16. Kejujuran

10.7K 1.4K 215
                                    



"Males ah!" Alit mendorong tubuh Brian menjauh dengan sekuat tenaga. Rangkulan pria itu terlepas, lalu Alit maju dua langkah, menghindari tatapannya. "Kalau nyebelin kayak gini, aku mau pulang aja!"

"Iya, iya ... enggak deh!" Brian tertawa kecil, lalu mendekati Alit lagi. Kali ini tubuh Alit bergerak lebih cepat untuk menghindari tangannya yang bergerak ingin merangkul lagi. "Tapi aku serius sayang sama kamu, Lit."

Tanpa mengatakan apa-apa, Alit langsung berjalan cepat mencari celah menerobos kerumunan, menghindar sejauh mungkin dari Brian sambil susah payah menenangkan degub jantungnya yang berantakan. Sekarang yang sedang tampil adalah band pembuka, sehingga penontonnya belum terlalu heboh. Dan ternyata di bagian samping depan masih banyak space kosong.

"Safaraz ... astagaa! Mentang-mentang badannya kecil, cepet banget jalannya kayak belut sawah!" Baru lima menit Alit menenangkan diri, suara Brian di belakangnya terdengar. Napas pria itu tampak terengah-engah.

Alit menatap lurus ke panggung, berusaha mengabaikan keberadaan pria itu.

"Jangan tiba-tiba kabur gitu ah, kalau salting!"

Emosi Alit makin mendidih. Memang benar sih, dia salting. Tapi ... dia sungguhan enggak suka kalau Brian kumat lagi dengan mengeluarkan modus menyebalkan seperti ini, lalu meledekinya dengan besar kepala seolah Alit sangat mudah untuknya.

Ketika Alit memberikan kesempatan untuk membiarkan Brian ada di dekatnya, dia menikmati sisi hangat pria itu yang lembut, pengertian, menghargai privasinya dengan enggak banyak tanya, sabar dan selalu tenang. Dan ia paling enggak suka kalau Brian kembali pada mode default-nya, suka menebar pesona dan menggombal dengan seringai jahil seperti barusan.

Ah, pokoknya Alit kesal setengah mati. Kembali lagi ia layangkan lirikan tajam pada sosok yang berusaha membujuknya itu.

"Aku beneran males banget dengerin kamu gombal atau modus-modus kayak tadi. Kalau kamu gitu lagi, aku bakal pulang sendiri naik ojek online!" Alit memasang ekspresi seserius mungkin, meski debar jantungnya belum beraturan sampai sekarang. Bagaimana pun dia kesal, tetap saja ada sensasi aneh yang bergejolak di perutnya ketika mendengarkan gombalan sampah pria itu.

Siapa pun juga tahu kalau Alit ini terlalu mudah baper. Kalau dia membiarkan Brian terus merayunya seperti tadi lebih lama, bisa-bisa dia kehilangan kendali dan malah bergerak duluan untuk mencium bibir tipis itu.

Tuh, kan. Pikirannya benar-benar sudah enggak beres sekarang.

"Iya, deh, enggak lagi ...."

"Janji?" Masih dengan tampang sengitnya, Alit menyahut.

"Janji." Brian tersenyum lebar, kemudian hendak merangkul Alit, yang langsung ditolak.

"Enggak mau!"

Brian tampak menghela napas panjang. Lalu mengangguk kecil. "Okay, tapi jangan ke mana-mana lagi. Nanti kalau kamu ilang, enggak ada gantinya."

"Masnya tinggi banget, tiba-tiba nyelonong ke depan, ngalangin nih!" Baru sebentar mereka terdiam, Mbak-Mbak di belakang Brian menegurnya.

"Oh, iya, sori ya!" Lalu Brian menarik tangan Alit lembut. "Ayo Lit, ke tempat yang tadi aja, yang enggak terlalu sesak!"

"JANGAN PEGANG-PEGANG! ENGGAK MUHRIM!" Tanpa sadar, suara Alit terlalu keras, sampai orang-orang di sekitarnya menoleh.

Alit langsung mempercepat langkahnya, menghindari tatapan penasaran orang-orang dengan wajah memerah. Malu banget!

Sementara Brian berjalan dengan tenang sambil terkekeh. Menyadari kalau orang-orang di sekitarnya masih menaruh perhatian padanya, Brian memberikan klarifikasi. "Maaf ya, semuanya, bini gue kalau lagi ngambek emang suka gitu. Silakan dilanjut lagi nontonnya!"



Hello ShittyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang