Bagian dua belas, nenek berkunjung.

105 42 14
                                    

Hari minggu adalah waktunya bersantai. Berjalan-jalan, atau berlibur bersama keluarga untuk membuat kenangan. Namun, hal tersebut tidak ada lagi pada hidup Fitri. Sekarang ia cenderung belajar dirumah seharian, dan malamnya membantu ibu memasak walau hubungan mereka tak sedekat itu. Hanya saja, keduanya jarang mengobrol.

Fitri tak berniat mengajak ibunya berbincang, tak ada topik pembicaraannya. Adapula ayahnya yang sering kali mengajak Hasna mengobrol dan tersenyum walau balasan Hasna terlihat acuh tak acuh. Seperti sekarang ini, mereka tengah berada di dapur. Ibu bagian memasak, dan Fitri bagian menyiapkan piring dimeja makan yang berada didekat dapur. Sedangkan Rayzen bagian membantu memotong-motong sayuran.

Fitri mendengar pembicaraan mereka. Tak berniat menguping, tetapi sungguhan hanya terdengar. Kadang, Fitri kebingungan dengan hubungan ayah dan ibunya itu. Ibunya memang terkadang tak selalu menunjukkan amarah, kadang juga ibunya menunjukkan ketenangan setiap hari libur. Tetapi Fitri tak ambil pusing, ia tak perlu ikut campur dan banyak bertanya.

"Aku teringat masa lalu," ujar Rayzen⏤disamping Hasna yang tengah memasak. Rayzen tersenyum tipis, sembari mengiris wortel. Hasna masih diam, tak ikut tersenyum. Ia sibuk saat ini.

"Ketika anak kita berusia 7 Tahun. Ia membantu menyiapkan piring, seperti sekarang. Kau ingat?" Lanjutnya pelan.

Pergerakannya terhenti, matanya melebar untuk sesaat. Seolah waktu berhenti sejenak. Hasna ingat, mengingatnya sangat jelas. Namun, ia menolak untuk mengingat. Walau pikirannya terus memutar masa lalu setiap kali dibicarakan, atau kejadian yang saat ini mirip dengan beberapa tahun yang lalu.

"Aku tak ingat," tegas Hasna. Ah⏤apa ini? Dadanya terasa sakit setelah mengatakannya. Hatinya terasa tertusuk, tetapi tak seperti ditusuk. Seperti ada yang menekan dadanya.

Rayzen terdiam, ia masih tersenyum. Walau senyuman yang menunjukkan kesedihan. Sekarang situasi keduanya tiba-tiba saja hening. Namun, bel yang berada di depan rumah mereka berbunyi. Membuyarkan keheningan mereka sesaat. Hasna hendak mematikan kompor⏤untuk membuka pintu, tetapi Fitri sudah lebih dulu berinisiatif.

"Biar aku yang bukakan pintunya, Bu!" Katanya, kemudian ia berlari kecil melintasi meja yang berada di dapur untuk menuju pintu.

Melihat Fitri yang berlari, dahi Hasna berkerut. "Fitri, jangan berlari!" Tegur Hasna spontan. Rayzen pun terkejut, ia menoleh menatap Hasna. Rayzen yakin bahwa Hasna mengingatnya. Mengingat masa lalu yang mereka sebutkan tadi.

Ah...

Hasna mendadak diam, ia sendiri terkejut. Mulutnya berbicara secara spontan memberinya teguran. Karena, ketika Fitri masih kecil ia sudah biasa memberinya teguran tiap kali Fitri berlari.

"Kau mengingatnya, Asna-ku." Papar Rayzen tiba-tiba, tersenyum.

Hasna tertegun, 'Asna-ku' panggilan itu kembali lagi, panggilan yang telah lama tidak lagi Rayzen lontarkan setelah anak mereka lahir. Tak sadar pula mereka saling bertatapan, dan Hasna hampir mengeluarkan air mata. Buru-buru ia memalingkan wajah kesamping agar tak terlihat.

Mengapa sulit sekali hanya untuk melupakan masa lalu? Mengapa sulit sekali melupakan kenangan yang telah terukir dalam hidupnya?

* * *

"Nenek?" Fitri terkejut setelah membuka pintu dan menampilkan wanita paruh baya yang masih tampak sehat. Devi Meira⏤ibu dari Rayzen. Rambutnya digelung dengan rapi, penampilannya begitu elegan. Mengenakan selendang hitam yang menutupi kedua pundaknya. Tersenyum kearahnya.

"Boleh nenek masuk?" Tanya Devi, tertawa pelan.

Fitri sontak mengangguk, ia mempersilahkan Devi masuk kedalam rumah. Mengikuti Devi dari belakang menuju ruang tamu, mata Devi menelisik setiap sudut rumah. Fitri merasa tegang dibelakangnya.

"Bersih," ujar Devi. Lantas ia mendudukkan dirinya ke sofa.

Fitri menghela nafas lega, takut bila rumahnya terlihat kotor dan nenek nya itu akan mengomentari. Syukurlah Devi mengomentari hal yang bagus. Tidak seperti waktu itu.

"Kotor sekali, dimana ibumu? Ia tak mengurus rumah?"

"Tunggu sebentar, Nek. Aku akan buatkan teh hangat," ujar Fitri. Devi menoleh kearahnya, mengangguk. Kembali tersenyum lembut.

Fitri bergegas menuju dapur. Tak ingin membuat Devi terlalu lama menunggu. Jika tidak, ia akan terkena komentar pedas lagi. Tentu saja, Fitri masih ingat. Mana mungkin ia melupakan hal yang cukup menyakiti hatinya, begitu membekas dalam ingatan Fitri.

"Hanya membuat teh hangat saja selambat ini?"

⏤⏤

"Ayah, Ibu. Nenek Devi datang kemari," ujar Fitri yang berada disamping Rayzen. Berjinjit untuk mengambil gelas yang berada di lemari atas.

Hasna terkesiap, tubuhnya menegang. Bola matanya melebar karena terkejut. Mendadak ia terasa kaku. Jantungnya berdebar cukup kencang. Semakin gelisah pula dan membuatnya menghentikan kegiatannya. Seolah takut jika Devi datang kemari, memang kenyataannya begitu.

Rayzen tak menyadari perubahan Hasna, ia memberi anggukan setelah mendengarnya dari Fitri. "Nanti ayah akan memberi salam," sahutnya.

"Aku akan memberi salam dulu," ujar Hasna, ia mematikan kompor dan melepas celemek yang ia kenakan sedari tadi, meletakkan celemek nya diatas meja yang berada ditengah area dapur.

Rayzen sontak menoleh. Meletakkan pisau kecilnya yang ia pakai untuk mengiris wortel, dan mencuci tangannya di wastafel. Berniat menyusul istrinya, tetapi Hasna lebih dulu meletakkan telapak tangannya pada dada bidang Rayzen, menghalanginya.

"Kau disini, tak perlu ikut. Siapkan makanannya saja, kau bisa memberi salam nanti." ujar Hasna, tatapannya sedikit tajam kearah Rayzen.

Tidak ada maksud untuk menghalangi Rayzen memberi salam pada ibunya sendiri, hanya saja Hasna tak mau jika seandainya Rayzen melihat interaksi yang tak mengenakkan ketika Hasna berhadapan dengan Devi. Hubungan ibunya Rayzen dengan Hasna tak cukup baik.

Rayzen heran, tetapi ia memutuskan menurut. Dia mengangguk paham. Melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti. Tak bertanya lebih lanjut, lagipula ia juga berpikir bisa memberi salam nanti.

Hasna melanjutkan langkahnya menuju ruang tamu, mengelus punggung tangannya sendiri untuk meredakan rasa gelisah yang timbul dihatinya. Hasna menarik nafas dalam-dalam ketika dirinya akan menghampiri Devi di ruang tamu yang tengah duduk sembari menelisik sudut rumahnya yang bersih, memeriksa kebersihan meja menggunakan telunjuknya barangkali ada debu.

"Ibu, selamat datang." Sapa Hasna, tersenyum tipis walau agak dipaksakan. Devi menatap dingin kearahnya. Ekspresi wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda persahabatan pada Hasna, sama sekali tidak. Hasna hendak mencium punggung tangan Devi, tetapi Devi menarik tangannya sendiri dengan cepat. Sudah jelas menunjukkan penolakan.

"Tidak perlu," tegas Devi. Nada suaranya benar-benar dingin, acuh tak acuh.

Hasna tersentak, dada nya lagi-lagi terasa sesak. Kali ini rasanya seperti ditusuk. Hasna memberi senyuman tipis. Menunjukkan keramahannya sebisa mungkin walau dirinya telah ditolak mentah-mentah. Ia duduk di sofa yang berada di seberang Devi, sedikit menundukkan kepalanya. Padahal sudah ditolak, tetapi Hasna tetap disana⏤berniat menemani Devi dan mengajaknya mengobrol. Namun, jika seperti ini sepertinya akan sulit. Selalu saja sulit untuknya.

Bersambung───ㅤꔫㅤ.

Halo, aku update lagi nih😆💞 kangen gakk? Hehehe, maaf ya baru update sekarang. Soalnya sibuk banget huhu. Terimakasih sudah setia menunggu!😉

Rintangan Harsa { Perjalanan. }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang