Aisyah berdiri di depan pintu apartemen Ajeng, cukup lama dia berdiri di sana, menyiapkan hati untuk menghadapi perempuan yang telah menjadi duri dalam rumah tangganya. Setelah pengakuan suami ya semalam, sore ini dia memutuskan untuk datang menemui Ajeng.
"Bunda lakuin ini buat kamu, Nak. Bunda mempertahankan ayah kamu juga untuk kamu. Bunda tak ingin membiarkanmu tumbuh tanpa sosok ayah seperti dulu yang juga terjadi dalam hidup Bunda. Perpisahan orang tua sangat berat untuk anak, karena itu Bunda tak ingin kamu merasakannya. Sebisa mungkin Bunda akan bertahan, setidaknya Bunda ingin kamu tahu kalau Bunda sudah berjuang dengan segenap kekuatan yang Bunda miliki," gumam Aisyah seraya mengelus perutnya yang buncit.
Aisyah menghela nafas, perlahan sebelah tangannya mengangkat dan menekan bel dan tak butuh waktu lama pintu terbuka.
Dapat ia lihat keterkejutan di wajah permepuan di depannya. Seksi, satu kata itu yang terlintas di pikiran Aisyah saat melihat penampilan Ajeng. Gaun merah yang membentuk tubuh juga rambut bergelombang yang terurai yang mampu menyegarkan pandangan setiap laki-laki yang melihatnya, dan mungkin juga suaminya.
Aisyah menyunggingkan senyum sinis pada Ajeng yang kini terlihat pias. "Sepertinya kamu sengaja menyiapkan penampilan seperti ini untuk suami saya," ucap Aisyah dengan tatapan remehnya. Dalam hati perempuan itu memohon ampun kepada Tuhan karena sudah bersikap seperti itu, namun dia merasa perlu melakukannya untuk menunjukkan pada wanita di hadapannya di mana tempatnya berada.
"Apakah saya tidak diizinkan untuk masuk?" tanya Aisyah dengan alis terangkat saat Ajeng hanya berdiri mematung tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
"Si-silakan, Mabk." Ajeng membuka pintu semakin lebar, membiarkan Aisyah untuk masuk ke apartemennya.
Aisyah mengangguk dan melangkah masuk, netranya mengedar menyusuri setiap ruang yang ada di sana hingga terhenti pada sebuah pintu kamar bercat putih.
"Akh, di sana rupanya tempat kalian berzinah," ucapnya lagi membuat Ajeng tersentak dan mengikuti arah pandanganya.
Aisyah mendudukkan tubuhnya di sebuah sofa tanpa menunggu dipersilakan, anggaplah dia tak sopan namun lagi-lagi menurutnya tak lantas wanita gelap suaminya itu mendapatkan sopan santun darinya.
"Saya tidak akan berlama-lama di sini, saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal sama kamu. Saya harap kamu bisa sadar diri dan tau diri nantinya."
Ajeng menelan salivanya gugup, keringat dingin mulai bermunculan di pelipisnya. Kedatangan istri sah dari kekasihnya benar-benar membuat dia terkejut, tak menyangka kalau permepuan lemah lembut itu akan mendatanginya.
"Saya sudah tahu kalau suami saya kembali berselingkuh dengan kamu dan saat ini kamupun tengah mengandung benihnya. Tapi Ajeng, perlu kamu tahu bahwa kehamilan kamu itu bukan tanggung jawab suamiku," ucapnya Aisyah dengan suara tegas yang membuat Ajeng tersentak.
"Anak hasil hubungan gelap, atau anak yang terlahir di luar ikatan pernikahan itu bukan menjadi tanggung jawab ayahnya. Dia tidak memiliki hak apapun terhadap ayahnya, bahkan tak berhak mengikuti nasab ayahnya." Aisyah menghentikan kalimatnya, menatap tajam perempuan di hadapannya.
"Mungkin kalimat saya terdnegar kasar dan menyakitkan di telinga kamu, tapi memang itu faktanya. Karena itu saya meminta kamu untuk sadar diri dan tahu diri," lanjutnya lagi yang membuat kedua netra Ajeng mengembun.
"Ta-tapi kami saling mencintai, dan bagaimanapun anak ini darah daging dari Firman," ucap Ajeng dengan suara bergetar.
Aisyah mengangguk-anggukkan kepalanya, senyum sinisnya kembali terbit. "Karena itu. Karena kalian saling mencintai, dan melakukannya atas dasar suka sama suka, maka Mas Firman tidak harus bertanggung jawab sebab dia tidak pernah memaksamu untuk menyerahkan tubuh kepadanya. Jadi sekalipun anak itu darah daging suami saya, dia tetap tidak memilki hak apapun terhadap suami saya," ucap Aisyah yang membuat Ajeng menatapnya terluka.
"Aku pikir kamu orang yang baik, lemah lembut seperti apa yang selalu diceritakan Firman, namun sepertinya dia salah. Kamu sangat jauh dari apa yang dia ceritakan," ucap Ajeng seraya menghapus kasar air matanya. Sedangkan Aisyah terkekeh kecil mendnegar pernyataan dari Ajeng.
"Jadi, Mas Firman selalu menceritakan tentang saya ke kamu?" tanya Aisyah seraya menunjuk Ajeng, permepuan itu lalu tertawa dengan keras. Suatu hak yang selama ini tak pernah di lakukannya.
"Ajeng-Ajeng..." Aisyah berdiri, dan menggelengkan kepalanya pelan. Tatapan remehnya masih terlihat jelas di kedua netranya.
"Dengan itu saja, seharusnya kamu sudah sadar kalau Mas Firman begitu menganggumi dan membanggakan saya, lalu apa yang membuatmu menjadi tidak tahu diri?" tanya Aisyah skiptis.
Ajeng beranjak berdiri, wajahnya memerah, kedua telapak tangannya mengepal erat. Ucapan Aisyah benar-benar merobek harga dirinya.
"Saya membiarkan kamu memandang rendah saya itu karena memang saya merasa bersalah sama kamu, tapi bukan berarti kamu bisa bersikap keterlaluan seperti ini sama saya," ucap Ajeng dengan suara kerasnya, air mata mengalir deras membasahi pipinya membuat Aisyah merasa muak sebab wanita itu bersikap seolah menjadi orang paling tersakiti padahal dia dan calon anaknya lah korban yang sesungguhnya.
"Apa ada yang salah dengan kata-kata saya? bukankah apa yang saya ucapkan itu sesuai dengan fakta yang ada?"
Ajeng terdiam, dadanya naik turun menahan emosinya. "Sekalipun itu benar, kami tidak berhak menghakimi saya. Kamu bukan Tuhan, jangan merasa menjadi manusia paling suci hingga mulutmu begitu lihai menghina orang lain," ucap Ajeng lagi, tatapannya terlihat nyalang. Namun sedikitpun tak membuat Aisyah takut, perempuan itu justru terlihat menikmati pemandangan di hadapannya.
"Saya memang bukan Tuhan, saya juga tidak pernah merasa diri saya suci. Tapi perlu kamu sadari, bahwa terkadang manusia itu perlu dicambuk acara benar-benar memahami apa itu sakit yang sesungguhnya," ucap Aisyah dengan tangan berlipat di bawah dada.
Ajeng memalingkan wajahnya, perkataan Aisyah bertubi-tubi menampar dirinya. "Katakan apa maumu sesungguhnya dan segeralah pulang," ucap Ajeng dengan suara yang lemah. Sementara Aisyah kini tersenyum lebar, dia lalu mendudukkan tubuhnya kembali dan meminta Ajeng untuk duduk.
"Jauhi suami saya, hapus semua akses komunikasi kalian. Karena kalau tidak...." Aisyah menghentikan ucapannya dan menatap lekat pada wanita di hadapannya.
"Saya pastikan perbuatan kamu ini akan sampai ke telinga orang tuamu. Saya dengar, mereka belum tahu kalau ternyata anak yang mereka banggakan ini menjadi perempuan simpanan suami orang," ucap Aisyah dengan seringai menakutkan yang terlihat di matanya membuat Ajeng tak berkutik dan semakin pias.
Aisyah beranjak berdiri, tanpa mendnegar jawaban Ajeng, dia lalu melangkahkan kakinya ke arah pintu. Dia tahu kalau Ajeng pasti akan memikirkan ucapannya walau ia tak yakin selingkuhan suaminya itu akan melakukan sesuai dengan yang dia inginkan.
Aisyah tersenyum miris saat membuka pintu dan melihat seorang yang berdiri di hadapannya, begitupun dengan Firman yang kini berwajah pias.
"Silakan masuk! Langsung pulang kalau sudah selesai," ucap Aisyah dengan tatapan dinginnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksa Luka Aisyah
Roman d'amourAisyah tak pernah menyangka, diusia pernikahannya yang baru menginjak satu tahun harus mendapatkan suaminya selingkuh. Bukan dengan orang baru, tetapi dengan sang mantan tunangan yang telah mencampakkan suaminya. Aisyah tak mengerti, mengapa bisa se...