BAGIAN 22: Hadiah

303 14 0
                                    

Setelah membayar plester dan dua botol air mineral aku mengajak duduk Naf di depan Indomaret. Kami berdua masih saling diam satu sama lain. Antara bingung akan memulai bicara soal apa atau kami masih canggung jika mengingat kejadian terakhir kali di dalam mobil itu.

Sebagai laki-laki aku sadar, kalau pelukan adalah hal lumrah untuk dilakukan. Tapi, tetap saja sebagai orang yang dibesarkan dengan pengetahuan agama, hal itu tak seharusnya kulakukan. Berpelukan dengan orang yang bukan muhrim hanya untuk menenangkannya.

Hal itu terlintas sepintas saja di kepalaku, saat ini demi aku yang melihat dahi Naf yang memar Naf menjadika hati tidak tenang. Bagaimana bisa dirinya mendapat luka memar itu? Apakah menjadi seorang jurnalis bola juga sama resikonya dengan pemain di lapangan yang harus adu fisik?

Maka, kudekatkan kursi supaya bisa lebih dekat dengannga. Masih terus kupandangi dahi perempuan di depanku ini dengan rasa khawatir.

"Kamu kenapa?" Satu pertanyaan yang langsung kulontarkan.

Naf terlihat menggeleng, "nggak apa-apa. Kurang hati-hati aja pas liputan." Ucapnya singkat.

Aku hanya bisa menghela nafas, baru setelahnya meraih air mineral sekaligus membukakan tutup botolnya. Mungkin, sedikit minum akan melegakan dirinya. Apalagi masih terlihat jelas kalau dirinya habis pulang kerja. Baju kerja, id card yang masih menggantung di leher, bersepatu, dan tas ransel yang terlihat lebih berisi.

"Maaf" kataku ambil menempelkan plester ke luka yang sudah membiru.

Naf hanya bisa pasrah. Perhatian yang kuberikan padanya tak perlu ia pertanyakan lagi mengapa. Biarkan pelukan hangat dan tangis yang tersedu-sedu di dalam mobil beberapa waktu lalu yang bicara semua.

Setelahnya rentetan pertanyaan keluar dari mulutku, seakan kini dirikulah yang bertukar profesi menjadi seorang jurnalis. Aku mempertanyakan mulai dari mempertanyakan mengapa bisa liputan seorang diri dan tidak ada yang menemani, kenapa tidak hati-hati, kemana Pak Hananto yang biasanya selalu ada, kemana Nia, kemana Bang Fawzi si kameramen, dan kemana juga Bayu?

Mendengar semua rentetan pertanyaanku itu Naf hanya berwajah datar. Tidak senang juga tidak ikut sedih melihat kekhawatiranku padanya.

"Hari ini aku milih berangkat liputan sendiri, karena cuma nonton dari tribun sama nulis aja. Tapi, malah tuan rumahnya kalah. Jadi sempat ribut dan brutal pas mau turun, terus ya ini oleh-olehnya."

Sudah pasti karena kacau dan desak-desakan saat turun Naf terjatuh atau kepentok pagar pembatas. Aku yang melihatnya kini penuh kasihan. Seandainya jika aku tahu siapa orang yang brutal itu, pasti akan kudatangi sambil marah-marah. Biar paham, yang nonton bola di tribun nggak cuma laki-laki doang, ada perempuan yang sudah semestinya dipikirkan keselamatannya.

Setelahnya, gantian Naf yang menanyakan mengapa diriku sudah di sini dan mencari plester pula. Karena seingatnya, beberapa hari lalu masih ada pertandingan away di Vietnam. Lalu, aku mau tak mau kembali menjelaskan panjang lebar sama persis seperti yang terjadi tiga hari ini. Bagaimana cerita menginap di unit Mbak Zela, bersih-bersih, dan jatuh ketika naik trolly.

"Maaf ya Naf, karena kemarin kita jadi canggung gini. Seharusnya aku nggak lancang dengan--" tiba-tiba Naf memutus bicaraku.

"Aku ngerti. Kita sama-sama nggak bisa ngontrol kondisi waktu itu. Semuanya terjadi gitu aja." Naf memberikan jeda sebelum melanjutkan,

"Aku yang harusnya minta maaf."

Memang tidak ada yang bisa mengerti bagaimana hati mampu memengaruhi tindakan kita secara tidak sadar. Semua terasa salah jika kembali direnungkan, tapi saat itu apalah daya. Hanya keinginan untuk menenangkan Naf lah yang mendorongku untuk memeluk sambil ikutan berderai air mata.

"Oiya, mumpung ketemu aku ada hadiah buat kamu." Ucap Naf sambil mengoprek-oprek tasnya.

Hadiah itu nampak sulit ditemukan. Entah bentuknya terlalu kecil, hingga ditaruh di tas saja tak kelihatan atau bagaimana. Yang jelas perlu waktu agar hadiah itu ketemu.

"Nah," ucapnya sumringah saat berhasil menemukan.

Sebuah kotak persegi berukuran sedang berwarna hitam dan diikat pita emas. Naf menyodorkan benda itu ke hadapanku yang langsung terlihat sumringah. Entah apa yang sedang berputar-putar di pikiranku saat ini. Yang jelas sedikit ada kegembiraan dalam hatiku saat menerimanya.

Merasa sudah tak sabar untuk membuka, aku langsung menarik pita emas agar kotak itu bisa menunjukkan isinya. Sayangnya, tanganku kalah cepat dengan tangan Naf yang menahan, diikuti gerakan kepalanya yang menggeleng.

"Jangan dibuka di sini. Nanti aja pas udah sampai di kamar, oke?" Sergah Naf.

Tak ada perlawanan lagi dari dariku. Aku patuh mengikuti. Sampai tiba-tiba perjumpaan kami harus diakhiri dengan sebuah mobil yang datang.

Naf sempat mengecek ponselnya sebentar, lalu menatap ke arahku yang ada di depannya cukup panjang. Dia tersenyum lama, seperti orang sedang menikmati sesuatu sebelum ditinggalkannya.

"Ojek onlineku udah sampai, aku pulang dulu." Naf bergegas menuju ke arah mobil dengan diikuti oleh ku.

Setelah kubukakan pintu, Naf masuk segera. Kaca mobil sengaja ia buka untuk melihat diriku yang masih berdiri sampai akhirnya mobil yang ditumpanginya bergerak. Dia lambaikan tangannya dari dalam sambil tersenyum lagi.

Hanya saja aku tak melihat satu hal. Siapa sangka saat mobil sudah beberapa meter menjauhi tempatku berdiri, mata Naf langsung memanas. Pandangannya kabur diliputi genangan air mata. Ingus juga sudah mulai lancang hendak ikut-ikutan meluncur. Membuat dirinya kepayahan menahan semua ini. Beruntung ada pak supir baik hati langsung memberikannya sebungkus tisu secara gratis.

"Tidak apa-apa mbak menangis saja. Perpisahan memang selalu berat untuk semua orang."

#Bersambung#



Hayoo, kira-kira apa isi hadiah dari Naf, ya? Jangan lupa tinggalkan jejak kalian di komen atau like. See u in the next chapter gaiss👋
Credit pict: pinterest

MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang