Bab 2. Ditinggal Dalam Kesakitan

557 28 0
                                    

Firman tertegun di tempatnya, kalimat yang istrinya ucapkan seakan sebuah kiamat untuk dirinya. Wajah segar sehabis mandi itu berubah pias seiring ketakutan yang semakin memenuhi hatinya.

Sebuah pertanyaan mengenai dari mana istrinya bisa mengetahui apa yang selama ini disembunyikannya hanya menari dalam pikirannya tanpa mampu dia ungkapkan. Pendar luka serta kecewa yang terpancar dari kedua bola mata sang istri membuat lidahnya kelu.

"Sejak kapan, Mas? sudah berapa lama kamu menghianati aku dan menjadi seorang pendusta? sudah berapa banyak kebohongan yang kamu berikan kepada aku?" tanya Aisyah dengan suara yang kian mengecil.

"Kenapa kamu begitu tega melakukan ini padaku, Mas? kenapa tidak jujur saja? aku bisa pergi kalau kamu memang sudah tidak menginginkan aku," ucap Aisyah. Bulir air mata semakin deras mengalir di pipinya. Isakannya terdengar menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya, terutama Firman yang memang berada di hadapannya.

"Apakah selama ini kamu tidak pernah benar-benar melupakannya, Mas? apakah namanya tak pernah hilang dari hatimu bahkan setelah kita menikah?" tanya Aisyah lagi dengan telapak tangan yang menekan dadanya. Sesak yang ia rasakan sulit digambarkan, rasanya bagaikan orang yang sedang sekarat.

Aisyah tertawa lirih di tengah derai air matanya, keterdiaman suaminya seolah sudah menjawab seluruh tanyanya. Dan itu sangat menyakitkan.

Aisyah beranjak berdiri, rasanya tak sanggup lebih lama berhadapan dengan Firman. Lelaki yang selalu dia puja serta doakan dalam setiap sujudnya itu terlalu parah memberikan luka untuknya.

Saat kakinya hendak melangkah, sebuah tangan mencekal lengannya. Wanita itu lalu menolehkan kepalanya dan menatap sang pelaku yang kini juga tengah menatapnya dengan mata memerah.

"Maaf..."

Bisikan kata maaf yang diucapkan Firman hanya semakin menambah sesak di dada Aisyah, dengan pelan dia menepis tangan suaminya dan menghela langkah meninggalkan Firman yang terpekur dengan penyesalannya.

Aisyah mengunci pintu kamarnya, dia butuh waktu untuk sendiri. Tubuh yang memang sudah lemas itu kini merosot hingga terduduk dengan punggung dan kepala bersandar pada kursi. Wajah yang sudah tak karuan sebab air mata itu tenggelam di atas kedua lututnya, tangisnya semakin pecah. Betapa ujian ini begitu berat untuknya, lelaki yang ia sangka pelita dalam hidupnya setelah sekian lama berada dalam gulita tak ubahnya seperti bunga mawar. Indah namun berdiri, dan ia terluka karena menggenggamnya.

"Allah... tak cukupkah semua luka yang kuterima sejak kecil hingga sekarangpun aku masih harus terluka," lirih Aisyah, bayang peristiwa masa lalu kembali berputar di otaknya bagai kaset rusak. Luka demi luka yang ia terima sejak kecil kembali memenuhi pikirannya membuat dia merasa tak berharga.

"Kalau aku dilahirkan hanya untuk menerima luka, kenapa aku harus ada?"

Aisyah mulai meracau, menyalahkan takdir yang seolah mempermainkan kewarasannya. Dia ingin seperti manusia lainnya, hidup bahagia dan dipenuhi cinta, tapi mengapa itu semua begitu sulit untuk didapatkannya. Dan saat dia merasa memilikinya, ternyata semua hanya dusta semata.

"Astagfirullah..." Aisyah menggeleng, bibirnya bergetar melafadzkan kalimat istighfar. Batinnya berulang kali memohon ampun pada sang pemilik jagad raya karena sudah menyalahkan ketentuan-Nya. Dia sadar, tak seharusnya dia menyalahkan takdir, bukankah seharusnya dia merasa bersyukur sebab Allah sudah membuka tabir kepalsuan di dalam rumah tangganya?

Aisyah menarik nafasnya dalam dan mengembuskannya kasar, jemarinya menghapus air mata yang begitu cepat berjatuhan di pipinya. Dengan lemas perempuan itu beranjak dan melangkah terseok menuju pembaringan.

"Ampuni aku ya Allah, maafkan pendosa ini ya Allah," sesal Aisyah. Tak lama kedua netranya memejam, lebih dari tubuhnya, hatinya terasa begitu lelah. Dia ingin rehat walau hanya sejenak.

Selaksa Luka AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang