Bagian lima, setelah ayah dan ibu: Amarah Ibu.

165 45 41
                                    

Flashback . . .

Mobil hitam mengkilap terparkir didepan rumah bernuansa putih disertai dengan warna merah muda. Tanaman-tanaman segar nan hijau berjejer rapi di depan halaman rumahnya, hanya taman kecil-kecilan. Sudah berapa jam mobil itu terparkir, namun pemiliknya masih tetap berada didalamnya. Tak ingin keluar, bukan tak mau. Hanya saja, sebagian dari dirinya merasa ragu. Tangannya masih memegang setir kemudi, jemarinya mengetuk-ngetuk kemudinya, seraya memandangi pintu rumahnya yang tertutup rapat.

Nampak tenang, dan tidak ada keributan apapun didalamnya. Hanya ada kesunyian yang mengelilinginya, namun tak pernah sekalipun terlihat bahwa rumah itu nampak suram serta gelap. Nuansanya yang cerah, tanaman segar membuat rumah itu hidup layaknya keluarga cemara. Rumah yang didalamnya berisi kenangan manis, rumah pertama yang Rayzen tinggali bersama anak dan istrinya di Kota Bandung. Rumah itu masih terlihat sama, padahal sudah beberapa tahun yang lalu.

Ini pukul 12:00 siang, dan mobil itu sudah terparkir pada pukul 11:00 siang, namun pemiliknya pun masih belum menampakkan diri. Sudah satu jam berlalu, entah sampai kapan ia terus menerus berada didalam mobil. Memandanginya, pikirannya terasa kalut karena terus menerus memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak dia pikirkan. Rayzen menyandarkan kepalanya pada jok mobil yang tengah dia duduki, memejamkan matanya sejenak kemudian menghela nafas perlahan. Rayzen kembali memandangi rumahnya, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk turun dari mobil.

Langkahnya selalu terasa ringan ketika mendekati rumah ini, tak pernah merasa berat untuk melangkahkan kakinya dirumah kesayangannya. Kenangan sepintas terbayang dalam benaknya kala melangkahkan kakinya dirumah ini, seulas senyuman Rayzen tersungging jika mengingatnya kembali. Kini Rayzen berada didepan pintu, tangannya terulur untuk membuka pintu rumahnya.

"Aku kembaliㅡ" ucap Rayzen yang mendadak terjeda, pupil matanya melebar kala dia mendapati rumahnya yang kacau bagaikan kapal pecah.

Beberapa vas bunga yang jatuh, gelas kaca yang pecah, meja yang tak beraturan letaknya entah dimana. Bukan hanya rumahnya saja yang kacau, istrinya juga kacau disana. Surai nya dibiarkan terurai berantakan. Deru nafas yang tak beraturan, telapak tangan yang terluka meninggalkan jejak darah dilantai rumah itu. Hasna terus menerus memukul meja ruang tamu bahkan menendangnya, tangannya menggenggam pecahan gelas kaca. Tak peduli seberapa banyak ia akan terluka.

Mendapati istrinya yang kacau, Rayzen segera menghampirinya guna untuk menghentikan tindakan istrinya yang akan melukai dirinya lebih banyak. Bohong jika Rayzen tak cemas, matanya pun kini terasa memanas. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia menggenggam erat pergelangan tangan istrinya, berusaha melepaskan pecahan kaca ditangannya karena pecahan kaca itu sudah terlalu banyak melukai telapak tangan istrinya.

"Hentikan!" tegas Rayzen sedikit meninggikan suaranya, bukan karena marah. Dia cemas, dia tak mau istrinya terluka. Sementara Hasna terus meronta, ingin melepaskan tangannya sendiri dari genggaman suaminya. Matanya tak pernah berpaling dari meja kaca yang berada diruang tamu, terdapat bayangan dirinya dan istrinya di kaca tersebut.

"Lepaskan aku!" teriak Hasna, ia menoleh menatap nyalang kearah suaminya sendiri sebelum ia kembali menoleh menatap meja, matanya melotot penuh permusuhan, seakan-akan Hasna menghadapi sosok musuh didepannya. Hasna terus berusaha melepas genggaman tangan suaminya namun tak berhasil.

Tatkala Hasna ingin menggunakan tangan kirinya untuk memukul meja, Rayzen meraih dan menariknya segera kedalam pelukannya. Memeluknya erat, membuat istrinya membelalakkan matanya.

"Hentikan, sayang. Jangan lukai dirimu sendiri. Kumohon, kumohon," lirihnya ditelinga Hasna. Namun, perkataannya pun belum cukup untuk menenangkan istrinya. Tangan Hasna gemetar hebat, ia malah semakin meronta dan terus berteriak sekuat yang ia bisa.

"Lepaskan aku! Dasar sialan, brengsek, bajingan!" teriak Hasna, terasa nyaring ditelinga Rayzen. Berkali-kali ia memukul dada bidang suaminya itu, ia meronta dan berusaha melepaskan pelukannya. Namun Rayzen semakin mengeratkan pelukannya, sementara tangannya yang lain terus menggenggam pergelangan tangan Hasna. Berusaha mengunci pergerakan istrinya meskipun harus terkena pukulan ditubuhnya.

***

Mereka terduduk lemas dilantai, deru nafas keduanya sama-sama tak beraturan, suara teriakan Hasna yang menggema di seluruh ruangan tak terdengar lagi. Sudah lelah untuk melampiaskan amarahnya, ia memegang kedua lengan suaminya erat, dengan kepala bersandar di dadanya. Kuku jemari Hasna menancap kuat pada lengan Rayzen, perlahan meninggalkan bekas cakarannya disana. Rayzen meringis pelan, namun tak apa karena dia bisa menahan sakitnya.

"Kendalikan. Kendalikan dirimu, sayang. Tak apa, aku disini." Ujar Rayzen pelan. Dia usap kepala Hasna, tangan kirinya menepuk-nepuk punggungnya perlahan. Sorot matanya sendu menatap istrinya yang bersandar padanya. Rayzen meraih wajahnya, menangkup kedua pipi Hasna. Dia tatap lekat matanya sebelum mencium keningnya, setelahnya dia tersenyum tipis.

Bersambung───ㅤꔫㅤ.

Rintangan Harsa { Perjalanan. }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang