Bagian sepuluh, pengganggu berulah.

151 46 19
                                    

"Belajarlah yang benar, tetapi jangan terlalu memaksakan diri." Tutur Rayzen, ia tersenyum lembut. Meski ia mengetahui fakta bahwa Fitri selalu berusaha keras untuk mendapatkan nilai tertinggi.

Fitri menganggukkan kepalanya, lalu mengacungkan jempol. Senyumannya merekah, "Fitri mengerti, ayah. Ayah tak perlu khawatir." Ujarnya bersemangat.

Rayzen tertegun, senyumannya pudar sesaat. Teringat akan satu hal, membuat ia kembali termenung, tatapannya pun menyendu. Namun ia kembali tersenyum sebab Fitri menampakkan raut wajah yang sumringah, seolah tidak memiliki beban berat pada punggungnya. Kendati Rayzen masih tenggelam dalam pikirannya, hatinya berat kala masa lalu terlintas dalam benak. Ucapan yang telah lama dilontarkan kembali terngiang hingga memenuhi isi kepalanya.

Rayzen masih mengingatnya. Saat-saat Fitri diseret secara paksa kedalam kamar untuk belajar, ketika kepala belakang putrinya begitu ditekan untuk membaca setiap bagian halaman buku. Juga ketika dirinya berusaha menenangkan Hasna dan membujuknya, tetapi tangannya ditepis kasar oleh wanita itu. Bahkan pintu kamar Fitri dikunci dari luar agar Rayzen tak bisa masuk dan menghentikan kegiatan belajar Fitri.

"Biarkan! Biarkan dia terus belajar! Dia harus menjadi pintar, menjadi orang dewasa yang sempurna tanpa kekurangan. Fitri harus bertahan hidup di dunia yang membutuhkan nilai tinggi agar tak ada seorang pun yang bisa meremehkannya! Agar kelak dirinya bisa sukses!" Papar Hasna, memelototi suaminya. Seraya menunjuk-nunjuk pintu kamar Fitri yang kini tertutup, sedangkan didalam kamar tersebut hanya terdengar suara isak tangis Fitri.

Mata Rayzen melebar mendengar setiap perkataannya, bohong jika ia tak merasa kasihan dengan putri satu-satunya. Ia telah berusaha agar Hasna tak terlalu menekan, tetapi gagal. Seakan-akan perkataan istrinya itu ada benarnya, ia hanya bisa diam mematung hingga matanya terasa memanas.

Fitri melambaikan tangan kala mobil ayahnya perlahan berjalan pergi menjauhi kawasan sekolah, senyumannya tetap terpampang pada wajahnya. Suasana hati yang menyenangkan acap kali Rayzen mengantarnya, serta melontarkan nasihat-nasihat yang dimilikinya. Fitri pun akan selalu mengingat-ingat nasihat tersebut, tak akan segan pula ia mendengar setiap nasihatnya.

Beberapa menit sebelumnya. Dari jarak yang cukup jauh, seseorang memandangi interaksi hangat antara Fitri dengan ayahnya. Langkah gadis itu terhenti, terdiam. Pandangannya terpaku pada mereka, ia mengeratkan genggaman pada ponsel yang dipegangnya. Keningnya mengernyit, tangannya yang lain pun terkepal erat. Bibir merah mudanya agak melengkung kebawah. Tak tahu mengapa, tetapi dalam relung hatinya dipenuhi perasaan geram yang menumpuk.

* * *

Fitri mencuci tangannya di kran wastafel, sementara matanya menatap wajah dirinya melalui pantulan cermin. Lantas ia tersenyum tipis, hatinya terasa tenang hari ini. Ia tak diganggu oleh Yusyie, ia pun tak melihat Yusyie sedari tadi pagi. Setidaknya ia bisa tenang, berharap pula tak ada yang mengganggunya. Namun, harapan itu pupus sampai ketika pintu toilet didobrak keras dengan mudahnya, membuat Fitri tersentak dan menoleh kearah pintu tersebut.

Fitri menyipitkan matanya kala mendapati Yusyie diambang pintu, berkacak pinggang. Sesekali sebelah kakinya tersebut mengetuk-ngetuk lantai. Menatap tajam kearah Fitri, penuh perasaan geram padanya. Terlihat seperti seseorang yang dipenuhi rasa dendam.

Fitri tak mengatakan apapun, sebelum ia menghela nafas. "Apa lagi kali ini?" Tanyanya, mengangkat alis.

Yusyie melotot, tangannya terkepal erat. Ia tersulut emosi, melihat wajahnya saja sudah memuakkan bagi Yusyie. Kakinya melangkah mendekat kearahnya, Fitri mundur secara spontan.

"Memuakkan," cetus Yusyie, ia membuang ludah ke wastafel. Fitri masih bergeming, ia menatapnya tanpa ekspresi.

Tidak ada hujan tidak ada petir, Yusyie mendorong kasar Fitri tanpa aba-aba. Kakinya kehilangan keseimbangannya, ia terjatuh. Terduduk ke lantai, benturannya cukup keras mengenai bokongnya. Memang tidak terkena kepala, tetapi juga dapat membahayakan. Yusyie sungguh amat geram.

Fitri meringis, ia terkejut pula dirinya didorong seperti itu. Selepas mendorongnya kedua tangannya lantas terulur untuk menjambak surai panjang Fitri yang tergerai itu, Fitri tak diberi kesempatan untuk menetralkan rasa sakitnya selepas didorong. Ia pun harus merasakan sakit pada kepalanya.

"Akhㅡ Lepas, lepaskan tanganmu," tangan Fitri berupaya melepaskan tangannya dari surai panjangnya, tetapi Yusyie menjambaknya cukup kuat, cengkeramannya seperti dibaluti sebuah dendam.

"Kau tahu? Aku benar-benar muak melihat wajahmu," ujarnya, ia menggertakkan giginya. Mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menjambak surai panjangnya. Fitri meringis, sungguh sakit.

"Dimataku kau hanyalah murid rendahan, murid yang sok pintar. Aku selalu muak denganmu. Orang sepertimu sungguh menyebalkan,"

"Menurutmu kau cantik? Tidak! Akulah yang cantik disini, akulah yang sempurna disini. Kau tak cantik sepertiku, kau tak cantik!"

"Matamu seperti iblis, kau tahu itu!"

Nadanya semakin meninggi ketika kata hinaan ia ungkapkan, seraya tangannya yang masih bertahan menjambak rambut Fitri. Fitri berupaya melepaskan tangan Yusyie dari kepalanya, tetapi nihil. Yusyie tak ingin melepaskannya, ia mengutarakan seluruh perasaan geram yang ia tahan selama ini.

"Kumohon lepaskan, ini sakitㅡ Akh," Fitri meringis, matanya yang terpejam itu mengeluarkan cairan bening.

"Sakit? Akulah yang lebih sakit disini," ujarnya pelan, kilatan amarah di matanya tak terlihat. Kini hanya ada tatapan kosong yang menghalanginya. Ia melepaskan cengkeramannya dari rambut Fitri, berdiri angkuh disaat ia menatapi Fitri yang terduduk menyamping sekarang.

Jepitannya yang sedari tadi dikenakan Fitri terlepas, ia hendak mengambil jepitan itu didekatnya, tetapi punggung tangannya diinjak keras oleh Yusyie. Fitri kembali meringis, sekuat tenaga Yusyie menginjak tangannya tanpa belas kasih. Rasa panas, perih, dan ngilu menjalar diarea punggung tangan Fitri, cairan bening yang Fitri tahan pun akhirnya luruh.

"Ingatlah, kau hanya murid rendahan." Peringat Yusyie, tanpa ekspresi diwajahnya sebelum ia meninggalkan toilet itu dengan mudahnya. Meninggalkan kesalahannya disana tanpa merasa bersalah sama sekali.

Bersambung───ㅤꔫㅤ.

Akhirnya bagian 10😸🌻 nanti aku update lagi ya, semoga aja updatenya cepat. Terimakasih yang sudah mampir🥺 sayang banyak-banyak, jangan lupa follow dulu sebelum membaca. Terimakasih udah menunggu dengan sabar, aku senang banget hehe🌼

Rintangan Harsa { Perjalanan. }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang