BAGIAN 24 : Merelakan

88 12 0
                                    

Kejadian terakhir di stasiun nyatanya cukup membuat diriku banyak berubah. Terutama dalam memandang hubungan dengan seorang perempuan. Mungkin setelah ini, setelah aku diselingkuhi Oca dan ditinggal pergi Naf, tidak akan ada lagi ruang untuk menganggap serius seorang perempuan di hidupku. Semua yang dipertemukan hanya sebatas untuk partner kerja, bisnis, atau kepentingan-kepentingan lain yang sifatnya periodik alias sementara.

Katakanlah hal kecil seperti diselingkuhi dan ditinggal adalah trauma tersendiri bagiku saat ini. Tidak berlebihan kan?

Bukankah Naf juga punya traumanya sendiri dalam hidup. Takut jika semua laki-laki itu sama saja seperti Ayahnya yang kasar dan tukang selingkuh. Tapi tenang, trauma itu akan kupendam sendiri dan tidak akan kutunjukkan pada siapapun, termasuk orang-orang terdekatku. Mereka akan tetap melihat Rizky Ridho yang sama.

Namun, nyatanya kepura-puraan itu bertahan tak cukup lama. Sebulan, dua bulan sandiwara masih aman kumainkan. Tapi di bulan ketiga ini agaknya rekan di timku ada yang menyadari. Siapa lagi orangnya jika bukan bocah ngapak asal Banjarnegara, Rio Fahmi.

"Do, suram banget wajah Lo akhir-akhir ini. Nggak ketemu Naf dua bulan apa gimana?" Ujarnya sambil bersiap diri di karena akan pergi.

Dia benar. Wajah suramku ini hasil dari kumpulan suasana hati dan mood yang buruk belakangan. Hanya saja berbulan-bulan sebelumnya aku sedikit sibuk dan mungkin sedikit terdistraksi karenanya.  Jadi, singkat saja kujawab, "capek."

Dari sekian tahun aku bermain bola, alasan 'capek' itu benar-benar baru kuungkapkan secara lisan hari ini. Menurutku pas saja dengan momennya, saat aku masih patah hati, liga baru selesai, laga Timnas juga sudah beberapa terlewati, dan sebentar lagi akan ada waktu libur cukup panjang. Jadi, setelah banyak hal terlewati rasanya alasan capek sedikit lebih masuk akal.

"Capek? Nggak salah denger kan aku? Biasanya yang paling sabar ngeladeni fans minta foto itu kamu. Lah, ini tiba-tiba jadi sok misterius, susah ditemui, jual mahal, sok cuek. Ngartis lu sekarang," ejeknya.

Aku masih diam saja enggan menanggapi berbagai cecaran darinya. Seharusnya kalau dia memang benar-benar roomate yang baik, dia akan paham mengapa aku begini. Meskipun, aku sendiri belum cerita soal Naf dengannya. Lebih tepat lagi, aku belum menceritakannya pada siapapun. Kali ini aku agak beruntung, karena dia tidak berpanjang lebar seperti biasanya. Jadi, aku bisa langsung tidur setelah mandi.

Tanpa kusadari, ternyata aku bablas terlelap setalahnya. Hingga suara dengkuran Rio Fahmi yang cukup berisik membangunkanku. Kuraba-raba di mana letak ponsel untuk melihat jam berapa sekarang. Saat ketemu jam di ponsel masih menunjukkan angka 03.00, artinya masih belum subuh.

Aku bangun dari tidur untuk duduk sebentar lalu pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan wudhu. Salat tahajud akan kulaksanakan setelah beberapa waktu ini kutinggal. Sajadah sudah tergelar menghadap kiblat, diriku juga sudah bersih dan rapi untuk menghadap-Nya. Dua rakaat tahajud akan kulaksanakan.

Tak perlu waktu lama aku sudah sampai tahiyatul akhir dan salam. Pelan saja salam kulafadzkan,

"assalamualaikum warrahmatullah... assalamualaikum warrahmatullah..."

Setelah salam aku mencari posisi nyaman dengan duduk bersila untuk melanjutkan witir sebentar. Ketenangan dan ketentraman hati bisa kudapat saat ini. Seakan aku tidak lagi khawatir akan rencana Allah esok hari, karena yang kuyakini Allah Maha Pemurah.

"astagfirullah...astagfirullah...astagfirullah..."

"alhamdulillah...alhamdulillah...alhamdulillah..."

"allahuakbar...allahuakbar...allahuakbar..."

Lalu, selesai witir kulanjutkan dengan berdoa untuk diri sendiri, kedua orang tuaku, keluargaku, dan tentunya juga untuk Timnas. Biar bagaimanapun Garuda sedang berjuang untuk lolos piala dunia di tengah bayaknya kritik atas pemain naturalisasi yang dipilih oleh pelatih. Selain usaha, do'a adalah salah satu hal yang juga terus kulakukan. Karena jika Ia sudah berkehendak tidak mungkin tidak terjadi. 

Terakhir aku juga meminta untuk diikhlaskan dari segala sesuatu yang memang tidak ditakdirkan untukku. Pelan saja kuucapkan, 

"Ya Allah, hamba percaya bahwa kau Sang Pemilik Takdir. Kau yang Maha Segalanya di dunia ini. Ya Allah hamba juga yakin bahwa apa-apa yang melewatkan hamba, tidak akan menjadi takdir hamba. Dan apa-apa yang menjadi takdir bagi hamba tidak akan melewatkan hamba."

Aku masih lanjut berdoa, "Maka Ya Allah, ikhlaskanlah diri ini untuk segala sesuatu yang telah pergi. Jangan sisakan sedikitpun rasa benci dalam hati hamba. Hamba ikhlas atas semua hal baik dan buruk yang telah terjadi."

Kututup dengan doa paling pamungkas, "Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, waqina adzabanaar, amin..."

Maka, sejak malam itu aku benar-benar janji pada diri sendiri untuk ikhlas dan merelakan Naf seperti permintaan di suratnya. Menganggap semua kejadian yang telah terlewati adalah kepingan cerita dalam hidup yang bisa kuambil pelajaran darinya. Aku juga tidak membenci dirinya sama sekali. Bahkan jika suatu hari nanti kita kembali dipertemukan, karena 'dunia ini tak selebar daun kelor' akupun akan menyambutnya tanpa rasa apa-apa.

***







Halloo🙌
Gimana kabar kalian? Semoga sehat selalu ya💓. Siapa nih yang masih antusias nunggu cerita ini update padahal hiatus mayan lama? 😭Jangan lupa comment and vote ya!

See u in the next chapter🙌

MEMORABILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang