Pukul satu siang ini mentari bersinar amat terik, seolah tengah tersenyum gembira. Menerangi segala penjuru bumi, membagikan kebahagiaannya kendati panasnya membuat sebagian manusia dibawah sana menderita. Beruntung Rayzen tidak kepanasan, sebab rumah usang yang sedang ditinggalinya saat ini memiliki teras dengan atap.
Kediaman usang ini yang telah menjadi tempat persinggahan keluarga mereka secara turun temurun. Awalnya disinggahi oleh mendiang ibunda Rakha yang merupakan nenek Rayzen, kemudian Rakha serta Devi, kini Rayzen dan Hasna.
Amat terawat, nuansa rumah tersebut sama sekali tak pernah pudar maupun mengalami perubahan. Warna nya tetap sama, yaitu putih dengan pintu kayu jati yang berwarna cokelat. Sebelah kiri rumah tersedia garasi mobilㅡ Garasi tersebut dibangun kala Rakha dan Devi mendiami rumah usang milik keluarganya itu, mungkin sudah beberapa tahun lalu sebelum Rayzen lahir ke dunia.
Terdapat pasu bunga yang berbahan plastik diantara sisi kiri dan sisi kanan rumah, masing-masing ditanami dengan bunga anggrek ungu. Memiliki serambi beralaskan keramik bercorak yang cukup luas, lebar dan panjangnya sekitar 2,3 meter × 2 meter.
Rayzen tengah bersantai, pria dewasa tersebut duduk seraya menyilangkan kaki, bersandar pada kursi yang didudukinya didepan teras rumah milik keluarganya. Segelas kopi panas pun masih menguarkan asap tepat berada diatas meja disamping kursi Rayzen. Siku lengan kirinya bertumpu pada lengan kursi, seraya telapak tangannya memegang sebuah buku yang memiliki judul 'Cara menjinakkan seekor kucing.' Buku lama sewaktu Fitriani Putri masih berusia sembilan tahun.
Kala itu Fitri merengek ingin meminta peliharaan seekor kucing, tetapi ketika putri semata wayangnya akhirnya mendapatkan kucing impiannya tersebut, seekor kucing yang telah mereka pelihara justru mencakar wajah Fitri. Oleh sebab itu Rayzen membeli buku ini setelah dirinya pulang dari perusahaannya.
"Ayah ayah! Fitri ingin pelihara kucing, kucing putih yang bulunya lebat sekali!"
"Nanti kita beli bersama-sama, ya?"
"Ingin diberi nama apa kucingnya?" Tanya sang ayah, sekilas manik mata sang ayah itu menatap kucing putih yang berbulu lebat, serta memiliki bola mata berwarna biru langit yang indah. Netra Rayzen kemudian beralih menatap kembali putrinya.
Fitri yang berusia sembilan tahun itu tampak berpikir keras, bersedekap dada dan mengernyitkan keningnya memandangi seekor kucing yang baru saja mereka beli. Dalam sekejap netra ruby Fitri berbinar-binar penuh keceriaan, ia menoleh pada sang ayah.
"Pompom! Fitri ingin memberi nama itu, ayah!"
"Ayah! Pompom mencakar wajah Fitri, kucingnya galak sekali!"
Keluhan yang berasal dari suara putrinya berputar kembali layaknya sebuah kaset pita usang yang didalamnya hanya berisi kenangan. Suara Fitri kecil yang lembut sama persis dengan sang ibu. Moment dimana rengekan anak semata wayang mereka dapat menimbulkan tawa hangat yang diciptakan Hasna pun Rayzen.
Hasna terkekeh rendah, menggeleng-geleng kepala pelan. "Fitri, kau jangan memeluk pompom terlalu erat. Nanti kucing nya marah padamu dan mencakar mu," tutur Hasna memberi pengertian, tersenyum simpul.
Gadis kecil itu mencebikkan bibirnya. "Huh, padahal Fitri hanya ingin memeluknya karena pompom sangat menggemaskan."
Tangan Fitri menunjuk seekor kucing yang bernama pompom itu menggunakan jemari telunjuknya yang kecil. "Lihatlah wajah pompom yang terlihat tidak merasa bersalah, ayah. Itu menyebalkan!" Protes Fitri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintangan Harsa { Perjalanan. }
Ficção Adolescente"Ayah... Ayo kita pergi dari sini, Fitri mohon..." Fitri memiliki ibu yang kasar, selalu menuntut, dan pemarah. Walaupun begitu masih ada sosok ayah yang selalu bersamanya, membuat hari-hari yang dilaluinya menjadi lebih cerah. Sang ayah seperti sos...