Bagian sebelas, awal pertemanan.

125 46 19
                                    

"Mengapa tidak melawan?" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari area lapangan yang dipenuhi para siswa lelaki sedang bermain sepak bola. Satu menit, dua menit─Fitri masih tidak menjawab. Keduanya sama-sama memandangi area lapangan, duduk berdampingan di kursi panjang yang tersedia dipinggir lapang.

Zenand dan Fitri tengah menjadi pusat perhatian, tetapi mereka hanya acuh tak acuh. Bagaimana tidak? Fitri yang tidak selalu berbaur dengan lelaki, kini ia sedang mengobrol dengan Zenand─salah satu siswa lelaki yang cukup terkenal karena gombalannya pada murid perempuan. Fitri masih bergeming, pun menjaga jarak dengan kakak tingkatnya. Ini membuat Zenand canggung, ia berdehem.

"Mengapa tidak melawan ketika tas mu direbut paksa olehnya, dan membiarkan isi tas mu berjatuhan?" Zenand kembali bertanya. Pertanyaan Zenand yang tadi pun masih belum terjawab oleh Fitri.

Kejadian tersebut baru saja terjadi pagi ini. Ketika Fitri masuk sekolah, tepat sekali didepan gerbang Yusyie mengganggunya kembali. Tas nya direbut paksa olehnya, lalu ia menjatuhkan isi tas Fitri dengan sengaja. Sesudahnya Yusyie pergi begitu saja, meninggalkan barang-barang milik Fitri yang berserakan ke tanah.

Beruntung Rayzen sudah pergi lebih dulu dan tak melihat kejadian yang cukup menyedihkan itu. Beberapa siswa menyaksikan kejadian tersebut, tetapi tak berniat untuk membantu. Alih-alih membantu, mereka memilih berpura-pura buta daripada harus terkena imbas. Kebetulan Zenand melihatnya─setelah Yusyie pergi tanpa tanggung jawab, ialah yang membantu memasukkan kembali barang-barang milik Fitri.

"Aku pikir aku tak perlu melawan, tak ada gunanya." Sahut Fitri tiba-tiba, tidak menoleh. Pandangannya tetap lurus ke depan. Jawabannya mengalihkan atensi Zenand sesaat, menatap Fitri penuh tanda tanya. Lantas ia kembali menatap ke tengah lapang.

"Kalau kau tak melawan, perilakunya akan semakin parah." Balas Zenand, mengernyitkan dahinya. Mendadak merasa kesal ketika mengingat kejadian tersebut.

"Kalau aku melawan, aku akan terjerumus lebih dalam. Ia akan semakin menyimpan dendam padaku." Sanggah Fitri. Meremas ujung rok seragamnya.

Zenand menoleh cepat, "Tetap saja kau perlu melawan─"

"Ayah dan ibuku menyekolahkan ku agar aku belajar, bukan untuk bertarung." Tukasnya, ada ketegasan dalam nada suaranya ketika Fitri berujar. Kali ini ia menoleh, menatap lelaki disampingnya. Sepasang netra keduanya bertemu, Zenand seperti bisa merasakan sorot mata Fitri yang nampak berambisi. Dahinya berkerut, ia sendiri tak mengerti.

"Setelah lulus aku juga tak akan berurusan lagi dengannya. Tugasku hanya satu, fokus belajar." Imbuhnya. Mengangkat kedua sudut bibirnya, tersenyum tipis.

Kerutan pada dahinya menghilang, kedua mata Zenand melebar sempurna. Kala itu embusan angin menyibakkan surai panjang milik gadis disampingnya, tepat bersamaan dengan senyuman tipisnya yang terpampang. Sejenak Zenand seolah-olah tak mendengar keramaian ditengah lapang, tak sadar jika ia melamun. Terlalu terpana. Ketika bel tanda masuk kelas pertama berbunyi begitu nyaring, ia tersentak kaget.

"Sudah masuk. Aku duluan, kak." Ujar Fitri. Beranjak dari duduknya seraya menundukkan kepalanya sopan.

"Ah─Ya, baiklah..." Zenand mengangguk, tersenyum canggung.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ* * *

"Hai, sedang menunggu jemputan?"

Kedua bola matanya membulat─terlonjak kaget mendengar suara berat yang mendadak muncul disamping telinganya. Lantas menoleh cepat kearah sumber suara itu, tepat sekali Zenand sudah berdiri disampingnya. Cukup dekat dengannya. Bahkan kini dada Fitri terasa naik turun, ia tentu saja amat terkejut.

Sementara itu Zenand memiringkan kepalanya, memasang senyuman tipis. Tak tahu jika kehadirannya yang tiba-tiba mengagetkan Fitri. Dasar tidak peka. Buru-buru Fitri mengalihkan pandangan, kakinya bergerak dua langkah ke kiri. Seperti biasa, ia perlu menjaga jarak.

Dahinya mengernyit, "Mengapa menjaga jarak?" Tanya Zenand. Sebelah alisnya terangkat. Namun, Zenand tak berniat untuk mendekat kembali kearahnya. Ia sadar diri, itu lebih baik.

"Ayahku bilang harus menjaga jarak dengan lelaki," papar Fitri. Tanpa menatapnya, ia kembali bergeser satu langkah. Membuat lelaki itu memiringkan kepalanya, heran. Senyuman tipis pada bibir lelaki itu terbentuk, tak terlihat oleh Fitri.

"Mengapa harus begitu─"

Ucapannya terjeda ketika sebuah mobil hitam berhenti didepan mereka. Dengan jendela mobil yang telah terbuka menampakkan sosok hangat Rayzen. Seperti biasa, senyuman hangat selalu ia tunjukkan pada sang anak tunggal. Senyuman Fitri pun merekah. Zenand melihatnya─ketika Rayzen tersenyum. Ia mengambil kesempatan untuk melirik Fitri, sialnya senyuman tersebut ampuh membuat Zenand kembali terpukau.

Fitri menoleh kearahnya, "Kak, duluan." Pamit Fitri, lantas ia segera menaiki mobil tersebut. Zenand mengangguk, ia pun tersenyum tipis pada Rayzen.

Lambat laun mobil itu kembali melaju. Dari jarak yang perlahan semakin menjauh. Zenand mengangkat tangannya sedikit─melambai kearah Fitri dan terlihat melalui pantulan kaca spion. Sontak Fitri menoleh ke belakang, benar saja Zenand melambai kearahnya. Tak lupa pula untuk memasang senyuman, bahkan bibirnya seolah bergerak mengatakan sesuatu.

"Sampai jumpa,"

Bersambung───ㅤꔫㅤ.

Halo, bagaimana kabarnya? Selalu jaga kesehatan ya, terimakasih sudah menunggu bagian 11😸🌻 update nya kebetulan hari Senin, hari-hari praktek.

20 vote untuk 2 bab atau 10 vote untuk 1 bab, ya?🤔

Rintangan Harsa { Perjalanan. }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang