BAGIAN 7: Best Young Player of The Week

262 12 0
                                    

Empat minggu berlalu dan waktu banyak kugunakan untuk terus berlatih bersama kawan-kawan. Tak sia-sia hal ini membuat klasemen Persija cukup konsisten. Setidaknya dalam lima pekan terakhir ini Persija selalu masuk di urutan lima besar.

Hal lain yang tak luput atas konsistensi tersebut adalah berkat pelatih Persija—Thomas Doll. Pelatih yang kuanggap bertangan dingin itu cukup tegas dalam memberikan arahan tiap pekannya. Apapun itu, baik arahan game plan, porsi latihan, maupun hal sekecil passing bola ia perhatikan betul.

Apalagi setelah kemunculannya di jagat sepakbola Indonesia, ia langsung membuat kontroversi dengan pelatih Timnas Indonesia—Shin Tae Yong. Pelatih yang sedang dielu-elukan di Indonesia tersebut tak luput dari kritikannya.

Meskipun demikian, banyak yang menganggap Thomas Doll berhasil menetaskan 'telurnya'. Dan entah berdasarkan alasan apa hal itu selalu dikaitkan oleh berita dengan diriku. Thomas Doll seringkali menyebut namaku ketika ditanya siapa pemain yang memiliki progres cukup baik di tim.

"Pemain muda Indonesia Rizky Ridho memiliki progres yang paling baik diantara teman-temannya," eja temanku sekamar di klub Persija ini—Ilham Rio Fahmi.

Kali ini kami memang sedang santai di kamar sambil bermain gawai. Aku tak tahu bagaimana caranya headline atau judul berita ini dibuka dan bisa dibaca olehnya. Karena biasanya jika kami sedang rebahan dan menunggu kantuk datang, bocah ngapak itu akan lebih banyak bermain game ketimbang mencari berita.

Aku yang juga masih rebahan di atas kasur sambil menonton video-video pertandingan bola hanya menatapnya sekilas lalu berseru, "alhamdulillah, rezeki anak sholeh."

Rio yang mendengar perkataanku barusan terlihat langsung menyahut bantal guling di dekatnya untuk selanjutnya akan disabetkan padaku. Beruntung, responku masih cukup gesit untuk menghindar dari sabetan mautnya.

"Yo opo ta, Yo!" tegurku padanya. Rio lantas secara mandiri mengambil lagi gulingnya yang berada di lantai.

"Yo opo ta, yo opo ta!" katanya mengulangi perkataanku. Setelah tubuhnya mendarat lagi di kasur dia kembali mengoceh, "riziki inik shilih. Opo-opo an Do, Do... " sambil menunjukkan raut muka kocaknya itu. Akibatnya aku hanya tertawa puas melihat muka kocak Rio yang sebal melihat pencapaianku.

Sebenarnya begini, pertemanan antara kaum laki-laki dan perempuan itu jauh beda. Jika mereka para perempuan saling melontarkan pujian untuk memuji pencapaian teman, maka kami para laki-laki akan memulainya dengan say war lebih dulu dan dilanjut dengan phsycal attack seperti yang dilakukan Rio tadi. Tapi yakinlah, itu semua cara kami para laki-laki menjalin sebuah pertemanan agar lebih akrab.

"Mbok ayo sesuk budal Starbuck," ucap Rio yang sudah bisa kutangkap arahnya mau kemana.

"Ayo, mbok bayari ta?" pancingku padanya supaya mengatakan maksud yang sebenarnya.

Rio hanya bisa menampakkan wajah kecewanya sambil mengumpat agak santun karena nadanya tidak meninggi, "Cok... nduwe konco ra peka ngene ki susah." Setelahnya Rio hanya membenamkan seluruh badannya di bawah selimut sampai tak terlihat apapun. Rio yang malang.

Aku hanya bisa tertawa sampai sakit perut melihat drama Rio yang malang. Setelah puas melihat aksi teatrikal Rio aku lantas dengan sunguh-sungguh mengatakan, "Gas, sesuk budal starbuck. Aku yang bayarin." Inilah maunya.

"Nah. Anak sholeh tenan ngene ki," ujarnya setelah menyingkap selimut dan hanya memperlihatkan sebatas leher ke atas. Dirinya lantas menghilang lagi dibalik selimut dan bisa kupastikan setelahnya dia tertidur karena suara ngorok tapi halus mulai terdengar.

Saat aku akan menyusul Rio ke alam mimpi, tiba-tiba gawaiku bergetar. Kuraba di sebelah kanan dan kulihat nomor Ibu yang masuk. Tanpa aba-aba aku segera mengangkatnya. Dari Surabaya sana terdengar salam dan dilanjutkan dengan menanyakan kabar. Suara lembut Ibu berhasil mengelus pucuk kepalaku di sini, seakan mengelus dengan penuh kasih sayang saat aku tiduran dipangkuannya. Persis seperti kebiasaan yang biasa kulakukan jika sedang kumat manjanya dengan Ibu.

"Alhamdulillah, Bu. Ridho sehat. Ridho baik-baik aja dan kerasan di sini," suaraku jelas betul mengatakannya. Terutama pada kata 'kerasan' yang kucoba tekankan. Karena itulah harapan ibu ketika aku akan berangkat kesini. Terdengar ibu mengucap syukur setelahnya.

"Bu, Ridho dapat nominasi best young player of the week di pekan pertama ini. Kalau Ibu nggak tahu apa maksudnya, nanti tanya ke Ayah aja. Intinya Ridho mau ngucapin terima kasih ke Ibu. Semua ini berkat doa Ibu dan Ayah," imbuhku panjang lebar.

"Alhamdulillah, Le. Mugi berkah dan bisa konsisten. Ibu sama Ayah Cuma bisa mendoakan," sahut suara nun jauh di sana. Kali ini suara khas milik Ayah yang kudengar. Artinya, Ibu sudah meloudspeaker panggilan ini.

Selanjutnya kami bertiga berbicara banyak hal. Mulai dari hal-hal yang penting sampai tidak penting kami bicarakan. Ibu lebih banyak cerita tentang bontot yang maunya main bola terus dan enggan masuk sekolah. Sebabnya hanya satu, ia baru saja dibelikan sepatu bola incarannya oleh Ayah. Jadi, kemungkinan besar dirinya kegirangan dan ingin memakainya selalu.

Mendengar cerita Ibu aku jadi teringat diriku di masa kecil. Mungkin bontot adalah cerminan diriku yang masih kelas 3 SD. Dulu, masih ingat sekali saat aku diantar Ayah ke toko untuk beli sepatu bola, betapa antusiasnya aku. Lari kesana-kemari, melihat satu-satu dari pajangan toko itu, hingga akhirnya aku terpikat dengan sepatu bermerek Nike warna hijau stabilo. Percaya atau tidak warna itu sedang tren di zamannya. 

Lucunya, ketika aku ada jadwal latihan SSB sore harinya sepatu itu tidak kugunakan. Justru sepatu lama tapi masih layak pakai yang kugunakan latihan. Sepatu baru aku simpan beserta kardusnya dan kuajak tidur di malam hari saking senangnya. Maklum, kala itu sepatu dengan merek ini sudah menjadi barang mewah setidaknya bagiku yang masih kelas 3 SD. Jadi, aku ada rasa 'sayang' atau bahasa Jawanya 'eman' jika langsung kugunakan. Selain itu, aku juga sudah mengkalkulasi potensi untuk hilang pastilah sangat besar.

"Halo, Mas. Masih dengar suara Ibu?" tegurnya karena aku hanya diam setelah mendengar cerita Ibu soal si bontot. Aku terkesiap sebelum akhirnya menjawab, "masih, Bu. Ridho masih denger."

"Yowes, Le istirahat. Besok Ibumu harus ke sekolah, Ayah juga harus berangkat ke pasar pagi." ujar Ayah yang mungkin berpikiran jika aku sudah lelah seharian bertanding. Sebagai penutup akhir, salam kembali terdengar. Mereka begitu kompak mengucapkannya.

***

Drttt...drtt...drttt

Getar gawaiku di atas kasur sana. Baru saja kuselesaikan dua rakaat subuhku setelah tadi malam baru bisa tidur jam 11. Kuhampiri gawai itu sambil melipat sajadah yang akhirnya kutaruh di pojok kasur. Tertera nomor yang tidak asing di layar ponsel. Niatku tak ingin segera kuangkat, tapi takut jika ini panggilan penting dari saudara di Surabaya.

"Halo," ucapku dengan nada yang terdengar bingung.

"Halo, Mas Ridho. Ini Naf, yang kemarin ketemu di kafe Sudirman. Masih ingat?" suara halus perempuan di seberang sana langsung membuatku terkejut. Subuh-subuh begini mau apa dia menelepon?

"Reminder aja Mas, jam 10 nanti kita ada wawancara buat match lusa antara Persija Vs Persebaya." Aku sejujurnya ingat, tapi agaknya menarik jika pura-pura lupa.

"Astagfirullah... makasi Naf. Hampir aja lupa," terdengar betapa terkejutnya Naf yang bisa kudengar dari helaan nafas panjangnya seperti tak percaya. Sedangkan aku tertawa tanpa suara di sini.

Setelahnya dia mengatakan kalau bersyukur soal inisiatifnya menelfonku subuh-subuh begini muncul. Apalagi setelah pesannya tidak segera kubalas dari kemarin. Atau hanya ku read lalu kututup kembali. Hahaha.

"Yaudah gitu aja Mas Ridho, jangan lupa nanti jam 10." Tekannya lagi. Aku membalasnya dengan "oke" lalu mematikannya untuk melanjutkan aktivitasku. 

"Cepetan woiii kalau mandi," Gedorku ke arah pintu kamar mandi yang masih rapat tertutup. Hanya terdengar suara sumbang yang semakin keras dari dalam. Dasar, Rio merusak suasana hatiku yang mulai terbangun karena telepon Naf barusan. Taik!

#bersambung#



Emang boleh Naf telepon sesubuh itu? wkwkwk. So, sampai jumpa di bab selanjutnya ya gaisse, c u!

credit pict from ig: rizkyridhoramadhani74



MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang