10. Keajaiban Dunia yang Kesepuluh

9.5K 1.4K 280
                                    


Untuk bab ini, boleh lah, kasih vote sampai 500???? Makasih juga buat yang rajin komen di setiap paragraf. Aku beneran terhibur banget bacain semua komen kalian satu per satu❤️❤️❤️


"Rafly enggak dateng?" Bunda bertanya dengan nada agak sinis, ketika satu jam sebelum acara dimulai—di saat semua bridesmaid dan groomsman sedang bersiap-siap—belum juga terlihat keberadaan Rafly di ballroom hotel.

Alit mendengkus. Dia jadi makin benci dengan Rafly. Bayangkan bagaimana malunya dia sekarang di depan orangtuanya—juga di depan Brian—yang pernah mendengar berkali-kali bagaimana Alit memuji dan mengelu-elukan betapa kerennya Rafly dibanding laki-laki mana pun yang pernah dia kenal. Dan setelah jadian, Alit dengan penuh kesombongan memamerkan kemesraan mereka.

Nyatanya, semua itu cuma bertahan satu minggu. Ah, sial sekali nasibnya. Sudah menunggu dua tahun dengan hubungan menggantung tidak jelas, sekalinya jadian, cuma bertahan satu minggu. Kalau Bintang tahu cerita lengkapnya dan tidak sedang sibuk mengurus pernikahan, pasti pria itu bakal menjadi orang pertama yang meledekinya habis-habisan.

"Gimana sih, kok bisa enggak dateng? Udah dijahitin beskap mahal-mahal di desainer terkenal, malah enggak dateng! Kalian beneran udah putus? Bukan cuman lagi berantem?" Bunda terus mengomel, karena Alit tidak menjawab.

"Udah, Nda. Nggak apa-apa. Mungkin memang bukan jodohnya. Jangan dipaksakan." Dengan tenang, Ayahnya merangkul Bunda. Seperti biasa, Ayahnya memang paling bisa memahami mood Alit yang sedang enggak mau membahas itu.

"Kamu udah bilang ke Mbak Anggun, Lit, kalau groomsman-nya kurang satu?" tanya Ayahnya kemudian, menyebutkan nama petugas WO yang membantu mengurus acara ini.

Alit mengangguk pelan. "Mbak Anggun lagi cariin opsi buat gantiin posisi Rafly. Kalau enggak ada, mungkin aku bakal ngebujukin Arik—adiknya Mbak Alan—supaya jadi pasanganku."

"Kan warna beskap keluarganya Alan beda sama beskap untuk groomsman."

Itu dia masalahnya. Ditambah lagi, sejak awal Arik juga enggak mau menjadi groomsman. Mungkin Alit harus membujuknya lebih ekstra agar anaknya mau. Dan kalau pun mau, ia juga harus effort mencari beskap lain yang warnanya mirip dengan warna beskap groomsman.

Hhh. Kenapa juga Rafly cuma mentransfer uang tiga juta. Seharusnya, pria itu mengembalikan beskapnya ke Alit. Setidaknya kan, mereka jadi enggak perlu kesulitan mencari beskap untuk Arik—semisal rencananya ini jadi. Lalu setelahnya beskap itu bisa dijual dengan harga lebih mahal. Apalagi ukuran baju Rafly standar seperti kebanyakan cowok pada umumnya, yang enggak terlalu tinggi dan badannya ideal. Warnanya pun netral. Akan sangat mudah menemukan siapa yang mau membeli beskap itu.

"Halo, Om!" Keresahan mereka teralihkan oleh sapaan suara renyah yang sejak tadi Alit cari-cari keberadaannya. Padahal ia dengar dari Ben, Brian sudah datang sejak satu setengah jam lalu, tapi keberadaannya enggak terlihat di mana-mana. Jujur saja, Alit penasaran, kenapa tumben sekali pria itu enggak cari muka di depan keluarganya sejak tadi?

Ekor mata Alit bisa melihat dengan jelas penampilan Brian yang tampak sangat rapi dengan beskap, lengkap dengan blankon yang memancarkan aura berbeda dari yang biasa ia lihat.

Meski bukan orang Jawa, Brian terlihat sangat cocok dengan blankon dan beskap. Tampaknya pria itu menghabiskan waktu lama untuk makeup, karena luka-luka memar yang dihasilkan Bintang kemarin tertutupi dengan sempurna. Bahkan ujung bibirnya yang sobek kemarin, tidak terlihat bekasnya. Pria itu sudah bisa tersenyum dengan begitu lebar, memamerkan lesung pipinya yang cuma ada di sebelah kiri. Apa luka di bibirnya memang bisa sembuh secepat itu?

"Dari mana aja kamu? Kok baru kelihatan sekarang?" Seperti biasa, Bunda terlihat paling bersemangat setiap kali berhadapan dengan Brian.

"Biasa Tante, ngobrol sama temen-temen kuliah yang dateng ke sini, udah lama enggak ketemu, jadi ngobrol lumayan lama di lobi hotel."

Hello ShittyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang