BAGIAN 18: Tumpah (Naf POV)

186 14 0
                                    

"Aku mencintaimu, Naf."

Sebuah kalimat yang telak membuatku terhuyung dan ingin pingsan. Detak jantung yang semula baik-baik saja, juga berubah detaknya menjadi seribu kali lipat. Dia ini kenapa? Tiba-tiba saja mengatakan perasaannya sedemikian rupa.

Kubiarkan waktu berjalan, sembari diri terus mencerna apa maksudnya. Keterkejutanku bahkan rasanya sudah berada di paling pucuk. Tinggal kalau didorong sedikit lagi bisa terjun bebas ke jurang ketidakpercayaan. Iya, aku masih tidak percaya, maka kupertanyakan sekali lagi padanya,

"Hah? Gimana? Kok bisa? Aku nggak salah denger kan?"

Sebuah rentetan pertanyaan yang wajar sekali perempuan ini lontarkan. Memangnya aku ini siapa? Hingga bisa-bisanya membuat seorang atlet nasional yang sedang disorot se-Indonesia raya jatuh hati? Tidak mungkin. Mustahil. Ini pasti hanya lelucon. Ayam bakar madu memang lezat, tapi kelezatannya tidak sampai memabukkan orang yang pertama kali mencicipinya.

Untuk itu, demi menjaga suara degup jantung agar tak terdengar aku mundur perlahan. Aku membuat jarak agar interaksi tidak semakin intens diantara kami. Tapi, sia-sia juga akhirnya. Karena Ridho, yang saat ini aku hindari betul tatapan matanya justru meraih lenganku. Diusapnya lembut nan hangat seakan penuh pengertian sembari mengucapkan,

"aku nggak maksa dengar jawaban dari kamu saat ini juga kok, Naf. Kamu bisa jawab kapanpun semau kamu."

Kapanpun? Semauku? Oh Tuhan, seniat itu ternyata dirinya membuatku kian bersemu merah. Bukankah itu artinya dia siap menunggu. Dan satu hal yang akan ia hadapi selama menunggu adalah ketidakpastian. Bisakah dirinya?

Maka, saat itu juga aku kembali teringat cerita yang baru beberapa menit lalu ia dengar. Soal Keluargaku. Ayah, Ibu, Semarang, Malang, perpisahan, takut, tangis, sakit hati, jahat dan semua kata-kata yang berkonotasi negatif kembali bermunculan.

Bukankah semua keburukan itu sebabnya cuma satu: sebuah ikatan atau hubungan? Maka, demi aku tak ingin kembali merasakan hancurnya seseorang karena sebuah perpisahan, aku telah menyiapkan jawaban. Setidaknya ia tak perlu menunggu dan berkawan dengan ketidakpastian.

"Nggak perlu, sebenarnya aku bisa jawab sekarang juga," ucapku perlahan meskipun sedikit tidak tenang.

Entah mengapa kemudian aku kembali teringat Nafisa kecil. Ya, aku teringat pada diriku sendiri waktu dulu. Seringkali aku tertidur karena sudah lelah menangis. Bukan tanpa alasan kala itu. Penyebabnya hanya gebrakan meja atau suara keras Ayah yang membentak ibu tiap kali menanyakan kenapa pulangnya terlalu malam? atau Tidakkah dia tahu kalau putrinya sudah menunggunya daritadi untuk sekadar makan malam bersama?

Selain itu, aku juga kembali ingat sekelebat kenangan buruk saat aku dibohongi ayah untuk diajak pergi ke Malang. Katanya, ia juga akan mengajak ibu. Tapi nyatanya, saat tiba di sana yang kutemui bukan Ibu yang kukenal. Melainkan tante-tante bergincu merah yang tatapannya penuh benci. Baru sehari saja di sana aku sudah minta pulang. Aku takut dengan perlakuannya yang kasar dan ngomel-ngomel terus.

Dan benar saja, rasa takutku itu seakan bisa ditangkap Ibu. Esok harinya saat hari sudah sore ia datang dan ingin membawaku pulang ke Semarang. Aku masih ingat sekali kejadian detilnya seperti apa.

Ibu mengetuk pintu tak sabar, memanggil-manggil namaku. Kemudian aku keluar dan dipeluk olehnya seakan tidak akan pernah lepas. Barulah beberapa menit kemudian Ayah datang bersama Tante gincu merah dan marah-marah.

Ibu dan aku hanya bisa menangis. Tapi di tengah tangisnya, Ibu mencoba tegar dan mengatakan, "hak asuh anak ada di tanganku ya, Mas. Kamu nggak bisa seenak kamu sendiri kayak gini."

Sejak saat itu aku tak kurang kasih sayang seorang Ibu, meskipun mati-matian ada setitik trauma yang masih tersimpan hingga sekarang. Trauma pada sosok laki-laki yang bisa saja seperti ayah. Hanya beda wajah atau topengnya saja. Itulah yang menjadi dasar untuk mengatakan,

"aku takut. Aku belum bisa terikat hubungan dengan laki-laki manapun. Kecuali jika berteman, mungkin aku bisa lebih mentolerir seperti biasanya."

Saat mengatakan itu, elusannya pada lenganku lenyap seketika. Dia tidak marah atau menggebrak meja seperti Ayah. Justru dia mempertanyakan kenapa dan ada apa.

Tidak mungkin semua yang kusimpan tadi secara terus terang kuutarakan. Lagi-lagi, aku sadar batas, harus sejauh mana cerita hidup kubagi. Untuk saat itu aku rasa belum bisa.

Lantas aku minta maaf padanya untuk mewakili semua yang terjadi. Aku yakin ini juga pasti tak mudah untuknya. Tapi, aku juga yakin mulai saat ini setidaknya ada sesuatu yang sudah terlepas dan menyisakan kelegaan semata.

Selebihnya ia terlihat cukup dewasa untuk bersikap. Tak salah jika posisi Kapten selalu dipercayakan padanya. Ridho lalu mengajakku pulang. Membayar semua pesanan bahkan melebihi untuk Si Abang.

Aku juga masih dipersilakan untuk duduk di kursi depan samping kemudi. Hanya saja memang tak ada percakapan barang sekecap. Malam itu ia lebih memilih menyetel musik random dengan volume tidak terlalu keras. Cukup hanya untuk didengarkan kami berdua.

Perlahan musik mulai mengalun, kali ini dibawakan dalam versi akustik yang kian terasa sendu.

🎶
Jangan pergi dari diriku
Tak sanggup harus hidup tanpamu
Karna jauh lebih indah
Bila kita bersama
Seperti yang terjadi kemarin
🎶

Duh, kok lagunya seperti ini. Kami berdua sama-sama terkejut dan saling menoleh sebentar. Lalu kembali menikmati sebisa mungkin dalam kondisi perasaan yang karut marut.

🎶
Kini harus aku lewati
Langkah demi langkah yang menyepi
Membalut luka lagi
Yang kutahan hingga kini
Habis sudah nafasku
Menyebut namamu,
🎶

Mataku justru kian memanas. Sesuatu tiba-tiba berkumpul menghalangi penglihatan. Aku terus menahan supaya tak tumpah, tapi satu tetes telah meluncur dengan lancang lebih dulu.

🎶
Takkan hilang cintaku padamu
Takkan hilang walau kau memilih pergi
Takkan hilang
Sampai di ujung waktuku
Mencintaimu
🎶

Bak awan mendung yang tak mampu lagi membawa air hujan, akhirnya malam itu luruh juga. Deras sekali. Tak cukup reda hanya dengan sodoran tisu, maka orang di sampingku sampai memutuskan untuk menghentikan laju mobilnya sejenak.

Beberapa saat ia masih bergulat dengan dirinya, sampai akhirnya dalam sekejap dia merengkuh diriku dalam dekapan. Lengannya yang kekar terasa kuat memeluk. Usapannya yang halus di punggung tak memberikan efek ketenangan sedikitpun, justru aku kian menjadi-jadi.

Masih tak ada sepatah katapun sampai titik itu. Tapi aku tahu bahunya juga bergetar dan naik turun. Dia juga sama emosionalnya sepertiku. Entah karena dia kecewa atau tak tega melihat kacaunya diriku.

#Bersambung#






Jadi gitu kehidupan Naf, gaiss🫂
See u on the next chapter ya👋✨

MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang