Anak semata wayang yang tertinggal di Kota Bandung.
Sekolah Menengah Atasㅡ Senja Citraloka
12:00 WIB.Rintik-rintik hujanㅡ Disertai semilir angin yang menggelora, meluluhlantakkan sebagian besar dedaunan pohon. Tepat pada waktu istirahat, awalnya para siswa-siswi tengah menikmati santapan mereka di kantin. Namun, semenjak hujan perlahan kian menderas, entah sejak kapan satu hingga lima orang siswa-siswi lainnya membuka sepatu juga kaus kaki mereka.
Lantas berlari ke tengah lapang yang kini penuh dengan genangan air yang telah mencapai mata kaki. Saling mengejar satu sama lain, membiarkan tubuh mereka basah kuyup. Menjejakkan kaki diatas genangan air sehingga menimbulkan suara cipratan, gelak tawa terdengar renyah, seolah mampu mewujudkan sahitya diantara para insan remaja.
Keberadaan sebagian para siswa-siswi di kantin merasa terpukau akan pemandangan yang bersua dihadapan netra mereka. Tergoda untuk ikut bergabung, mereka pun berhamburan menuju ke tengah lapang menikmati hujan deras nan syahdu, melupakan segala resah yang melanda, meninggalkan segala akal yang rusak, pun mengesampingkan bahwa ini belum waktu mereka untuk pulang sekolah.
Hujan deras turun berasal dari awang-awang mendung, menangis tanpa sebab. Seakan-akan tengah melampiaskan beban yang selama ini ditanggung langit, sebuah awan gelap yang nampak hampa itu mengisolasi sepenuhnya cahaya mentariㅡ Tidak membiarkan mentari tersebut menerangi jagat raya dibawah sana. Membiarkan remaja sekolah menengah atas menikmati hujan yang telah semesta ciptakan.
Ditengah-tengah segala pikiran yang berkecamuk ganas, serta kecemasan yang menaungi kepala gadis itu, ia tengah duduk seorang diri di Kantin tanpa ada siapapun karena para siswa-siswi lain sedang menikmati hujan. Memandangi ke arah lapang meski akal pikirannya tengah melalang buana.
Empat hari berlalu semenjak Rayzen serta Hasna pergi ke Yogyakarta. Fitriani Putri, gadis itu menemukan bahwa relung hatinya terasa sepi. Kesepiannya begitu jelas, meskipun Rayzen memberi kabar, Fitri tetap tak dapat menghilangkan rasa sepinya yang semakin memuncak. Belum lagi sebuah kegelisahan yang setiap malam menyelimuti isi kepalanya, memikirkan hubungan dengan ibunya.
Satu hal yang Fitri takutkan, takut bila Rayzen juga Hasna mengalami kecelakaan parah. Takut pula bila orang tuanya pergi meninggalkan anak perempuan rapuh itu seorang diri di Kota Bandung.
Ingin berkunjung ke rumah nenek, tetapi Fitri tak begitu akrab dengan Devi. Tidak, lebih tepatnya Fitri tak pernah mau berkunjungㅡ Sebab hal itu mengingatkan pada masa lalu yang Fitri alami.
Masa lalu dimana Fitri ditindas secara memilukan, meskipun dengan ucapan yang tajam menusuk palung hati seorang Fitri kecil.
Fitri mengeratkan genggamannya pada sebuah gelas besar hangat berisi teh manis. "Ayah... Ibu... Fitri rindu," lirih Fitri. Ia menyesap teh hangat yang menyegarkan tenggorokannya yang terasa serak, walaupun kini rasanya ia enggan meminumnya hingga tandas.
Nayanika miliknya terpaku pada pemandangan yang terhampar dihadapannya. Irama hujan seolah merayunya untuk ikut bergabung dengan mereka.
Untuk sesaat, hati Fitri tergerak oleh sesuatu yang tak bisa didengar oleh indra pendengaran. Kini isi kepalanya hanya berpusat pada satu halㅡ Bayang-bayang masa kecilnya yang berharga, memori tersebut terlintas dikala ia tengah merindu.
"Fitri! Jangan hujan-hujanan seperti itu! Cepat kemari, sayang!"
Fitri beranjak dari kursi. Berjalan perlahan keluar dari denah kantin untuk menuju lapangan, meninggalkan teh hangat miliknya yang masih utuh.
"Putriku, nanti kau sakit. Ayo menurut pada ibumu!"
Setiap langkah terasa kian berjejal, berdegup pula jantungnya. Ia juga ingin menikmati hujan, ia ingin melepas penat yang selama ini menghantui atmanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintangan Harsa { Perjalanan. }
Novela Juvenil"Ayah... Ayo kita pergi dari sini, Fitri mohon..." Fitri memiliki ibu yang kasar, selalu menuntut, dan pemarah. Walaupun begitu masih ada sosok ayah yang selalu bersamanya, membuat hari-hari yang dilaluinya menjadi lebih cerah. Sang ayah seperti sos...