Bagian tiga belas, nenek berkunjung (2).

102 41 19
                                    


"Nenek, teh hangatnya sudah jadi." Fitri menghampiri mereka, yang membuat Hasna menoleh. Ia meletakkan nampan yang terdapat segelas teh hangat diatas meja diantara mereka. Devi tersenyum pada Fitri, berbanding terbalik jika dengan Hasna. Menampilkan seulas senyum saja tak bisa.

"Terimakasih, ya. Cucuku memang baik sekali," pujinya. Devi meraih segelas teh hangat tersebut, meniupnya perlahan untuk ia minum.

"Fitri, dimana ayahmu?" Tanya Devi, menatap Fitri. Fitri melirik sekilas pada ibunya, padahal Devi bisa bertanya pada Hasna yang berada didepannya saat ini. Mengapa harus ia yang ditanya?

"Ayah sedang menyiapkan makanan di dapur, Nek." Jawabnya, tersenyum tipis. Sekarang ia duduk di samping Hasna. Cukup canggung, Hasna juga sama canggungnya.

Devi mengerutkan kening setelah mendengar jawabannya. Sembari menyesap secangkir teh hangat, ia memberi tatapan tajam kearah Hasna. Hasna merasa terintimidasi pula, kepalanya semakin tertunduk. Kedua tangan wanita itu berada diatas pahanya sendiri, saling bertaut upaya menahan takut. Fitri tak terlalu menyadarinya, ia hanya bisa tersenyum canggung pada Devi. Entahlah, ia merasakan hawa yang tak enak.

"Rayzen yang memasak sendiri?" Tanyanya.

"Ibu yang memasak, ayah juga ikut membantu." Jawab Fitri cepat, mengangkat kepalanya. Tatapannya amat sungguh-sungguh kala menatap wanita paruh baya itu. Seolah Fitri tak ingin menimbulkan kesalahpahaman.

Devi terdiam, meletakkan kembali cangkir tersebut. Kemudian mengangguk. Perlahan tenang, sempat kesal ketika mendengar bahwa anak lelakinya berada didapur untuk memasak. Dalam hati Devi ia merasa tak terima, karena seharusnya seorang wanitalah yang mengurus dapur.

Hasna Ingin mengajaknya berbincang, tetapi tak berani. Ia menghela nafas pelan sebelum mencoba berbicara. Bibirnya menggumamkan sesuatu, satu atau beberapa kata yang ingin Hasna lontarkan. Tetapi sebelum ia berbicara, suara Rayzen yang mendadak muncul memecah suasana tegang diantara mereka bertiga.

"Ibu? Terimakasih sudah datang, kami baru saja ingin makan malam. Ayo makan malam bersama kami lebih dulu, Bu." Ajak Rayzen, senyuman hangat tercipta untuk sang ibu. Lantas ia menyalami tangan ibu kandungnya itu.

Devi balas tersenyum simpul, ia benar-benar merindukan sosok putranya. Anak semata wayangnya yang begitu sangat dibanggakannya.

"Fitri, ajak nenekmu makan lebih dulu. Ayah akan menyusul," titah Rayzen, dibalas anggukan oleh Fitri. Fitri beranjak dari duduknya, ia berjalan kearah Devi untuk mengajaknya makan lebih dulu seperti yang diperintahkan Rayzen.

Sekarang hanya tinggal Rayzen dengan Hasna diruang tamu. Sorot matanya begitu teduh. Sejak melihat mereka diruang tamu, matanya selalu terpaku pada istrinya yang terus menundukkan kepalanya. Rayzen khawatir kalau-kalau Hasna sedang tak sehat, tetapi sengaja disembunyikan olehnya sendiri. Rayzen berjalan menghampiri Hasna, melintasi meja yang menjadi penghalang keduanya.

Pria itu berlutut tepat dihadapan istrinya, sebelah kakinya ia tekuk. Tangan kirinya terulur menyentuh pipinya, membuat wajah Hasna terangkat sedikit guna melihat kondisi wajahnya saat ini.

"Ada apa? Kau sakit? Sedari tadi kau menunduk," ujar Rayzen begitu lembut. Hasna masih bergeming, ia sama sekali tak menatap Rayzen. Matanya seolah terpaku pada kedua tangannya yang saling menggenggam, sorot mata pun sayu. Bibirnya sedikit melengkung kebawah.

"Istirahatlah dikamar, sementara ini biarkan aku yang mengurus rumah." Titah Rayzen. Namun, Hasna menggeleng pelan.

"Aku tak sakit. Aku sehat," balas Hasna. Tetapi, tak dapat dipungkiri tatapan Hasna yang seakan tak ada cahaya hidup mengganggu pikiran suaminya.

Dahi Rayzen sontak mengernyit, tak yakin dengan ucapannya. "Jangan memaksakan diri, aku tahu kau letih. Jangan biarkan rasa letih menguasai mu. Istirahatlah, ya? Kau sudah menjalani tanggung jawabmu dengan baik. Jadi, giliran aku yang mengurus." Tutur Rayzen lembut, penuh pengertian dan nasihat. Lantas menyunggingkan seulas senyum.

Rintangan Harsa { Perjalanan. }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang