Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selesai acara pernikahan, Habiba memilih untuk langsung memasuki kamarnya. Ia duduk di sudut kamar sembari memeluk lutut.
Ada perasaan tidak rela karena merasa sesuatu yang berharga telah direnggut darinya. Bukan kehormatan, tetapi kesempatan.
Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk sebebas dulu sebelum mempunyai seorang suami. Habiba bahkan tidak diberi kesempatan untuk memilih pasangan terbaik pilihannya yang sesuai dengan kriterianya.
Suaminya ini sangat jauh dari harapan Habiba. Air mata yang menjadi pelampiasan rasa sakitnya pun tak dapat menolong dirinya.
Mungkin suaminya adalah sosok laki-laki pilihan Allah yang telah ditulis namanya di lauhul mahfudz untuknya. Tidak mungkin kejadian ini hanya kebetulan. Pasti Habiba akan menemukan kisah tersendiri ke depannya.
Tubuh Habiba tersentak ketika mendengar suara pintu kamar terbuka, lalu masuklah seorang pria bertubuh tinggi. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum akhirnya gadis berhidung sempit itu memilih untuk memalingkan wajahnya. Masih merasa begitu asing pada sosok itu, bahkan dirinya yang tidak terlalu terbiasa menatap bukan mahramnya dalam waktu lama, membuatnya masih menganggap bahwa suaminya sendiri pun masih haram untuknya.
