"Mau sampai kapan kau begini, Yusyie?" tegur seorang guru wanita. Ia merupakan guru bimbingan konseling yang berada di lingkup sekolah elit tersebut.
Akhir-akhir ini ia dimintai untuk menasihati Yusyie, menegur anak itu perkara nilai ulangan semester dua kemarin yang turun, bahkan ia juga pernah mendapat laporan bahwa Yusyie melakukan tindak perundungan pada teman sebayanya. Tak hanya itu, Yusyie pernah tidak hadir sekolah selama tiga minggu.
Yusyie yang tengah duduk dihadapan guru tersebut hanya bergeming, ia sejak tadi bungkam ketika ditegur oleh guru bimbingan konseling nya. Tatapan matanya agak redup, pun sedari tadi sorot matanya hanya mengarah pada meja dihadapan dirinya, tidak melakukan kontak mata. Bukan tak mau bicara, tetapi lidahnya terasa kelu. Apalagi sudut bibirnya diberi plester akibat terdapat luka.
"Belajarlah dengan benar, kau di sekolah bukan untuk bermain-main. Bahkan tiga minggu kau tak masuk sekolah, kemana kau sebenarnya?" Tanya sang guru. Ia menatap Yusyie serius.
Pasalnya selama ini Yusyie tak pernah sekalipun menceritakan mengenai kehidupan pribadinya, juga tak pernah mengatakan alasan mengapa Yusyie bersikap buruk.
Satu menit, hingga lima menit Yusyie tak memberikan jawaban.
"Yusyie Jella, kauㅡ"
"Saya minta maaf, Bu." Yusyie memotong ucapan guru bimbingan konselingnya, manik matanya terangkat menatap sang guru kini. Letih dengan segala pikirannya, sebaiknya permintaan maaflah yang tepat untuk sekarang.
Guru tersebut melihat bagaimana Yusyie menatapnya, menyaksikan bagaimana tatapannya seakan melemah, ia juga melihat plester pada sudut bibirnya. Sang guru akhirnya menghela nafas, meraup wajahnya pasrah.
"Belajarlah yang giat, masih ada banyak waktu untuk ulangan akhir semester genap nanti." Pesan guru tersebut, diangguki kembali oleh Yusyie.
Begitulah peringatan terakhir yang Yusyie dapatkan dari guru bimbingan konseling itu pada jam istirahat ini.
Yusyie berjalan disepanjang jalan koridor, tatapannya mengarah pada jalan di depannya dengan malas. Sebelum kedua manik matanya membelalak melihat sosok Fitri dari arah berlawananㅡ Berdiri berdampingan dengan seorang lelaki disampingnya. Sepasang netra ruby milik Fitri pun menangkap batang hidung Yusyie.
Rasa kesal Yusyie sejak jam istirahat ini semakin tumbuh dan menjadi lebih buruk. Langkahnya sama sekali tak gontai menuju Fitri, sama seperti tatapan Fitri yang tak goyah ketika gadis perundung tersebut perlahan berjalan menghampirinya. Seketika itu Fitri mengeratkan genggamannya pada buku yang ia dekap.
Berhadapan lah mereka, saling menilik satu sama lain. Sementara Zenand yang berada di samping Fitri terdiam, melihat keduanya secara bergantian. Tidak ikut campur, akan tetapi ia akan turun tangan bila Yusyie melakukan sesuatu yang merugikan Fitri.
"Ah... Kesal sekali rasanya. Dihadapkan dengan wajah yang tak ingin aku lihat." Sinis gadis perundung itu berkata demikian. Kepalanya memutar setiap memori yang disertai adegan dimana ia melihat keakraban seorang ayah dengan anak kesayangan mereka, hal itu semakin menambah kekesalannya. Yusyie mengepalkan tangan kirinya, membiarkan kulit halusnya tergores oleh kukunya sendiri.
Jemari telunjuk kanan Yusyie menekan dada Fitri pelan, sebelum lima detik kemudian tangan Yusyie berubah menjadi cengkeraman yang menyakiti dada gadis itu, mencengkeram seragam miliknya dengan sekuat tenaga, lantas mendorongnya ke belakang seraya Yusyie melepas tangannya dari seragam Fitri. Fitri hampir saja terjatuh kalau ia tidak menyeimbangkan tubuhnya dan tangan Zenand juga sudah siap sedia.
"Beruntung kau tak aku pukul disini, karena saat ini aku letih setengah mati." Tandas Yusyie, terdengar mengancam. Ia menilik tajam Zenand, setelah itu kembali melanjutkan perjalanannya. Zenand bertemu pandang dengan Yusyie meskipun hanya sekilas, lelaki itu ikut kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintangan Harsa { Perjalanan. }
Подростковая литература"Ayah... Ayo kita pergi dari sini, Fitri mohon..." Fitri memiliki ibu yang kasar, selalu menuntut, dan pemarah. Walaupun begitu masih ada sosok ayah yang selalu bersamanya, membuat hari-hari yang dilaluinya menjadi lebih cerah. Sang ayah seperti sos...