Kepala Zenand masih dilanda pening, rasa panas akibat demam satu hari sebelumnya masih tetap bersemayam pada raga lelaki remaja tersebut. Memaksakan diri untuk pergi menimba ilmu, walaupun demamnya belum sepenuhnya turun. Hanya untuk pengalihan demi ia tak mengingat kembali masa kecil yang terus menunggu sosok sang papa.
Setidaknya ia masih kuat bertahan, berupaya mengikuti pelajaran di kelas, pun ia juga sudah meminum obat. Hanya tersisa satu jam pelajaran lagi sebelum waktu istirahat tiba.
Kepala Zenand bersandar pada dinding, lemas ia meletakkan lengannya diatas meja. Memperhatikan seorang guru wanita dengan name tag Ellie yang tengah menjelaskan materi pembelajaran matematika. Lemah sekali tubuh Zenand, benar-benar membuat lelaki itu tak nyaman dengan kondisi tubuhnya yang demam.
Suasana kelas begitu senyap kala guru Ellie tengah memaparkan sebuah materi, para murid kelas dua belas teramat fokus memperhatikan, raut wajah mereka rata-rata serius, ada pula yang pusing setengah mati.
Zenand menghela nafas pelan, memejamkan mata sejenakㅡ Kendati begitu telinganya masih berfungsi untuk tetap mendengarkan. Tenggorokan remaja lelaki itu terasa gatal, dan tiba-tiba saja ia terbatuk, membuat beberapa murid dikelas spontan menoleh kearah Zenand. Perhatian Ellie yang berada didepan kelas ikut terdistraksi.
"Kau tak apa, Zenand?" Guru Ellie bertanya dengan lembut, sudah menjadi ciri khas nya. Walaupun kemahiran Ellie berada dibidang mata pelajaran matematika, tetapi ia tak seperti guru killer pada umumnya.
Zenand tersentak, ia kembali duduk tegak. Menyunggingkan senyum kaku pada bibirnya. "Saya tidak apa Bu," respon Zenand, meskipun kondisi wajah tersebut tampak pucat.
Guru Ellie menukikkan sebelah alisnya. "Masih kuat, Zenand?" Tanyanya kembaliㅡ Ia sudah tahu hanya dengan melihat wajah Zenand yang pucat sedari tadi, tetapi ia pun melihat tekad yang ada didalam diri salah satu murid lelakinya itu untuk tetap mengikuti pelajaran.
Zenand mengangguk, masih mempertahankan senyum halusnya. "Saya masih kuat, Bu."
Ellie berdehem seraya memejamkan mata dan memanggut-manggutkan kepala. "Baiklah. Semuanya kembali melihat ke depan, ya!" Seru Ellie yang pada akhirnya mengalihkan perhatian para murid.
Suara bel waktu istirahat berbunyi nyaring, beberapa murid di kelas yang Zenand tempati terburu-buru keluar kelas menuju kantin. Ada pula yang sudah membawa bekal dari rumahnya, dan terdapat murid yang masih berkutat dengan materi matematika yang baru saja dijelaskan satu jam lalu. Kepala Zenand langsung saja ambruk diatas meja kala bel istirahat berbunyi, lelaki itu menyandarkan kepala pada lengan kanannya yang ia letakkan pada atas meja, agar lebih nyaman.
"Kalau demam tidak perlu sampai dipaksakan, Zen." Celetuk salah satu teman lelaki Zenand, Andra. Yang mejanya terletak di belakang lelaki itu.
"Benar, anak ambis sekaligus penggoda ini terlalu memaksakan dirinya." Hans ikut menimpali, duduk menyamping seraya menaruh lengannya pada meja milik Zenand. Posisi meja Hans tepat berada di depan Zenand.
Zenand masih tetap menyandarkan kepalanya. "Aku tidak mau diam di rumah, tidak ingin mengingat papa." Lirih lelaki tersebut, sorot matanya melemah.
Selalu saja begini, entah mengapa jika kondisinya sedang sangat rentan, ia selalu bermimpi mengenai sang papaㅡ Kejadian masa kecilnya yang terlampau setia menunggu kehadiran papanya.
Andra dan Hans, keduanya saling berpandangan satu sama lain. Ingin bertanya, tetapi takut Zenand merasa keberatan. Pasalnya, Zenand tak pernah menceritakan perihal kehidupan keluarganya.
Andra berdehem sebelum mengajukan pertanyaan. "Kau ada masalah dengan papamu?" Tanya Andra pelan.
Lelaki yang ditanya itu terdiam. Bukan hanya masalah, tetapi Zenand merasa sosok papanya semakin menjauhi dirinya. Padahal Zenand merupakan anak tunggal, satu-satunya anak lelaki, darah daging papanya sendiri, dan tentunya hasil malam pertama sang papa dengan sang bunda. Namun, papanya seperti membangun dinding besar diantara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintangan Harsa { Perjalanan. }
Novela Juvenil"Ayah... Ayo kita pergi dari sini, Fitri mohon..." Fitri memiliki ibu yang kasar, selalu menuntut, dan pemarah. Walaupun begitu masih ada sosok ayah yang selalu bersamanya, membuat hari-hari yang dilaluinya menjadi lebih cerah. Sang ayah seperti sos...