seseorang.

"Nggak bisa ya, Naf?" Tanya Mas Ridho yang membuatku tersadar. Aku langsung menjawabnya, "Oh, nggak. Bisa kok."

Akhirnya, setelah kami memesan makanan kami masing-masing tak perlu waktu lama makanan yang dipesan sudah datang. Kami buru-buru menyantapnya. Makan siang selesai dengan cepat. 

Mas Fawzi terlihat sudah rampung mengemas barang-barang, aku juga sudah selesai merapikan kertas-kertas catatan, dan mas Ridho dirinya sempat pamit ingin ke toilet sebentar.

Merasa tak kunjung kembali, aku dan Bang Fawzi saling lirik. Kira-kira lirikan itu bisa diartikan sebagai sebuah tanda tanya, "kok lama banget si. Jangan-jangan dia balik ngga pamit. Dasar nggak sopan."

Tapi, asumsi itu seakan langsung dipatahkan karena dari arah toilet sana terdengar ada keramaian. Kalian tahu apa? Tanpa kami sadari ternyata seluruh pengunjung kafe dan pegawai sudah antre menunggu untuk minta foto dengan Mas Ridho. Aku hanya bisa tertawa melihatnya, "Astaga Bang, liat... ."

*Bersambung*



Halo...halo... lama banget jeda uploadnya ya. Mohon maaf, semoga siapapun yang masih menunggu ceritanya bisa terobati malam ini
💛✨

Credit pict: detikcom

MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang