"Selamat siang Ibu Alanda! Perkenalkan, saya Safaraz Widyana, asisten pribadi Ibu Alanda yang dibayar Bapak Bintang Umbara untuk membantu, menemani dan menjaga Ibu Alanda sampai setahun ke depan." Begitu Alanda membuka pintu rumahnya, dia langsung mendapati Alit menyapanya sambil menunduk sedikit, dengan sebelah tangan di dada, sementara tangan satunya lagi beristirahat di balik punggung.
Alanda terkekeh, membuka pintu lebih lebar. Sedangkan Bintang yang duduk di ruang tamu, langsung sewot mendengar kata 'bayar' dalam kalimat Alit. "Heh! Enak aja! Siapa juga yang mau bayar?!"
Alit mengabaikan pelototan tajam Bintang, kembali membalik badannya untuk mengambil koper yang dia letakkan di dekat pagar rumah Alanda. Di atas koper tersebut ada sebuah travel bag yang lumayan berat, sehingga Alit enggak bisa membawanya sekaligus.
"Ini enggak ada cowok ganteng dan baik hati yang mau bantu aku ngangkat ini apa ya?" seru Alit dari luar rumah, berpura-pura keberatan mengangkat tasnya. Padahal dia hanya menyentuh pegangan tasnya, tanpa benar-benar mengangkatnya.
Untungnya yang disindir langsung peka, tergopoh-gopoh keluar dari rumah dengan kening berkerut-kerut.
Ah, sebenarnya Bintang enggak sepeka itu sih. Alanda terus-terusan menyikutnya dengan pelototan tajam, sehingga demi ketentraman rumah tangganya, Bintang pun keluar. Membantu adiknya membawa barang-barangnya masuk.
"Ngapain sih, Lit, bawa barang sebanyak ini?" gerutu Bintang dengan napas terengah-engah usai meletakkan travel bag dan koper Alit di dekat meja ruang tamu.
"Kan aku mau nginep sini setahun," jawab Alit santai.
"Siapa yang ngizinin?!" Tatapan Bintang makin senewen.
Tadi pagi, Ayah memang meneleponnya untuk memastikan apakah Alanda dan Bintang ada di rumah. Ayah bilang, Alit bakal main ke rumahnya.
Cuma main!
Dan sekarang, Alit malah bicara ngelantur seperti barusan.
Masalahnya ada banyak kerugian yang bakal dia dapat kalau Alit menginap di sini kelamaan. Baru setengah jam ia berhadapan dengan Alit saja, kepalanya sudah pening. Apalagi setahun?
Namun, dengan entengnya Alit merangkul Alanda dengan senyum penuh arti. "Mbak Alanda yang ngizinin. Iya, kan, Mbak?"
Dan yang membuat Bintang makin kesal, Alanda langsung mengangguk begitu saja, tanpa berdiskusi dulu dengannya.
"Kamar tamunya udah aku rombak buat jadi kamar bayi!" Bintang beralasan, sembari mengusir secara halus. "Kalau seminggu aja nggak papa."
"Kan masih ada kamar tamu satu lagi," sanggah Alit santai.
"Itu kan buat Bunda sama Ayah kalau lagi main ke sini. Atau buat Mama sama Papanya Mbak Alan."
"Tapi sekarang kan, mereka lagi enggak di sini, jadi kamarnya kosong, dan bisa kupakai!" Alit menyahut enggak mau kalah.
Bintang menarik napas berat. Memang agak sulit berdebat dengan bocil keras kepala yang terbiasa dituruti semua keinginannya sejak kecil. "Terus kalau suatu hari Bunda sama Ayah nginep sini, gimana?"
"Ya tinggal tidur bertiga."
Kali ini Bintang enggak langsung menyahut, karena ucapan Alit ada benarnya. Bocah itu masih suka tidur di tengah Bunda dan Ayah sampai usianya sudah sebesar sekarang.
"Kalau Mama sama Papa mertuaku yang ke sini?" balas Bintang lagi.
"Aku bisa tidur di kamar bayi. Kan sekarang belum ada bayinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Shitty
RomanceDi antara banyaknya teman setongkrongan Kakaknya, kenapa harus Brian yang naksir Alit? Masalahnya, selain wajahnya yang ganteng dan terlahir dari keluarga tajir melintir, Brian enggak punya kelebihan lain yang sesuai dengan kriteria Alit. Bahkan sep...