BAGIAN 13: Bertemu

207 11 0
                                    

Setelah tiga hari terperangkap di ruangan serba putih ini akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang. Kata dokter kondisiku sudah membaik, hanya saja memang kaki yang masih sedikit rewel karena tidak bisa untuk dibuat berjalan normal. Terpaksa jalanku harus dengan sedikit tertatih dan terpincang.

Jika kemarin-kemarin aku banyak dibantu Rio Fahmi untuk mengurus segala keperluan, maka hari ini aku sudah bersama Ibu dan Mbak Zela. Sehari setelah aku telfon jika sedang terkena musibah, mereka langsung datang kemari. Saat baru datang ibu langsung menghambur ke pelukanku dan menangis sejadi-jadinya melihat kondisiku yang sebenarnya hanya di gips ini. layaknya seorang ibu yang perasaannya terlampau halus, pastilah ia khawatir.

Dan siang ini saat mata ibu masih terlihat sembab aku dibawanya untuk pulang. Pulang yang kumaksud bukanlah pulang ke Surabaya. Akan tetapi ke rumah salah satu kerabat yang ada di sini. Sebelumnya aku sudah meminta izin agar selama masa pemulihan untuk tidak tidur di mess lebih dulu. Syukurnya, izinku diperbolehkan dengan catatan dokter tim juga akan terus memantau sampai sembuh nanti. Mereka akan terus mendampingi bahkan untuk mengantar kontrol sekalipun.

"Udah lama nggak makan dadar jagung sama sayur kenci buatan Ibu," kode kerasku pada Ibu yang tengah membereskan beberapa helai baju ke dalam tas.

Perempuan paruh baya namun parasnya tetap ayu di sudut sana hanya sebentar melirikku yang masih duduk di atas brankar. Lalu setelahnya kembali fokus memasukkan baju-baju ke dalam tas.

"Iya, nanti dimasakin." Jawabnya begitu lembut.

Setelah baju-baju terlihat beres dikemas, Ibu beralih menuju ke arahku. Mungkin dirinya paham aku hendak beranjak dari brankar membosankan ini. Dia memperingatkan untuk hati-hati sambil meraih kedua tanganku untuk dituntun. Lagi-lagi dengan sedikit tertatih dan terpincang aku menuju arah sofa yang di atasnya sudah ada seonggok tas yang barusan dikemas.

"Ini mbakmu kemana to. Pesen ojek online aja lamanya minta ampun...," Keluhnya.

Baru saja Ibu mengeluh hal demikian pintu tiba-tiba diketuk dan perlahan terbuka, menandakan ada seseorang yang akan masuk. Pikirku itu Mbak Zela yang akan mengabari kalau pesanan ojek onlinenya sudah siap. Ternyata,

"Naf?" ucapku terkejut melihat siapa yang datang.

Perempuan itu Naf bukan Mbak Zela apalagi abang ojek online. Perempuan itu Naf, dengan membawa parsel berisi beraneka ragam buah di dalamnya. Aku terkejut dan Ibu lebih terkejutnya daripada aku.

Kami bertiga masih mematung dalam ruangan. Hanya suara detak jam di dinding saja yang kentara. Selebihnya adalah senyap yang menyelimuti. Nampaknya antara aku dan Naf belum ada yang ingin mulai menyapa. Aku hanya terdiam karena pandangan perempuan yang baru datang ini langsung fokus pada bagian kaki yang di gips dan juga Ibu. Lantas sepersekian detik netra kami tak sengaja saling bertemu. Entah mengapa tatapan itu seakan-akan penuh tanya kenapa dan mengapa.

Tiba-tiba Mbak Zela nyelonong masuk dan secara otomatis menyudahi keheningan diantara kami. "Mas-mas ojeknya udah di bawah, Bu," katanya.

Inilah yang ditunggu-tunggu daritadi. Kedatangan Mbakku itu lantas membuat Naf minggir dari hadapanku. Alhasil, perempuan yang baru datang alias Mbak Zela gantian bertanya-tanya melalui alisnya yang turun naik seakan mewakili pertanyaan, "siapa dia?".

"Ehm... mohon maaf sebelumnya sudah menganggu," ucap Naf yang mungkin merasa dipertanyakan kehadirannya.

Mbak Zela yang dasarnya memang ramah langsung mengatakan tidak masalah. Lantas Naf memberikan sesuatu yang dibawanya.

"Wah, terima kasih. Kok kayaknya pernah lihat, dimana ya?" lirih Mbakku yang masih bisa didengar semua orang.

"Iya, Mbak. Kenalin ini, Naf. Dia temen Ridho yang kerja di perusahaan media Jakarta," jelas Ridho.

Ibu dan Mbak Zela terlihat hanya membeo ria. Sedangkan, Naf terlihat merasa sedikit canggung dan bingung apa yang harus dilakukannya. Tetapi, di balik canggung dan bingungnya dia masih mampu tersenyum, dia mampu mengontrol mimik muka dengan baik.

"Benar, Ibu, Mba. Saya, Naf. Niatnya kemari untuk menjenguk Mas Ridho yang sedang dirawat. Malah ternyata sudah kemas-kemas... Tapi, alhamdulillah, sepertinya semua terlihat sudah membaik," ucapnya sopan sekali.

"Alhamdulillah... oiya, ayo duduk dulu, Naf. Mungkin mau ngobrol2 dulu sama Ridho." Mbak Zela memang paling mengesankan.

Naf justru menggeleng. Katanya ia sudah di tunggu temannya di bawah. Padahal aku tahu persis dia tidak mau menggangu ku yang sudah beres-beres dan hendak pulang. Atau mungkin dia sedikit takut dengan ibu yang daritadi hanya diam?

"Oh gitu, yaudah kita keluar bareng aja. Bentar-bentar..." Mbak Zela lalu buru-buru mengambil tas di atas kursi dan melenggang lebih dulu di depan.

"Ayo," katanya sambil berlalu.

Aku, Ibu, dan Naf mengikuti setelahnya. Hanya hening yang tercipta diantara kami bertiga. Entah mengapa aku juga sulit untuk sekadar basa-basi dengan Naf. Kata-kata itu terhenti hanya sampai kerongkongan.

"Ngga pakai kursi roda saja Bu, Mas Ridhonya? Biar nanti saya panggilkan perawat." Sepertinya Naf melihat ibu sedikit khawatir mendampingiku jalan dengan kruk.

Ibu hanya melirikku sekilas. "Terima kasih, Naf. Ibu minta tolong ya." Setelahnya Naf langsung melesat entah kemana dan kembali dengan sebuah kursi roda yang sudah di dorongnya.

Lihatlah diri ini yang rasanya seperti orang pesakitan saja. Pakai kursi roda segala. Tapi, demi keselamatan bersama aku nurut saja.

Setelah aku duduk dengan nyaman, ibu terlihat grasak-grusuk mencari sesuatu dalam tas slempangnya. Ibu ternyata kelupaan sesuatu. "Aduh, Mas. Handphone ibu kayaknya masih di atas nakas. Kalian berdua turun dulu aja ya. Hati-hati," ucap ibu tergesa-gesa karena hendak menuju ruang rawat inapku tadi.

Lagi-lagi semua berjalan begitu cepat. Seperti tidak memberi waktu untukku berpikir sejenak. Kali ini yang bingung tak hanya Naf, tapi aku juga. Kami berdua saling bingung dan mematung.

"Tumben ibu bisa kelupaan," gumamku bersamaan dengan kursi roda yang mulai berjalan.

Kami berdua menuju lift yang tinggal beberapa langkah lagi. Semoga saja saat di dalam kata-kata yang hanya terhenti di kerongkongan bisa terurai sempurna... .

#Bersambung#

Aaa senengnya Timnas bisa lolos 16 besar di Piala Asia. Gimana komentar kalian soal ini gaisse? Tulis di bawah ya, see u! 🫶❤️‍🔥

Credit pict: PSSI

MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang