[Isi Surat]💌

192 15 3
                                    

Jakarta, dini hari.

Semoga Mas Ridho tidak menertawakanku karena masih berkirim surat semacam ini di zaman yang sudah ada aplikasi WhatsApp, fitur DM Instagram, atau juga aplikasi perpesanan lainnya. Menurutku, dengan surat ini aku bisa lebih jujur dan apa adanya. Jadi kalau ada kejujuranku yang membuat Mas Ridho tidak suka, langsung bakar saja surat ini. Niscaya rasa tak suka itu juga akan otomatis lebur dalam surat yang menjadi abu. Bahasa praktisnya sih, aku hanya tak ingin ada jejak digital untuk sebuah perpisahan.

Iya, perpisahan. Tapi sebelum membahas hal yang seakan-akan menyedihkan itu aku akan lebih dulu bersyukur. Bersyukur karena bisa diberikan kesempatan untuk mencoba beradu nasib di kota yang selalu terburu-buru itu. Terlebih sebagai seorang jurnalis yang tentunya membawa pengalaman paling menyenangkan dalam hidup. Mengapa? Karena dari jurnalis inilah aku bisa bertemu banyak orang dari berbagai sudut tak terduga. Termasuk salah satunya adalah bisa bertemu dirimu.

Jika saja aku tidak memilih magang di Jakarta dan tidak bertemu Pak Han yang menyuruhku masuk rubrik bola, aku yakin pertemuan kita takkan pernah terjadi. Bahkan mungkin mustahil. Tapi, nyatanya ada yang namanya takdir. Dialah yang memiliki andil paling besar atas semua pertemuan dan perpisahan dalam kehidupan manusia. Aku juga yakin, takdir hadir bersama dengan hikmah-hikmah kehidupan jika kita mampu menyadarinya.

Mas Ridho,
Kali ini takdir sepertinya hanya mempertemukan kita sampai di sini. Sampai pada masa di mana waktu enam bulan dirasa cukup untuk kita saling mengenal. Aku tidak yakin takdir akan memberikan lebih dari itu, karena nyatanya kita memiliki kepentingan masing-masing dan kebetulan saja saat ini kita bertemu di persimpangan jalan yang sama.

Kita bicara,
Kita bercerita,
Kita nikmati semua,
Dalam sebuah persimpangan dengan tujuan masing-masing yang nyatanya berbeda.

Aku harus kembali ke Semarang untuk kembali Melanjutkan studiku yang seharusnya. Dan kamu akan tetap tinggal di Jakarta dengan segala kesibukanmu. Aku akan kembali serumah dengan Ibu yang pernah kuceritakan padamu. Sedangkan, kamu akan terus dilindungi do'a ibumu dari jauh. Meski Jakarta tak seberapa jauh dari Semarang, tapi lagi-lagi takdir mampu membuat jarak itu begitu jauh. Tak terjamah.

Mungkin sehari setelah surat ini ada di tanganmu dan kau baca aku sudah ada di stasiun sambil menunggu keretaku tiba. Mungkin juga aku akan menuliskan lagi beberapa hal di catatan ponsel sebelum aku benar-benar jauh dari Jakarta. Pokonya semua hal tentang Jakarta akan aku abadikan dengan rapi. Sehingga, jika sewaktu-waktu rindu bisa dengan mudah kucari dalam halaman berapa di rak memori ingatanku.

Terima kasih untuk pertemuan singkat selama enam bulan lalu yang memberikan banyak hal baru dalam hidupku. Termasuk di dalamnya adalah viral dan menjadi bahan gosip di lambe turah.  Meski begitu, aku juga senang bisa belajar soal ketangguhan darimu di tengah-tengah kondisi yang tidak baik-baik saja--saat dirimu cedera. Ketika itu, aku merasa paling beruntung karena turut melihat bagaimana kerasnya usahamu untuk kembali pulih dari cedera. Kamu kapten yang luar biasa!

Sekali lagi terima kasih, Mas.
Setelah ini aku tidak yakin kita bisa bertemu kembali. Kecuali jika Tuhan berbaik hati dan tiba-tiba bersabda pada semesta untuk kembali mempertemukan kita. Untuk itu, aku juga minta maaf. Atas semua kurang dan keegoisan dari dalam diri. Terus berbahagialah dengan apa yang kamu jalani. Terus melangkahlah dengan dada tegap untuk Indonesia. Semoga Tuhan memberikan bahu yang kukuh pada dirimu untuk selalu memimpin teman-teman di tim.

Terakhir, tidak perlu lagi ada yang kamu tunggu. Seperti titik mengakhiri sebuah kalimat, seperti itu pula perjumpaan kita. Bersamaan dengan surat ini, aku hanya ingin memastikan kembali bahwa seluruh perjumpaan kita akan berakhir. Bagiku sudah jelas semua yang terjadi. Tentang aku dan trauma masa kecilku yang pada akhirnya akan menjadi jawaban atas perasaanmu.

Sekali lagi, berbahagialah selalu. Dimanapun dan kapanpun. Aku selalu mendukungmu.


(Nafisa Humaira)

#Bersambung#














Sekali-kali upload yang ringan-ringan gini aja ya gaisee. Semoga kebayang deh tu surat dari Naf kekmana... Happy reading, jangan lupa tinggalkan jejaknya di kolom komen atau like ya. See u❤️

MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang