BAGIAN 17: Tertolak?

208 13 0
                                    

"Kamu nggak apa-apa makan di tempat kayak gini?" tanya Naf seketika kami baru saja mendaratkan pantat di atas tikar.

Aku langsung membalasnya, "atlet juga manusia biasa yang masih doyan pecel lele pinggir jalan, Naf."

Naf hanya tertawa setelahnya. Seperti orang yang sudah tak sabar dia mengambil secarik kertas dan pulpen yang sudah tersedia di atas bangku panjang yang difungsikan sebagai meja ini. Ia menuliskan apa-apa saja yang akan dipesannya.

"Kamu mau pesan apa? Sekalian aku tulisin di sini," tawarnya.

Aku yang baru datang kemari jujur tidak mengerti menu apa saja yang enak dan harus kupesan. Sedikit lama aku berpikir dan hanya membolak-balik kertas menu. Mungkin, Naf juga sudah bosan melihatku begini. Makanya dalam sepersekian detik dirinya sudah mendekat di samping ku. Benar-benar dekat yang nyaris bersentuhan bahu.

"Ayam bakar madu di sini jadi salah satu menu favoritku, Mas. Agak berlemak sih, tapi kalau kamu mau yang lebih sehat bisa ditambah lalapan atau urap. Minumnya bebas, air putih ada, es teh tawar juga ada, atau es jeruk juga abangnya nyediain. Ehm gimana? Atau kita nyari tempat lain aja?" jelasnya seperti sudah hafal di luar kepala.

Sejenak aku hanya sibuk memperhatikan dirinya yang panjang lebar menjelaskan itu. Apa tadi? Ayam bakar madu? Es teh? Tidak terlalu buruk kupikir. Apa yang dia suka aku juga suka. Itu kataku hatiku yang sedang kasmaran.

"Iya, aku mau. Samain aja pesanannya."

Setelah menyerahkan pesanannya Naf kembali dengan dua gelas lodong es jeruk di tangan. Dia memberikan salah satunya padaku.

"Sambil nunggu menu utama datang, nih minum es dulu."

Aku menerimanya, "wah, makasi... ngomong-ngomong disini emang pelayanannya self service gini ya?" candaku padanya.

Dia yang masih meyeruput es miliknya hanya mengangguk sambil menahan tawa. "Kaget ya pasti? Ya ginilah... ."

Dari warung tenda biru ini aku jadi teringat angkringan di Surabaya dulu. Tempatnya persis berada di pinggir jalan dan memakai terpal biru seperti ini.

"Waktu aku masih main di Persebaya juga sering keluar malam buat makan di angkringan. Modelnya mirip kayak gini, tapi menu yg dijual lebih sederhana lagi. Ada sate-satean, gorengan, minuman sachet, dan pastinya nasi kucing yang nggak kenyang kalau cuma makan sebungkus."

Naf antusias menanggapi, "oiya? Biasanya habis berapa emang?"

Aku mengeluarkan tiga jariku. "Tiga bungkus plus gorengan dua, sama sate usus dua, terus minumnya es teh manis. Biasanya juga nambah tahu bacem kalau belum kenyang."

Dia melongo mendengar apa yang aku ucapkan. Seakan semua itu hanya karangan belaka, Naf tidak mempercayainya.

Sungguh gara-gara percakapan angkringan dan nasi kucing ini suasana menjadi semakin cair. Naf lalu banyak bercerita juga soal burjo yang menjadi tempat makan favoritnya saat awal-awal kuliah dulu. Dari sini aku justru baru tahu ternyata dia bukan anak Jakarta tulen.

"Selain angkringan, di Semarang justru lebih banyak warmindo atau burjo yang selalu jadi penolong anak kos yang laper tengah malem, Mas." jelasnya.

"Jadi, kamu asli Semarang?" tanyaku mulai penasaran.

"Iya. Aku lahir dan gede di sana. Ya meskipun dulu sempat tinggal sebentar di Malang," jawabnya yang semakin membuatku penasaran.

"Ngapain di Malang?" Sayangnya dia menjelaskan singkat saja soal ini.

Aku tidak tahu mengapa, tapi dia menjelaskan ia tinggal bersama Ayahnya disana. "Aku selalu nangis kalau diajak Ayah ke Malang. Rasanya kayak nggak bakal balik lagi ke rumah Ibu, soalnya bakal ketemu sama perempuan jutek setengah mati itu." Ia menjelaskannya seperti sambil mengulang memori masa lalu.

MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang