Bab 4. Menyembunyikan Bangkai

439 23 0
                                    

Ajeng beranjak dari duduknya, perempuan itu mengayunkan langkahnya menghampiri Firman yang masih terpaku di depan pintu.

"Apa kamu akan tetap meninggalkan aku kalau aku hamil? apa kamu tega membiarkan anak kamu nanti tumbuh tanpa seorang ayah? apa kamu sanggup tidak diakui oleh anakmu nanti karena dia kecewa kepada kamu?" Ajeng memeluk Firman dari belakang, wajahnya bersandar pada punggung tegap kekasihnya.

"Bie, tolong jangan seperti ini. Jangan akhiri hubungan kita, aku enggak bisa kehilangan kamu lagi. Cukup sekali aku merasakannya karena kebodohan aku dulu. Aku enggak mau mengalaminya lagi," ucap Ajeng lagi yang membuat Firman mengepalkan kedua telapak tangannya dan menelan salivanya susah payah.

Firman menarik nafasnya dalam-dalam, lelaki itu lalu dengan keras menyentak kedua tangan Ajeng yang melingkari tubuhnya dan berbalik menghadap wanitanya yang sudah bersimbah air mata.

"Aku minta maaf, tapi aku benar-benar enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku enggak mau kehilangan istri aku, aku baru sadar kalau ternyata aku sangat membutuhkannya."

"Kamu membutuhkannya, tapi kamu tidak mencintainya. Iya kan? Kamu hanya mencintai aku, karena kalau kamu mencintainya kamu enggak akan kembali menemui ku saat melihat aku waktu itu. Kamu pasti akan mengabaikan aku karena keberadaan aku sudah tidak lagi berarti, tidak lagi berpengaruh apapun untuk hatimu. Tapi kenyataannya?" Ajeng menghentikan ucapannya, dadanya naik turun dengan nafas tak beraturan.

"Kamu datang, kamu nemuin aku bahkan kamu sendiri yang menawarkan hubungan ini. Sekarang...." Ajeng terisak, suaranya tersendat. Terlalu sakit rasanya ketika dicampakkan oleh orang yang kita cintai sepenuh hati.

"Setelah kita kembali, setelah banyak harapan yang kamu beri, kamu mau ninggalin aku gitu aja? bahkan kamu sama sekali enggak mikirin apakah yang kita lakukan malam itu membuahkan hasil atau enggak." Ajeng terduduk, kedua telapak tangannya menutup wajahnya yang sudah kacau. Tangisnya terdengar keras membuat Firman mati-matian menahan diri untuk tak membawa perempuan itu dalam pelukannya. Bagaimanapun dia sadar masih sangat mencintai Ajeng, dan melihat tangis kehancuran wanita itu adalah luka untuknya.

"Marahlah, Jeng. Benci aku kalau perlu, tapi aku tetap pada keputusan aku untuk mengakhiri ini semua. Aisyah sangat berharga untukku, dan aku ingin hidup bersama Dia selamanya." Firman membalikkan tubuhnya dan membuka pintu. Namun sebelum benar-benar keluar, dia sedikit menolehkan wajahnya pada Ajeng yang masih tersedu dalam tangisnya.

"Soal kemungkinan kamu hamil karena perbuatan kita malam itu, berdoa saja semoga tidak pernah terjadi. Karena kalau sampai itu terjadi, Aisyah pasti akan semakin hancur."

Ajeng mendongak menatap tak percaya pada Firman. Ucapan lelakinya itu semakin menyayat perasaannya. "Bahkan disaat seharusnya kamu mengkhawatirkan aku, masa depan aku dan anggapan orang melihat kehamilan aku yang tanpa suami, kamu masih lebih memikirkan perasaan istri kamu. Apa kamu gila? APA KAMU SUDAH ENGGAK WARAS?" Ajeng berteriak diakhir kalimatnya, dia benar-benar kecewa dan terluka atas ucapan Firman.

"Sekali lagi maaf, semoga kamu bisa menemukan lelaki yang bisa menerima kamu dengan tulus dan mencintai kamu sepenuh hati," ucap Firman lagi sebelum benar-benar pergi meninggalkan apartemen Ajeng.

"AKU MAU KAMU. BUKAN ORANG LAIN, AKU ENGGAK BUTUH SIAPAPUN KECUALI KAMU. KEMBALI TENGKU FIRMANSYAH, JANGAN PERGI."

Firman masih bisa mendnegar teriakan Ajeng sebab pintu apartemen memang ia biarkan terbuka, namun lelaki itu memilih untuk tak menghiraukan. Dia tetap melanjutkan langkahnya menjauhi Ajeng.

***

Waktu demi waktu telah berlalu, hubungan Aisyah dan Firman kini sudah kembali membaik meski tak seharmonis dulu. Namun semua itu tak membuat Firman menyerah, lelaki itu terus berusaha mengembalikan kehangatan diantara mereka.

Selaksa Luka AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang