Bagian delapan, setelah buku diary: Ruang kelas.

153 45 24
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, siswa-siswi sudah pulang sedari tadi, walaupun ada beberapa murid yang masih diarea sekolah. Terutama kelas 12, mereka berkumpul di tengah lapangan untuk berfoto sebagai kenangan-kenangan. Masa-masa SMA memang masa yang paling indah. Namun, tak semua orang bisa mendapatkan masa yang indah itu. Pertemanan tergantung circle, rata-rata begitulah sistem pertemanan.

"Hoi, Zenand! Tidak pulang?" Sapa Andra, salah satu teman lelakinya yang mengenakan kacamata. Zenand lantas menoleh, Andra menarik atensi Zenand yang sedari tadi bermain ponsel sembari berjalan menelusuri koridor.

"Duluan saja, ada urusan." Jawab Zenand, tanpa memasang ekspresi diwajahnya. Ia kembali menatap ponsel yang dipegangnya, Andra hanya menghela nafas dan menepuk pundak Zenand.

"Jangan bermain ponsel ketika berjalan, kebiasaan." Peringat Andra, ia lantas berlalu meninggalkan Zenand. Zenand hanya mengangguk saja, lagi pula ia yakin tak akan pernah jatuh jika bermain ponsel sembari berjalan. Sudah sering ia melakukannya, hanya saja ia belum merasakannya.

Tatkala ia berjalan santai seraya memainkan ponselnya melewati kelas-kelas yang sudah senyap itu, suara isak tangis wanita mendadak terdengar. Langkahnya terjeda, kedua bola matanya melebar. Ia diam mematung, sebelum menoleh kearah salah satu ruang kelas yang kosong, sumber dimana suara tangisan itu muncul. Tepatnya ia berdiri didepan ruang kelas XI ─ A.

"Sialan, memang ada hantu sore-sore begini?" Cetus Zenand, mengernyitkan dahinya. Ia menelan ludah, memasukkan ponselnya kedalam saku celana. Dalam benaknya terbayang akan ada sosok hantu yang muncul secara tiba-tiba membuat bulu kuduknya berdiri, membayangkannya saja sudah merinding.

Ia melangkahkan kakinya menuju ruang kelas tersebut, membuka pintunya perlahan. Matanya melebar ketika dirinya mendapati salah satu murid perempuan didepan kelas yang tengah duduk meringkuk dilantai, menyembunyikan wajahnya diantara kedua lengan dan lututnya. Disaat murid-murid lain sudah pulang, hanya ia sendirian yang berada dikelas.

Zenand menggosok-gosok matanya takut jika ia sedang berhalusinasi, tetapi ternyata tidak. Dahinya mengernyit, ia menelengkan kepalanya. Merasa penasaran, ia pun menghampirinya. Raut wajahnya tampak bingung, pikirannya dipenuhi pertanyaan.

"Sendirian? Tidak pulang? Mengapa masih disini?" Tanya Zenand ketika ia berjongkok dihadapan murid perempuan itu. Murid perempuan itu tersentak, tak mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang berbicara, hanya memperlihatkan kedua bola matanya.

Zenand tertegun melihat warna manik matanya, sebuah warna merah yang berkilau, ia mengenali mata itu. Warna mata yang selaras dengan seseorang yang ia temui satu hari yang lalu, ia yakin gadis ini adalah orang yang sama. Namun, kondisinya tetap sama ketika Zenand bertemu dengannya. Persis ketika ia di toilet, ia bertemu dengannya dengan kondisi mata yang tampak sembab. Kali ini pun sama, sudut matanya memerah dan kilau di matanya agak redup.

"Siapa namamu?" Tanya Zenand tiba-tiba, tetapi gadis itu diam saja. Sementara manik mata gadis itu melirik ke kearah lain, ke sampingnya. Alis Zenand terangkat, ia mengikuti gerak mata gadis itu, mendapati sebuah buku yang telah rusak terletak disampingnya. Tangannya meraih buku tersebut, tertulis nama Fitriani Putri disalah satu lembaran pertama.

Matanya bergerak menilik Fitri sejenak, sementara tangannya membuka setiap lembaran yang robek. "Adik kelas rupanya, mengapa tidak pulang?" Tanyanya, atensinya kini pada lembaran yang robek itu. Fokus membaca satu lembaran yang menarik perhatiannya.

"Kau tidak pulang karena buku mu rusak?" Tanyanya lagi, menelengkan kepalanya. Fitri masih bergeming selama beberapa detik sebelum ia berbicara.

"Pemberian ayah... Rusak," jawab Fitri, cairan bening itu perlahan menggenang kembali di pelupuk matanya. Zenand terbelalak, sepertinya ia baru saja melihat seorang wanita yang menangis. Matanya berkedip-kedip, ia terkejut tentu saja. Pasalnya ia tak pernah melihat wanita menangis dihadapannya selama di sekolah.

Rintangan Harsa { Perjalanan. }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang