PROLOG

1.2K 24 0
                                    

Surabaya, 2037.

Gelora Bung Tomo terasa lebih haru sore ini. Penyebabnya satu, yaitu kabar pensiunku yang telah diumumkan klub seminggu lalu. Dan saat ini adalah momen puncak di mana aku harus memberikan sambutan untuk seluruh Bonek yang hadir. Tapi, di sini—di titik putih tengah lapangan ini, akau mendadak gagu. Suaraku yang lantang di tengah lapangan mendadak hilang. Aku lupa cara bicara dan berteriak yang benar. Entahlah, sesuatu yang abstrak telah membuat kerongkonganku tercekat hingga tak ada satu bunyi apapun yang berhasil keluar. Aku masih diam dengan memegang mic di tangan kanan. Sedangkan, para Bonek yang hadir di stadion tengah riuh dengan tepuk tangan yang semakin menggetarkan.

Alih-alih berusaha untuk bicara, aku malah seperti ditontonkan kembali potongan demi potongan perjalanan selama karir di sepak bola yang tanpa terasa sudah 36 tahun kugeluti. Potongan-potongan itu komplit, mulai dari aku kecil yang hanya bisa berdiri di tribun sana bersama Ayah sebagai supporter; betapa senangnya saat aku didaftarkan SSB pertama kali; betapa mati-matiannya aku saat mengikuti tahapan seleksi untuk gabung dengan Persebaya; debut pertamaku yang takkan terlupakan untuk Persebaya; gabung dengan tim senior Persebaya; betapa gembiranya aku ketika berhasil diundang untuk mengikuti seleksi Timnas; bangganya Ayah dan Ibu saat aku berhasil lolos; dan potongan kisah lain yang dengan sendirinya berputar hingga menjadi satu cerita utuh yang mengantarkanku sampai detik ini. Itu semua membuatku sedikit mengusap mata dengan kasar.

"Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh... ." suaraku bergetar.

"Dulu, saya hanya arek Surabaya pada umumnya yang suka main bola. Tumbuh dan berkembang dengan pertandingan demi pertandingan Persebaya. Hingga akhirnya jatuh cinta betul dengan klub Persebaya." Perlahan sesuatu yang tertahan di kerongkongan itu bisa terurai.

"Selama perjalanan karir di sepak bola ini, saya mendapatkan catatan penting. Bahwa kemanapun saya pergi, saya punya kewajiban untuk kembali. Kembali ke rumah yang telah merawat saya dengan baik. Dan saya sadar, rumah itu ada di sini, di Persebaya," lanjutku.

"Tentunya rumah adalah tempat pulang ternyaman. Tempat kita mendapat cinta kasih yang tak perlu diragukan lagi tulusnya," imbuhku sambil menyapu seluruh pojok stadion yang tiba-tiba menjadi hening.

"Maka, izinkan saya untuk berterima kasih segenap jiwa dan raga untuk Persebaya. Tempat saya bisa merasakan cinta kasih itu tanpa syarat. Sekaligus tempat di mana mimpi saya menjadi nyata. Untuk seluruh Bonek juga Bonita yang tak pernah lelah dengan dukungannya, kalian sungguh luar biasa! Kepada Ibu Ivo Ananda yang terhormat, yang berhasil menahkodai klub Persebaya dengan baik. Kepada Coach Bejo yang telah menemukan saya, kepada... ." Satu per satu coba kusebutkan mereka yang sungguh hadir mendukungku dan berperan penting dalam karirku.

"Untuk keluarga, Ayah, Ibu, Mbak Zela, dan juga bontot. Terima kasih untuk doa dan dukungannya selama ini... ." Pandanganku beralih pada mereka yang berada di tribun VIP dan sedang melambaikan tanggannya ke arahku.

"Juga, terutama untuk istriku dan kedua permata hati yang lucu-lucu. Merekalah detak jantung yang selalu membuatku hidup." Giliran aku yang melambaikan tangan ke arah mereka yang sedang berada di tepi lapangan.

"Terima kasih sekali lagi untuk semuanya atas dukungan yang diberikan, dan hari ini sampailah saya pada perjalanan yang tidak ingin sebernarnya saya temui. Perjalanan yang hanya menampilkan bagian perpisahan dengan apa yang saya cintai. Tapi, saya yakin perpisahan bukan akhir segalanya, tapi awal untuk memulai sesuatu yang sama dengan cara yang berbeda." suaraku masih terdengar serak dan bergetar, namun lebih tegar.

"Untuk itu, saya tidak ingin ada kesedihan juga tangis sore ini." Berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

"Hari ini, Sabtu, 14 Juli 2037, Saya Rizky Ridho Ramadhani pemain Persebaya saat ini, secara resmi menyudahi karir saya di sepak bola secara profesional sebagai pemain. Semoga Gelora Bung Tomo ini tidak akan pernah sepi dengan nyanyian kalian. Semoga Persebaya tidak akan kekurangan talenta berbakat sampai kapanpun. Dan semoga sepak bola Indonesia bisa semakin baik kedepannya. Sekian, SALAM SATU NYALI!!!"

"WANI!!!" balas seisi stadion.

"Wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh... ." Aku nyaris tidak bisa menahan tangis lagi. Melihatku begini, lagi-lagi seisi stadion penuh dengan gemuruh tepuk tangan, siulan, dan teriakan yang bisa kupahami sebagai bahasa untuk apresiasi karirku di sepak bola selama ini dan juga bekal memori indah selama gantung sepatu nanti.

"Sambutannya terlalu puitis, Yah." Komentar Wanita yang tadi berada di tepi lapangan dan kini sudah berada di dekapanku.

Inilah perjalanan panjang yang akan kembali kuceritakan. Mungkin akan lebih banyak dari sudut pandangku. Tapi, jangan khawatir. Cerita juga akan coba diramu dari sudut pandang lain agar seimbang. Selamat menanti kisah demi kisah perjalanan yang patut dikenang. Selamat bersua dengan "Memorabilia".

#bersambung#

Yeayyy!!! Akhirnya berani upload juga, hahaha. Semoga kalian suka dan enjoy sama ceritanya. Happy reading oll~

Credit Pict. Cover: rizkyridhoramadhani

MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang