Bagian sembilan belas, kilas balik Rayzen (2).

48 25 27
                                    

Yogyakarta, Gunung Kidul, Semanu ㅡ 11 Juli, 2006.

Devi menundukkan kepalanya, bibir wanita muda yang tengah hamil itu bergetarㅡ Menahan rasa kesal yang terus menerobos masuk ke dalam palung hati. Berusaha, ia tengah berusaha menahan segala rasa benci yang terus-menerus timbul. Namun, nyatanya ia tak kuasa menahan lebih lama lagi.

Hari ke hari kesabarannya semakin menipis saja. Devi menggigit bibir bawahnya, ia ingin mengadu sekarang juga dihadapan Rakha. Mengadu bagaimana warga sekitar membicarakan tentang wanita itu, meskipun perbincangan itu terdapat fakta didalamnya.

"Aku lelah, aku mau pulang. Aku tak ingin disini lagi... Tidak mau..." Devi mengadu, dia mengangkat kepalanya seraya menyeka cairan bening yang sejak tadi terus bercucuran pada pipinya. Rasanya ia menjadi lebih emosional karena tengah mengandung, usia kehamilannya baru menginjak tujuh bulan.

"Mereka membicarakan ku, menjadikan aku sebagai bahan perbincangan mereka. Mengatakan aku perempuan manja, merepotkan, dan selalu bermewah-mewah. Mereka menganggap aku perempuan sombong. Aku tak suka, aku membenci mereka."

"Aku mau pulang. Kalau kau tak mau menuruti ku, aku akan pulang sendiri." Devi mengancam, ia merengek meminta pulang. Terisak pada akhirnya, isak tangisnya tak bisa dibendung lagi. Dinding pertahanannya sudah roboh, ia memang wanita muda yang cengeng.

Segala cibiran warga dapat memengaruhinya, yang bisa saja memengaruhi mental serta pikirannya. Rakha tahu, ia mengetahui dari ibunya sendiri disaat wanita itu menemani ibu nya berbelanja di pasar. Apalagi Devi dibandingkan dengan Ranita si gadis penari yang sengaja menggoda Rakha, menganggap bahwa Ranita lebih baik dibandingkan Devi. Padahal warga tak tahu, bahwa gadis penari yang ramah tamah ituㅡ Sebenarnya hanya seorang wanita penggoda suami orang!

Pada awal kehamilan Devi, mereka datang kesini untuk berlibur. Awal kedatangan mereka Devi memang merengek, berteriak, menangis keras meminta pulang karena ia tak suka daerah perkampungan. Devi tak suka, sebab menurutnya disana ia tak bisa hidup bermewah-mewah.

Beruntungnya Rakha sabar menghadapi istrinya. Ibu Rakha pun mampu menenangkan Devi, beliau membuat wanita itu perlahan semakin menunjukkan rasa aman, serta nyaman untuk tetap tinggal disana. Bahkan, disaat Devi semakin merasa nyaman, ia sudah belajar untuk menjadi lebih mandiri.

Namun, sekarang ia tak akan bisa menahan sakit hati yang telah ditanggungnya hanya perkara cibiran warga ataupun tetangga. Hal itu memang terdengar sepele, tetapi bagi wanita rapuh nan manja itu menjadi masalah besar.

Pria yang berusia lima tahun lebih tua darinya tersebut perlahan mengangkat tangannya mendekati pipi wanita itu yang sudah tampak basah, telapak tangannya menyentuh halus pipinya. Menyeka setiap air mata yang luruh, dia menatapnya lembut sehingga kehangatannya dapat tersalurkan kedalam diri Devi.

"Tahanlah sebentar lagi, ya? Ingat, emosi mu harus tetap stabil. Jangan terlalu stress, jangan memendam perasaan sedih dan amarahmu. Kita akan pulang, tapi tidak sekarang."

Devi tak paham, sampai kapan ia harus bertahan ditempat ini dengan gunjingan yang tak mengenakkan dari warga sekitar? Lagi-lagi Devi harus bersabar menunggu. Wanita itu menaati keinginan sang suami yang masih ingin tinggal disini, di kampung halamannya.

Menyadari bahwa sang Ibu tengah melamun, Rayzen menyentuh bahunya untuk segera menyadarkan wanita itu. "Ibu?" Panggil Rayzen lembut.

Tepukan pada bahu nya membuat Devi segera sadar, ia tersentakㅡ sepasang matanya membulat. Lantas ia menolehkan kepalanya ke samping, menatap sosok anak tunggalnya dengan manik mata berkedip-kedip.

Dahi Rayzen mengernyit, ia merasakan ada yang salah dengan ibunya. "Ibu tak apa? Ibu melamun sejak tadi, padahal kita sudah sampai didepan rumah." Lontar Rayzen, nadanya terdengar agak cemas.

Rintangan Harsa { Perjalanan. }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang