BAGIAN 19: Masih Dipercaya

176 12 0
                                    

"La po, Dho mainmu kok kasar banget Ndak kayak biasanya?" tegur Rio Fahmi yang baru keluar dari kamar mandi.

Sore ini kami memang baru saja selesai melakukan latihan ringan. Pelatih membagi seluruh pemain dalam dua kelompok kecil untuk melakukan sparing. Aku ada di tim oranye dan Rio menjadi lawanku di tim hijau. Jadi, kami selama latihan tadi memang berada di posisi yang berlawanan.

"Ah, cuma perasaanmu. Kalau kalah yaudah, kalah aja ta, ndak usah nyari-nyari alasan," sanggahku padanya.

Rio Fahmi masih ngeyel dengan pendapatnya, "Ndak bisa, kamu itu tadi beneran mainnya kasar. Di liga aja kamu nggak pernah loh main kayak gitu, apalagi ini cuma latihan sparingan."

Aku yang masih iseng-iseng bermain gitar menghentikannya. Petikan jari-jemariku pada senar mendadak terhenti karena ucapannya barusan. Aku lantas berpikir, memang benar apa yang dikatakan Rio. Bahkan saat pertandingan resmi di liga pun aku menghindari bermain kasar, tapi tadi rasanya semua pemain yang ada di dekatku pasti terjatuh. Sebabnya karena tackle ku yang kurang bersih atau pelanggaran.

Aku rasa sedikit banyaknya permainanku tadi disebabkan oleh kondisi psikisku yang masih belum stabil. Apalagi setelah kejadian malam itu yang sangat-sangat membekas.

Aku menghela nafas kasar, lalu mengatakan "aku capek, Yo." Dengan penekan betul pada kata 'capek'.

Dia buru-buru menyambar gitar yang sedang kupegang, "kalau capek ya istirahat. Ndak gitaran gak jelas kayak gini. Mirip bocah SMA yang habis ditolak cinta aja!" sindirnya.

Lantas aku ganti melemparnya dengan guling yang ada, "ye! Sok tahu aja bocah ngapak!" balasku.

Rio lalu memainkan gitar tadi. Di luar dugaan, meskipun Rio memiliki suara yang sumbang, tapi petikan gitarnya ternyata lumayan. Dia menyanyikan lagu berbahasa Jawa milik Deny Caknan yang berjudul "Wirang". Aku tahu sekali lagi itu, karena entah kenapa lagu-lagu DC terlalu mudah diingat di luar kepala.

Sampai akhirnya Rio menyanyikan salah satu bait yang bunyinya, "Iki namung masalah tresno, tapi kok yo lara." (Ini cuma masalah cinta, tapi ternyata sakit).

Hatiku kembali mencelos seketika. Iya ya, ini cuma perkara urusan cinta. Tapi kenapa urusannya jadi panjang sampai-sampai memengaruhi performaku di lapangan. Sampai-sampai ada yang menegur pula. Ah, cinta...cinta. Kadang-kadang memang nggak bisa dilogika.

"Tapi tadi beneran kelihatan banget ta, mainku kasar?" pastiku sekali lagi padanya.

Ia mengangguk takzim. Striker sekelas Marco Simic juga tadi cukup kicep saat dihadang olehku, katanya. Aku seperti sudah tidak menganggap mereka kawan, tapi lawan yang sebisa mungkin dikalahkan. Padahal seperti biasanya, kita sebagai pemain paham itu hanya sebagai fun game biasa saja.

Bahkan dia sampai mengingatkan kalau tadi pelatih sampai harus teriak-teriak dari tepi lapangan supaya aku bisa nahan emosi, "Calm Down, Ridho!!!" ucapnya menirukan gaya Coach Thomas Doll.

Benar, aku juga mengingatnya. Kalau sudah begitu artinya memang teguran Rio Fahmi valid. Aku bermain kasar selama latihan tadi.

"Ingat ya, Dho. Dari sparingan tadi juga coach Thomas Doll bisa nentuin Lu layak dipasang lagi jadi pemain apa ndak. Sparingan itu juga jadi salah satu pertimbangan coach buat milih starting line up."

Rio berbaik hati untuk kembali mengingatkanku setelah lama tidak merumput lagi. Barangkali aku lupa, mungkin begitu pikirnya.

"Iyo, paham!" jawabku.

Mungkin melihat video-video Mas Hansamu Yama saat bermain di lapangan bisa sedikit membuatku kembali belajar secara mandiri. Meskipun dirinya kini bermain di klub yang sama denganku, aku masih terus mengidolakan cara bermainnya sampai kapanpun.

Tidak cukup hanya dengan Mas Yama, aku juga mencoba melihat bagaimana gaya bermain bek luar negeri. Diantara banyaknya pemain, Van Dijk adalah salah satu pemain yang paling kuidolakan. Bersama klubnya, Liverpool, Van Dijk selalu banyak menginspirasiku untuk bermain secara lugas.

Pada dasarnya dua pemain itu, baik Mas Yama dan Van Dijk, menurutku memiliki kepemimpinan yang bagus dan gaya permainan yang lugas di tengah lapangan. Dan hal itulah yang terus kupelajari sampai sekarang.

***

Syukurlah, namaku masih terpampang menjadi salah satu yang diajukan untuk bermain kontra Bali United kali ini. Ada setitik perasaan takut bercampur khawatir apabila tidak bisa memenuhi ekspektasi pelatih setelah aku pulih dari cedera. Tapi, pertandingan kali ini adalah pertandingan di kandang sendiri, yang artinya pressure dari suppoter lawan sangat kecil. Aku seharusnya bisa tampil lebih percaya diri.

Saat pertandingan hendak dimulai, di saat itu pula rasanya semua serba jadi yang pertama kali lagi. Gema langkah kaki di lorong menuju lapangan, suara nyanyian para supporter dari tribun yang menyambut, pijakan kaki di atas rumput yang hijau, panasnya lampu sorot yang menyala, dan juga deretan wartawan di tepi lapangan yang sudah siap mengabadikan momen terbaik dari para pemain. Semua jadi serba pertama kali lagi.

Ah, wartawan. Apakah salah satunya ada Naf di sana? Sengaja aku tidak ingin menelisik lebih jauh. Supaya aku bisa fokus bermain lebih dulu. Tapi, jikalaupun memang ada aku ingin melihatnya saat babak akhir dari pertandingan ini saja.

Tak perlu waktu lama peluit panjang telah berbunyi. Penanda pertandingan telah resmi dimulai untuk 45 menit kedepan. Aku bermain dengan semaksimal mungkin dalam tim. Berduet dengan Mas Yama dan Kudela sebagai bek, serta Mas Andritany sebagai goalkeeper tentunya akan menyenangkan di debut pertama pasca cedera. Dan ya, terbukti selama babak pertama aku bisa menikmati pertandingan.

Tapi, saat di babak kedua sekira baru memasuki menit 60-an pergelangan kaki kembali terasa nyeri lagi. Akibatnya aku sempat terpincang-pincang di tengah lapangan untuk mengejar bola. Aku yang tak kuat menahannya, membiarkan diri rebah di atas rumput. Mas Yama lantas dengan sigap menanyakan kondisiku,

"Nggak usah dipaksa lari, Do. Lurusin...lurusin....," ucapnya.

Tim medis dengan sigap datang untuk memberikan pertolongan pertama, sekaligus membuatku harus ditarik keluar dengan alasan untuk menghindari cedera kembali. Aku pun hanya bisa pasrah. Menit bermain yang tidak penuh membuatku sedikitnya merasa bersalah pada tim.

"Wes apik, Do!" (Sudah bagus, Do!) Sambar Rio Fahmi saat aku berjalan keluar lapangan.

Entah posisiku diganti dengan Ferarri atau bukan. Karena perhatianku malah tertuju pada perempuan berambut sebahu yang sedang mengarahkan lensa kameranya kearah para pemain di lapangan. Dia terlihat memukau saat seperti ini.

"Naf," batinku.

#Bersambung#





Setelah ini biarkan Ridho mencintai Naf dalam diam ya, Gais😊✨
Wkwkwk...
Double up utk Minggu ini, gimana perasaan kalian???

Credit pict: bola.net

MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang