Happy Reading.
.
.
."Kak Zenand?" Sepasang netra gadis itu melebar terkejut sekaligus tak percaya. Ternganga mendapati Zenand didepan rumahnya pagi-pagi sekali dengan menaiki motor serta helm yang terpasang diatas kepala, ia juga memakai seragam.
Rayzen pun ikut terkejut dibelakang Fitri, tadinya ia ingin mengantar putrinya ke sekolah. Namun, sepertinya temannya sudah lebih dulu datang menjemput Fitri.
Senyuman lebar terpasang pada bibir Zenand tanpa beban. Lelaki itu nampaknya memang berniat menjemput Fitri, mengajaknya untuk berangkat bersama. Padahal Fitri tak pernah meminta, tetapi lelaki itu tiba-tiba datang tanpa memberitahu terlebih dahulu.
Kontan dahi Fitri mengernyit, "Kapan datangnya, kak? Aku tidak meminta kakak menjemput..." Tanyanya yang diliputi keheranan.
Bola mata lelaki itu bergerak keatas, sedang berpikir. Kemudian menatap Fitri dengan senyuman ringan. "Baru saja,"
"Ayo berangkat bersama, belakangku kosong." Ajak lelaki itu tanpa takut bahwa Rayzen juga berada dibelakang Fitri. Seolah tak takut sama sekali, ia justru menunduk sopan bahkan tersenyum pada Rayzen.
Gadis itu tercengang, sebab ajakan Zenand tepat dihadapan ayahnya yang kini tengah menyaksikan keduanya. Fitri merasa ragu, kepalanya menoleh ke belakang pada Rayzen. Dari tatapannya Fitri seolah meminta izin.
Rayzen yang menyadari hal tersebut tertawa kecil, ia tersenyum halus. Tangannya terulur untuk mengusap rambut putrinya pelan, "Sepertinya ayah tak bisa mengantarmu hari ini. Pergilah, ia sudah sampai sini untuk menjemputmu, kan?"
Fitri melebarkan mata, manik matanya berkilauan diiringi senyum senang yang tersirat pada bibirnya. Lantas Fitri menganggukkan kepalanya. Ia berpamitan lebih dulu, menyalami serta mencium punggung tangan Rayzen. Setelah berpamitan dirinya berlari kecil kearah pagarㅡ Membuka lebar pagar tersebut. Kini ia telah menumpangi motor Zenand dan telah mengenakan helm yang Zenand berikan.
"Hati-hati, jangan berkendara terlalu cepat. Kau masih dibawah umur," peringat Rayzen pada Zenand, dan sorot matanya berkilat sedikit tajam padanya.
Sesaat lelaki itu bergidik sedikit ngeri, ia terkekeh pelan. "Saya akan berhati-hati, om."
Fitri melambaikan tangannya pada Rayzen ketika Zenand melajukan motornya. Rayzen hanya tersenyum tipis ketika putrinya memberikan lambaian tangan. Keduanya berlalu meninggalkan rumah Fitri di pagi hari. Sang bagaskara perlahan menunjukkan jejaknya pada langit-langit.
Rayzen membuang nafas pelan, menatap sedikit senduㅡ Bahkan ketika kehadiran Fitri juga Zenand sudah tak terlihat dimatanya. Berharap sesuatu yang terburuk tidak terjadi, berharap tak ada pengkhianatan dalam hubungan pertemanan mereka.
* * *
"Ayo... Bercerai, Ray," Ungkapnya dengan tubuh membelakangi Rayzen. Hanya sebuah jendela yang dapat ditatapnya, diluar sana menampakkan suasana sore hari. Ucapan yang akhirnya keluar dari tenggorokannya begitu lancar, walau mengakibatkan rasa sakit dalam dadanya.
Sepasang netra Rayzen terbelalak, ponsel yang sedari tadi ia pegang seketika terlepas─ Jatuh menyentuh karpet berbulu yang terletak ditengah kamar dan samping ranjang. Sekujur tubuhnya gemetar, manik mata tersebut hampir berkaca-kaca.
Rayzen memejamkan matanya, menggelengkan kepala. Tersenyum pahit, "Tidak, Asna... Jangan bercanda, kau memintaku untuk pulang cepat, tapi sekarang... Ternyata kau malah meminta cerai?"
Rayzen nampak tenang, tetapi sungguh hati dan pikirannya menjerit tak terima, mengobrak-abrik perasaannya sampai ke jiwa. Jika bisa, ia akan menangis, berteriak, melempar barang, dan bertindak sesuai emosinya saat ini. Namun, itu bukanlah tindakan yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintangan Harsa { Perjalanan. }
Genç Kurgu"Ayah... Ayo kita pergi dari sini, Fitri mohon..." Fitri memiliki ibu yang kasar, selalu menuntut, dan pemarah. Walaupun begitu masih ada sosok ayah yang selalu bersamanya, membuat hari-hari yang dilaluinya menjadi lebih cerah. Sang ayah seperti sos...