Bagian sembilan, setelah ruang kelas: Sosok ayah?

182 45 21
                                    

Ia membalas senyumannya, mengangguk pelan. "Bukan apa-apa, om. Saya kebetulan menemukan Fitri dikelasㅡ" Fitri lantas menoleh cepat, menatap nyalang kearahnya. Mulutnya terbuka seolah-olah mengatakan sesuatu, "Jangan katakan." Ucapannya terjeda, Zenand membelalak kaget. Ia tatap kembali Rayzen yang kini memasang wajah penasaran.

"Dikelas?" Tanyanya agak memiringkan kepala.

Zenand mengangguk, tersenyum tipis. "Fitri sedang membersihkan kelas, saya menemukannya secara kebetulan. Karena itu saya membantunya." Jelas Zenand, yang berkebalikan dengan fakta sebenarnya. Sengaja ia berdusta karena permintaan Fitri.

Bunda dan Papanya tak pernah sekalipun mengajarinya berdusta pada siapapun, terutama pada orang dewasa. Tetapi kali ini Zenand terpaksa.

Matanya berkedip-kedip, ia terkekeh pelan. Mengecup pucuk kepala putrinya, lantas tangannya bertengger pada pundaknya. Menghela nafas sebelum ayahnya berucap,
"Lain kali beritahu dulu kalau-kalau akan terlambat karena membersihkan kelas, ayah khawatir." Tutur Rayzen, ia tersenyum.

Lega hatinya kini, karena sejak tadi Rayzen sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai putrinya. Siapa sangka putrinya akan terlambat keluar karena sedang membersihkan kelas.

Fitri bergeming sejenak, ia terkejut. Ucapan Zenand ampuh, tak menyangka akan dipercayai oleh ayahnya semudah itu. Ia pun tak perlu khawatir lagi memikirkan jawaban jika ayahnya bertanya.

Fitri tersenyum lebar, mengangguk. "Iya, ayah. Aku akan memberitahu ayah lain kali," balas Fitri tenang.

Hatinya pun lega, ayahnya tak boleh sampai tahu jika ia menangis. Apapun tentang dirinya ketika disekolah, ayahnya tak boleh tahu. Cukup tahu saja bahwa Fitri giat belajar, serta mempunyai banyak teman dikelas. Hanya itu, hal-hal yang berkaitan dengan hinaan yang ia dapatkan tak boleh diketahui sama sekali.

Zenand meliriknya sekilas, melihat senyuman Fitri yang tampak lebar. Sebelah alisnya terangkat, dahinya pun mengernyit. Ia sendiri heran mengapa gadis yang berada didepannya ini masih bisa tersenyum lebar setelah menangis seorang diri dikelas? Tetapi ia hanya bisa bungkam, tak perlu terlalu jauh ia mengetahui tentang Fitri, karena ini baru pertemuan kedua mereka.

"Sekali lagi terimakasih, ya. Dimana rumahmu? Masuklah, biar om antarkan." Ajak Rayzen.

Sontak Zenand menggeleng, "Tidak perlu, om. Terimakasih, rumah saya tak terlalu jauh." Tolaknya halus. Rayzen sempat menawarkannya kembali, sebagai tanda terimakasih karena telah menemani putrinya. Tetapi Zenand tetap bersikeras menolak diantar, mau tak mau Rayzen mengalah, memang anak laki-laki biasanya keras kepala.

* * *

"Sudah pulang? Bagaimana sekolahmu?" Tanya Aprilia lembut, menatap kearah putranya yang kini berjalan menghampirinya ke sofa.

"Baik-baik saja, bunda. Tak perlu khawatir," sahut Zenand, ia menyalami tangan bunda nya. Mengecup punggung tangan Aprilia sekilas, tersenyum amat manis jika dihadapan bunda nya.

Zenand menaruh tas sekolah nya di samping Aprilia. Ia lantas duduk bersila di bawah wanita itu. Meletakkan kedua lengannya serta menyandarkan kepalanya di paha Aprilia. Kekehan kecil Aprilia tercipta kala melihat tingkah manja putranya, Aprilia belai surai halusnya.

"Itu kacamata baru bunda?" Tanyanya, mendongak. Nampak polos, tetapi inilah yang selalu Zenand tunjukkan ketika dihadapan bunda nya.

Aprilia membuka kacamata yang sedari tadi dikenakannya, ia simpan kembali di atas meja seraya mengangguk, "Papa mu yang membelikan,"

Zenand terdiam, ia kembali menyandarkan kepalanya di paha ibunda nya. Matanya terpejam, entah mengapa bayang-bayang mengenai ayah Fitri kembali memenuhi pikirannya.

"Papa tidak pulang?" Tanyanya kembali, membuat Aprilia terdiam. Senyumannya memudar. Pertanyaan yang seringkali Zenand lontarkan setiap pulang sekolah. Namun, jawaban Aprilia selalu terdengar bagai sebuah harapan untuk putranya.

"Papa mu akan pulang, sebentar lagi." Jawab Aprilia. Ia kasihan, kasihan melihat putranya yang terus menunggu sang papa. Zenand menghela nafas.

Mustahil papa nya akan pulang, papa nya selalu sibuk bekerja. Ia sudah tahu pula papa nya tak akan pulang secepatnya, tetapi bodohnya ia selalu bertanya. Mengharapkan hal yang tak mungkin terjadi.

Zenand mendongakkan kepalanya, menatap wanita itu serius. "Bunda... Sosok seorang ayah itu seperti apa?"

Aprilia membelalakkan mata, tangannya terhenti membelai surai nya. Bagaimana ia harus menjawab? Bahkan ia sendiri pun kebingungan memikirkan jawaban. Bibirnya terkatup, diam selama beberapa detik. Tatapan Zenand pun tak lepas darinya, menunggu jawaban.

"Seorang ayah..." Gumam Aprilia, ia menghela nafas. "Orang yang melindungi istrinya, juga anak-anaknya. Seorang pemimpin rumah tangga, pencari nafkah untuk keluarganya. Yang menyayangi anak dan istrinya dengan kasih sayang, serta cinta. Seorang ayah akan selalu melindungi keluarganya, terutama anak-anaknya. Bahkan rela melakukan apapun untuk darah dagingnya." Tutur Aprilia lembut, ia tersenyum.

Sorot matanya sendu, lantas ia raih kedua pipi Zenand, menangkupnya. "Papa mu sangat menyayangimu, sungguh." Ujar Aprilia pelan, meyakinkan Zenand. Zenand terbelalak mendengar ucapan bunda nya.

"Kalau begitu, mengapa papa tak pernah ada waktu, mengapa papa tak pernah pulang?"

"Zenand tahu, bunda." Ia memegang tangan Aprilia, memaksakan bibirnya untuk tersenyum walau tak ingin. Tak yakin dengan ucapannya, tetapi mau tak mau hatinya harus yakin. Aprilia pun tersenyum beserta sorot matanya yang teduh, walau dadanya terasa sesak.

Bersambung───ㅤꔫㅤ.

Heii ketemu lagiii😭🤙🏻 ini aku maksa banget update sekarang, tungguin terus yaaa. Makasih udah mampir💗

Rintangan Harsa { Perjalanan. }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang