Bab 8. Kebohongan Ke Sekian Kali

298 14 0
                                    

Aisyah menatap gusar pada layar ponselnya yang tengah memanggil nomor suaminya, sudah berulang kali dia mencoba namun sang suami tak kunjung mengangkat teleponnya. Rasa khawatir kembali muncul, bukan takut terjadi suatu yang buruk pada suaminya, Aisyah justru takut lelakinya tengah menemui perempuan lain. Perempuan yang memiliki seluruh hati suaminya.

Helaan nafas berat berhembus kasar dari bibir Aisyah, dia lalu mengganti panggilan ke nomor Leni, sekretaris suaminya. Kali ini ia tak perlu menunggu lama, Leni langsung menjawab panggilannya dengan sapaan yang ramah.

"Halo, Len. Maaf saya mengganggu. Saya mau nanya, untuk beberapa hari ke depan jadwal Bapak padat enggak, yah?" tanya Aisyah, sengaja ia tak bertanya pada intinya langsung. Dia ingin tahu apakah dugaannya ini benar atau justru hanya sebatas prasangka saja.

"Tidak, Bu. Semua pekerjaan Bapak sudah saya handle, Bapak juga sudah mengabari saya kalau beliau akan memperpanjang cuti liburannya."

Deg

Cuti liburan? Aisyah membatin nelangsa, wajahnya berubah pias mendengar jawaban Leni. Hatinya berdesir perih, Firman pamit bekerja kepadanya tapi ternyata lelaki itu justru memperpanjang cuti. Tega sekali Firman kembali membohonginya, rasanya sudah benar-benar lelah.

"Ok, makasih yah Len. Tolong jangan bilang Bapak kalau saya menghubungi kamu, saya cuman enggak mau dia melalaikan pekerjaannya hanya untuk menuruti keinginan saya," ucap Aisyah. Senyumnya terlihat getir, Firman bahkan memajukan waktu pulangnya yang seharusnya malam tadi, buka kemarin. Dia pikir benar karena pekerjaan yang takut terbengkalai, namun rupanya lelaki itu memilki rencana lain.

"Siap, Bu. Saya mengerti, selamat bersenang-senang, Bu."

Aisyah mematikan sambungannya, dia terduduk lemah di ujung tempat tidur. Kepalanya tertunduk, bulir air mata perlahan menetes di wajah cantiknya dan tangannya mengelus lembut perutnya.

"Kamu masih kuat kan, Nak? bantu Bunda untuk kuat juga yah," gumam Aisyah dengan suara berbisik. Hatinya benar-benar tengah rapuh, inginnya pergi menjauh meninggalkan segala sumber sakitnya, namun lagi-lagi kehamilannya membuat dia harus berpikir ribuan kali. Ini bukan hanya tentangnya, tentang lukanya, tetapi juga tentang calon anaknya.

Aisyah menarik nafasnya dalam lalu mengembuskannya perlahan berusaha meredam amarahnya, setelah mendapatkan ketenangannya, Aisyah beranjak dari duduknya dan pergi ke balkon kamarnya. Duduk di kursi ayunan dengan bibir yang terus melantunkan sholawat, hanya itu yang bisa dirinya lakukan untuk saat ini sebab mengungkapkan amarah dan membongkar segalanya pun percuma, tak ada jaminan sang suami akan berubah menjadi lelaki yang setia.

Di tempat lain, Firman menggeliatkan tubuhnya. Lenguhan khas bangun tidur terdengar dari bibirnya membuat Ajeng yang masih berada dalam dekapannya terusik dan menggeliat pelan.

Sssttt....

Firman menepuk-nepuk pelan punggung Ajeng, setelah kekasihnya kembali nyaman dalam tidurnya, lelaki itu perlahan melepaskan pelukannya pada tubuh Ajeng. Dengan penuh hati-hati Firman bernajak dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.

Tak perlu waktu yang lama, kini lelaki itu sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Separuh tubuhnya terbalut handuk putih memperlihatkan otot-otot tubuhnya yang memesona.

"Sudah sore, aku harus pulang sekarang," gumam dengan tatapan yang tertuju pada jam dinding. Merasa waktunya sudah semakin sedikit, Firman bergegas memakai pakaiannya, tak lupa ia mengeringkan rambutnya agar istrinya tak curiga.

"Bie, kamu mau pulang?"

Firman yang tengah mengeringkan rambut menghentikan kegiatannya, lelaki itu menolehkan wajahnya pada sang wanita yang masih meringkuk dengan selimut yang sedikit tersingkap menunjukkan dua gunung kembar yang menggoda iman.

Selaksa Luka AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang