Bab 9. Skakmat!

350 23 0
                                    

Firman duduk termenung di kursi kerjanya, tatapannya terlihat kosong, pikirannya kembali pada ucapan Aisyah malam tadi. Bagaimana kalau nanti Aisyah tahu kebusukannya? bagaimana bila nanti sang istri meninggalkannya? sekelumit tanya itu terus berputar di kepalanya membuat ia tak bisa memejamkan matanya setelah pembicaraan itu.

Suara ketukan pintu menarik Firman dari lamunannya, Leni datang masuk dengan langkahnya yang anggun, tatapan gadis itu tertuju pada meja Firman di mana berkas yang seharusnya telah selesai ditandatangani justru terlihat berserakan.

"Maaf Pak, apa berkasnya sudah selesai Bapak tanda tangani?" tanya Leni dengan kepala sedikit menunduk. Begitulah gadis itu, selalu menghormati dan bicara sopan pada Firman, kebaikan Firman selama menjadi bosnya membuat gadis itu bukan hanya merasa hormat tetapi juga segan.

"Belum, Len. Kamu bisa datang lagi ke ruangan saya setelah makan siang nanti," jawab Firman dengan jemari memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, netranya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan jam sebelas.

Firman menarik nafasnya dalam, seharusnya hari ini ia masih cuti, namun karena terus memikirkan ucapan istrinya ia memutuskan untuk masuk kerja lebih awal. Dia takut kalau tiba-tiba istrinya datang ke kantor dan tak mendapati keberadaannya, atau lebih buruknya sekretarisnya akan mengatakan kalau dirinya masih mengambil cuti. Padahal, tanpa diketahui Firman, semua kebusukannya telah Aisyah ketahui.

"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi."

Firman mengangguk, saat Leni hendak keluar dari ruangannya, Firman berseru memanggil membuat Leni menghentikan langkahnya dan membalikan tubuhnya.

"Kenapa, Pak? Apa ada yang perlu saya bantu? atau Bapak butuh sesuatu?"

Firman menggeleng, lelaki itu menarik nafasnya dan menatap lekat pada Leni. "Saya ingin bertanya sesuatu, Len."

Leni mengerutkan dahinya dengan tatapan aneh, tidak biasanya sang atasan bersikap seperti itu, biasanya bila ada hal yang bersangkutan dengan pekerjaan, Bosnya itu akan langsung berbicara tanpa meminta izin terlebih dahulu.

"Duduklah!" ucap Firman lagi dengan suara tak ingin dibantah.

Sebuah anggukan singkat diberikan oleh Leni, gadis itu lalu menuruti permintaan sang atasan untuk duduk di kursi yang berhadapan dengannya.

"Maaf Pak, sebenarnya apa yang ingin Bapak tanyakan? apakah ada masalah dengan pekerjaan saya?" tanya Leni dengan raut wajah serius. Ada kekhawatiran bila ternyata pekerjaannya selama ini tidak memuaskan, dan yang lebih menakutkan dia akan kehilangan pekerjaannya.

Firman menggeleng, hembusan nafasnya terdengar kasar. Tubuhnya lalu bersandar pada sandaran kursi, sementara tatapannya kini tertuju pada sebuah foto istrinya yang ada di atas meja kerjanya.

"Apa yang akan kamu lakukan bila pasanganmu mendua?" tanya Firman tanpa mengalihkan tatapannya dari bingkai foto Aisyah.

Sementara di hadapannya, Leni terdiam dengan kedua netra yang membulat sempurna. Gadis itu menelan salivanya kasar, pikirannya langsung tertuju pada istri sang atasan yang selama ini selalu bersikap baik dan hangat kepada dirinya.

"Kenapa diam? cukup jawab sesuai dengan apa yang akan kamu lakukan saja, tak perlu merasa tak enak hati kepada saya," ucap Firman. Kali ini tatapan matanya tak lagi tertuju pada bingkai foto Aisyah, tetapi pada sekretarisnya yang terlihat gugup.

Leni menghela nafasnya, duduknya berubah menjadi lebih tegak, tatapannya menghunus tajam pada atasannya. Tak ada rasa takut seperti biasanya saat beradu tatap dengan sang direktur.

"Saya hanya permepuan biasa, Pak. Saya punya hati yang pasti akan terluka bila dikhianati, jadi saya pasti akan memilih mundur. Daripada saya hidup berdampingan dengan lelaki yang saya cintai namun tak mampu membahagiakan saya dan hanya bisa menyakiti, lebih baik saya lepaskan dia pergi bersama perempuan yang dia inginkan." Leni menghentikan sejenak ucapannya, entah kenapa tiba-tiba perasaannya menjadi kesal. Meski dia tak tahu apa alasan sang atasan menanyakan hal ini, namun dia tetap menyadari kalau rumah tangga atasannya sedang tidak baik-baik saja.

Selaksa Luka AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang