BAGIAN 14: Naif

202 12 0
                                    

"Tumben Ibu bisa kelupaan," gumamku tatkala kursi roda yang didorong Naf kian mendekat ke arah lift.

Setelahnya Naf sudah lebih dulu memencet tombol ini dan itu sampai akhirnya pintu lift terbuka lebar. Kami berdua masuk dengan cara mundur dan sedikit kepayahan karena kursi roda yang nyaris nyangkut di mulut pintu lift. Jika tak ingat kakiku masih sakit, aku bisa saja langsung berdiri dan menyingkirkan kursi roda itu. Tapi, lagi-lagi Naf agaknya bisa merasakan apa yang aku rasakan.

"Sabar," katanya.

Ah, memangnya boleh perempuan terlalu peka seperti ini? Minimal dengan ucapanmu barusan aku menjadi sedikitnya lebih paham. Kalau dirimu adalah pribadi yang tenang dan penyabar. Persis seperti Ibu.

"Kemarin kamu nonton ke stadion langsung berarti, Naf?" tanyaku sesaat setelah kami sudah berada di dalam lift.

Naf lantas mengangguk. Katanya itu adalah pengalaman pertama kalinya nonton bola di stadion karena dapat gratisan tiket dari Pak Han. Mungkin, jika bukan karena tiket gratisan itu, dia juga tidak akan menonton. Dia tak suka dan tak paham bola.

"Terus lihat kejadian kayak gini di lapangan gimana perasaanmu?" Serius aku bertanya ini padanya? Memangnya jawaban apa yang kuharapkan darinya? Ridho... Ridho... dasar!

"Nggak ngerti, tapi lebih ke campur aduk sama takut aja. Soalnya di tribun juga pada berasumsi sendiri-sendiri. Ada yang bilang bakal cedera parah lah, ada yang bilang nggak bisa main lagi lah, bahkan naudzubillah... ada yang sampai bilang kariermu bakal stop di sini."

Perasaanku tak kalah campur aduknya setelah mendengar penjelasan barusan dari Naf. Itu lumrah dan wajar terjadi, karena aku juga sempat memiliki pikiran yang sama sesaat setelah kejadian terjadi.

"Seriusan?" pastiku padanya lagi. Dia menjawabnya dengan menganggukkan kepala mantap.

Percakapan terhenti bersamaan dengan bunyi denting lift yang terdengar nyaring di telinga. Pintu kembali terbuka memperlihatkan area luas di lantai bawah. Perlahan perempuan penyabar ini mendorong kursi rodaku supaya bisa keluar. Kali ini tidak ada sangkut-menyangkut lagi. Semuanya lancar.

Kehadiranku di lantai bawah sudah disambut Mbak Zela dan sudah pasti raut mukanya yang bertanya-tanya, "dimana Ibu?" Lalu Naf menjelaskan kalau Ibu akan menyusul setelah mengambil barang yang tertinggal. Tapi, Mbak Zela tidak percaya. Dia punya teorinya sendiri soal barang ibu yang tertinggal.

"Ah, itu alasan ibu aja biar kalian berduaan. Masa gitu aja ga paham," seloroh Mbak Zela yang membuat aku dan Naf seperti dua orang paling naif sedunia.

Kadang-kadang perilaku naif semacam ini memang dibutuhkan sesekali untuk menghadapi dunia dengan serba kejutannya. Bagiku, menjauhkan diri dari praduga adalah sebuah upaya untuk mengantisipasi rasa kecewa. Dalam hal apapun itu. Ya, begitulah mungkin aku paham, namun memilih untuk diam.

Sama seperti saat ini. Lihat siapa yang hadir lagi di tengah-tengah kami bertiga. Yang pasti bukan ibu, karena kami masih menunggu. Datangnya disambut alis yang mengerut oleh Naf. Dia setengah terkejut melihat siapa orang yang tiba-tiba datang menghampiri.

Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan tas ransel dan kamera yang dibawanya. Di lehernya mengalung sebuah id card bernama Bayu. Entahlah siapa nama lengkapnya aku tidak ingin tahu. Yang jelas dia terlihat akrab dengan Naf.

Buru-buru Naf mengenalkan laki-laki ini padaku dan Mbak Zela. Aku tidak mau pusing-pusing mendengarkan karena sudah tahu namanya. Fokusku justru banyak teralihkan pada pintu lift untuk segera memperlihatkan sosok ibu keluar dari sana.

Mereka sempat menjauhkan diri untuk bicara. lebih tepatnya Bayu yang banyak bicara ketimbang Naf. Dirinya hanya menggut-manggut dan sekali memotong pembicaraan lawan bicaranya. Setelah itu mereka kembali mendekat. Rasanya panas betul melihat laki-laki ini berdampingan dengan Naf.

"Naf pamit dulu Mbak, karena harus balik kerja," ternyata Naf jujur soal ucapannya sudah ditunggu teman di bawah. Dia tak basa-basi atau beralibi. Pradugaku di awal ternyata salah.

"Oh, gitu. Iya, hati-hati ya." Balas Mbak Zela.

Padahal aku berharap Mbak Zela kembali menawarkan sesuatu padanya. Seperti, mengapa tidak mengantarkanku sampai rumah saja atau mungkin permintaan tiga hari lagi di tunggu di sini untuk menemani adiknya ngobrol sambil nunggu antrean kontrol, misalnya. Tapi Mbakku langsung mempersilahkannya pergi.

Lantas mereka berdua bergantian untuk pamit. Laki-laki bernama Bayu ini sempat mendoakanku agar cepat sembuh sebelum akhirnya pergi melenggang membawa Naf. Jalan mereka beriringan sampai pintu masuk sana. Lalu, menghilang bersamaan dengan jarak yang tercipta.

"Ayo, pulang." Tiba-tiba saja Ibu sudah ada diantara Aku dan Mbak Zela.

#Bersambung#



Tipis-tipis dulu updatenya ya gaisse. Happy reading❤❤❤

*sambil diputar ya lagunya, hehe...

MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang