Bagian enam belas, fakta yang menolak restu.

85 34 35
                                    

Happy reading, readers!
.
.
.

Semburat cahaya matahari menembus masuk melalui celah-celah jendela, menerangkan segala penjuru rumah serta menghangatkannya. Hari memang berjalan dengan lancar, Hasna pikir begitu. Walau tak mudah untuk menyelesaikan tanggung jawab sebagai seorang istri. Setidaknya ia tidak sedang diganggu saat ini. Putri tunggalnya sedang menimba ilmu, sedangkan Rayzen kini pergi ke kantor untuk mencari nafkah.

Mengurus satu perusahaan mendiang ayahnya. Rayzen juga sama, ia seorang putra tunggal yang diharuskan mengurus perusahaan saat usia nya menginjak sembilan belas tahun. Sementara Hasna tetap menjalani kewajiban, walau hubungannya bisa dibilang agak renggang.

Hasna menghela nafas panjang, ia mendongak memejamkan mata. Baru pagi tadi ia membentak Fitri hanya karena kesalahan sepele. Amarahnya begitu meluap-luap, hampir saja mendaratkan tamparan pada pipi putrinya itu. Untungnya Rayzen datang menenangkan Hasna, dan menahan istrinya tersebut.

Fitri begitu terburu-buru sampai sikutnya menyenggol sebuah gelas yang berada dimeja makan. Gelas terjatuh tanpa sengaja, menyebabkan suara berisik didapur. Pecahan gelas itu berserakan kemana-mana. Untungnya Hasna yang berada di sampingnya tidak terkena pecahan tersebut.

Fitri tersentak, ia menatap gelas yang hancur itu terkejut. Manik matanya segera mengarah pada Hasna, ia menelan ludah.

Hasna membelalakkan matanya marah, tangannya terkepal erat. Darahnya seolah naik keatas sehingga wajahnya memerah. Tangannya bergetar, pagi-pagi sudah mendapat masalah. Dadanya naik turun, berdetak tidak normal.

Fitri menundukkan kepalanya, "Maaf, Bu... Aku tidak sengaja," lirihnya. Sekarang pun ia sama takutnya.

"Ini masih pagi, tidak bisakah kau tak menimbulkan kebisingan!" Teriak Hasna, yang membuat Fitri semakin gemetar.

Tak ada nyali untuk melawan, ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Meremas tangannya sendiri.

Fitri menggeleng pelan, "M─ Maaf, Bu... A─ Aku benar-benar tidak sengaja..." Lirih Fitri terpatah-patah.

"Karena kau tidak berhati-hati, sialan!" Sembur Hasna, semakin marah. Matanya bergetar ketika menatap putrinya. Ia tak bisa menahan amarahnya, sudah naik pitam lebih dulu. Kesabarannya seolah sudah terkuras habis.

Fitri tersentak, relung hatinya terasa sakit. Kedua bahu nya mendadak lemas. Ia memberanikan diri menatap Hasna, sendu dan dipenuhi permohonan maaf. Sudah biasa, tetapi ia masih tetap terluka. Ia berusaha menahan setiap tetes air matanya. Namun, air mata itu tetap jatuh.

"Seharusnya kau duduk diam, tak usah membantu kalau-kalau kau membuat keributan, Fitri!" Hasna berteriak lagi, kali ini tangan kanannya terangkat tinggi-tinggi hendak menampar putrinya, Fitri yang melihat sebuah tangan yang melayang kearahnya spontan memejamkan matanya takut.

Sebelum Hasna bisa menamparnya─ Rayzen datang berada ditengah-tengah mereka, nahas telapak kaki Rayzen terkena pecahan kaca. Ia menahan pergelangan tangan Hasna agar tak jadi memberikan serangan pada pipi anak gadisnya.

Manik mata merah tersebut perlahan terbuka, menampakkan sosok ayah yang telah membelakangi dirinya untuk menahan Hasna.

"Lepas, Ray! Putrimu harus diberitahu!" Sosor nya, tatapan nyalang tersebut beralih pada Rayzen. Dirinya berusaha membebaskan tangan yang dicekal suaminya, tetapi Rayzen begitu kuat menggenggamnya.

Rayzen menatap sendu, tak tega. Dalam sekejap tubuh mereka menyatu, pria itu telah menarik tubuh wanita itu ke dalam dekapan. "Tenanglah, tenang... Ini masih pagi, Asna. Tak apa," Bisikan itu hampir menyentuh telinganya, seraya memberikan setiap belaian pada pundak dan punggungnya.

Rintangan Harsa { Perjalanan. }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang