Kana berjalan tergesa menuju ruang rapat di lantai lima. Hari ini ada project manager baru yang akan memimpin tim mereka, menggantikan project manager lama yang mengundurkan diri bulan lalu. Perutnya sakit sekali setelah makan omelet dan saus pedas di rumah tadi pagi. Akibat dari tidak ada waktu untuk mengisi kulkas. Minggu lalu mereka menyelesaikan banyak pekerjaan sebelum berganti project manager.
Kana mendorong pintu kaca tebal di depannya. Sudah ada gerombolan si berat—Dinar, Fasa, Manal, dan Alen—yang duduk menghadap papan tulis bening di dinding sebelah kanan. Pandangan Kana menyapu ruangan dan berakhir pada sesosok laki-laki tinggi yang berdiri di depan papan tulis. Sepasang mata birunya menatap tajam ke arah Kana. Bahkan dari tempat Kana berdiri, warna biru matanya terlihat jelas. Perlahan Kana menutup pintu di belakangnya.
Kana menelan ludah sebelum memberikan alasan kenapa dia datang terlambat. "Ma...."
"Apa anda tidak bisa menghargai jadwal kita?" Suara tajam dan berat itu memotong kalimat Kana yang baru sampai di ujung lidah. Raut wajah laki-laki itu keras dan tampak menolak diajak kompromi.
Kana yang tadinya datang dengan percaya diri akan dimaklumi setelah mengemukakan alasan, mendadak merasa ciut dan enggan untuk mengikuti meeting ini. Seharusnya tadi Kana sekalian tidak usah datang, daripada malah membuat rasa mulas di perutnya kembali lagi. Siapa yang tidak mulas kalau di hari Senin pagi begini, sudah dihadapkan pada atasan baru yang tidak ramah sama sekali?
"Bisakah saya mengatakan alasan saya dulu?" tanya Kana dengan sebal.
Laki-laki ini tidak adil karena tidak memberinya waktu untuk mengemukakan alasan. Kana juga tidak ingin sakit perut sepagi ini. Ini bukan salahnya. Ini salah saus pedas sialan itu. Memangnya laki-laki ini tidak pernah sakit perut selama hidupnya? Hari Senin yang sangat menyebalkan itu bukan mitos, Kana mengeluh dalam hati.
"Tidak. Apa pun alasan anda, anda sudah datang sangat terlambat. Miss?" Suara tajam itu kembali terdengar dan tetap tanpa kompromi.
"Kana." Kana menyebutkan namanya.
"Jangan menganggap ... karena anda wanita satu-satunya di tim ini, maka anda akan diperlakukan berbeda." Suara yang keluar dari bibir laki-laki itu tidak berubah, tetap tajam dan dingin.
Kana mengernyitkan keningnya. Selain tidak ada kesan ramah dalam suaranya, hal yang sama juga ditemukan Kana pada tatapan mata laki-laki itu. Dingin dan tajam, sampai terasa menusuk hati.
Hati Kana mulai terusik. Dia tidak suka dibeda-bedakan dengan laki-laki dalam pekerjaan. Bidang ini benar-benar memerlukan lebih banyak lagi programer wanita—orang bilang IT identik dengan dominasi laki-laki. Kana berharap akan ada lebih banyak lagi lulusan-lulusan Computer Science yang mau jadi programer—bukan kerja di bank, maskapai asuransi atau PNS. Supaya cukup orang untuk mendirikan serikat programer wanita, untuk bersatu memberikan perlawanan jika mereka, programer laki-laki, memandang programer wanita sebelah mata.
Sejak masih kuliah dulu, Kana tahu wanita akan menjadi golongan minoritas dalam bidang ini, 80% isi kelasnya dulu juga didominasi oleh laki-laki. Tapi apakah lantas dosennya memberikan materi dan tugas yang berbeda karena Kana wanita? Pun ketika sudah bekerja. Atasan Kana sebelumnya tidak memberinya tugas yang lebih ringan hanya karena dia wanita. Kana tidak tahu kenapa laki-laki ini sinis sekali dengan kata wanita.
Demi Tuhan, Kana baru terlambat satu kali. Kana tidak pernah terlambat melakukan apa pun, dia orang yang teratur dan selalu tepat waktu. Hari ini dia sedikit tidak beruntung saja, karena saus pedas sialan itu. Bukankah ini hari pertama atasannya bekerja? Seharusnya dia kenalan dan beramah-tamah dulu, bukan langsung rapat dengan sangat serius dan mengerikan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DANISH BOSS
RomanceDari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage: *** Sebuah perjalanan dari belahan bumi utara menuju khatulistiwa, untuk mencari cinta. Berhasilkah ia mendapatkannya? *** Fritdjof Moller menempuh jarak lebih dari 11.000 kilometer, untu...