FIRE

59.3K 4.4K 60
                                    

"Aku dan Alen berencana menikah tahun ini." Kira duduk di tepi tempat tidur Kana.

"Apa? Cepet banget." Kira dan Alen baru kenal kurang dari dua tahun dan belum genap setahun pacaran.

"Kakak dan Alen males pacaran lama-lama. Capek. Boros." Kira memberi alasan.

"Maksudnya?"

"Pacaran itu butuh tenaga dan biaya untuk ketemu pacar, kalau menikah, kan, nggak, orang tinggal serumah." Kira menjelaskan lalu tertawa.

"Cuma karena itu?" Mulut Kana membulat. Kalau ada yang membuatnya iri pada Kira, itu adalah kemampuan membuat keputusan dalam waktu cepat.

"Nggaklah, kakak dan Alen memang sudah merasa siap untuk itu." Kira menjelaskan dengan benar kali ini.

Kana memeluk kakaknya, satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Sejak orangtua mereka meninggal dalam kecelakaan mobil lima tahun yang lalu, Kira menggantikan peran orangtua mereka menjaga Kana. Memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai relationship manager dan melanjutkan bisnis milik ayah mereka, usaha di bidang event organizer.

"Kita akan dapat tambahan keluarga baru." Kana senang Alen akan segera menjadi keluarganya. Juga nanti akan ada anak-anak Alen dan Kira, keponakan-keponakan Kana.

"Kamu mau ikut tinggal sama kami nanti?" Kira menawarkan.

"Hah? Ya enggaklah. Ngapain aku tinggal sama pengantin baru?" Kana tertawa mendengar ide paling konyol yang pernah didengarnya.

"Ya nggak ngapa-ngapain. Kalau kamu mau, kamu bisa bersih-bersih rumah Kakak." Kira menjawab lalu tertawa.

"Berani gaji berapa?" Kana tertawa. "Tapi aku tinggal di sini aja kalau boleh." Resminya apartemen ini milik Kira.

"Boleh. Kamu nggak papa nanti sendirian di sini?"

"Astaga, Kak! Aku bukan anak umur sepuluh tahun." Kana mengingatkan kakaknya. Bulan lalu Kana sudah merayakan ulang tahun kedua puluh tujuh.

Kira menganggukkan kepalanya, setuju dengan Kana.

"Apa kamu punya pacar?"

"Nggak. Kakak sendiri yang bilang aku nggak boleh gonta-ganti pacar." Kana sampai tidak bisa menghitung berapa kali Kira menasihatinya untuk berhenti mempermainkan perasaan laki-laki. Sampai sekarang, rekor berkencannya bisa membuat orang menggelengkan kepala. Sudah tidak bisa dihitung dengan jari.

"Tapi kan Kakak nggak bilang kamu nggak boleh pacaran."

"Ya belum dapat aja." Kana asal saja menjawab.

"Cari yang serius. Sebentar lagi Kakak akan menikah, kamu mungkin perlu seseorang yang bisa menemanimu." Kira mengedipkan matanya, sementara Kana hanya mendecakkan lidah.

Sudah tiga bulan Kana tidak punya pacar. Rekor terbaik, atau terburuk, karena Kana belum pernah single dalam waktu selama ini. Laki-laki datang dan pergi dalam hidupnya. Atau Kana yang sengaja membuat mereka datang dan memaksa mereka pergi. Kana membenamkan kepalanya ke bantal, dia sedang tidak ter­tarik untuk menjalin hubungan dengan siapa-siapa. Sepertinya Kira benar. Pacaran itu melelahkan.

***

Kana sedang memasukkan lock code ke pintu ketika mendengar suara langkah kaki di selasar apartemen yang sunyi. Saat menoleh ke kiri, dia mendapati Fritdjof sedang melangkah ke arahnya. Tidak cukup melihatnya di kantor, Kana juga harus melihat laki-laki ini di sini. Orang yang tidak terlalu menyenangkan bagi Kana, baik sebagai pribadi atau sebagai atasan.

"Apa kamu tinggal di sini?" Fritdjof sudah berdiri di sebelahnya.

Kana mengangguk. Kata 'kamu' terdengar sok akrab di telinga Kana. Seminggu ini, di kantor, orang ini menggunakan kata ganti 'anda'.

"Tinggal sendiri?" Fritdjof bertanya lagi.

"Nggak." Kana menggeleng dan mendorong pintu unitnya hingga setengah terbuka. "Anda mau mampir?" tanya Kana. Sekadar berbasa-basi karena melihat atasannya itu masih diam di tempatnya.

Laki-laki itu tetap diam dan menatap tajam ke arah Kana. Membuat Kana menelan ludah. Kenapa laki-laki ini tidak bisa bersikap sedikit lebih ramah? Bahkan sorot mata dan bahasa tubuhnya seolah memperingatkan dia tidak menginginkan siapa pun mendekatinya. Sudah jelas ada peringatan begitu, Kana masih saja menawarinya untuk mampir.

"Boleh."

Jawaban Fritdjof membuat Kana langsung menyesal. Sebelumnya Kana sudah yakin kalau bosnya itu akan menolak tawarannya. Fritdjof mungkin sedang mengunjungi temannya di sekitar sini. Oh, akhirnya Kana tahu nama atasannya ini setelah bertanya kepada Alen siang tadi.

"Jangan pernah telat lagi, juga jangan telat sama deadline, dia itu sudah bilang kalau dia nggak bisa menoleransi keterlambatan. Satu detik pun," kata Alen juga.

Fritdjof mengikuti Kana masuk dan Kana menyuruhnya duduk di sofa di depan televisi. Satu-satunya tempat yang bisa diduduki Fritdjof di apartemen kecil milik Kira ini. Kana berjalan ke dapur, mengambil minuman di kulkas dan memberikan kaleng minuman ringan kepada bosnya, merasa tidak perlu repot-repot membuatkan minuman hangat.

"Apa kamu tinggal di sini bersama pacarmu?" Fritdjof mengamati sekelilingnya.

"Nggak. Kalau kamu nggak keberatan, aku akan ke dapur untuk masak. Karena aku lapar." Tanpa menunggu jawaban, Kana meninggalkan Fritdjof menuju dapur.

Dia tidak ingin terlalu lama satu ruangan dengan laki-laki itu. Setiap kali bersama Fritdjof, Kana selalu ingin menatap bola mata berwarna biru itu. Ada sesuatu di bola mata itu yang membuatnya penasaran dan Kana merasa ingin selamanya tersesat di dalamnya untuk mencari tahu.

Kana tahu dia tidak boleh melakukannya, akan sangat tidak sopan kalau dia terang-terangan menatap mata Fritdjof.

"Apa kamu tidak keberatan aku ikut makan malam denganmu?" Tanpa dipanggil, Fritdjof menyusulnya ke dapur. "Lain kali aku bisa mentraktirmu makan malam untuk menggantinya." Dengan santai Fritdjof menarik satu kursi dan duduk.

Kepala Kana menoleh ke belakang. Baru kali ini ada laki-laki selain Alen duduk di kursi itu. Dahi Kana mengerut, berpikir sejenak, lalu tanpa mengatakan apa-apa dia menyiapkan piring untuk dua orang. Kana merebus pasta sambil menyiapkan saus bolognese. Setelah memeriksa isi kulkasnya, dia masih bisa membuat salad. Salad dressing di kulkasnya juga masih cukup untuk dua porsi salad.

***

Fritdjof mengamati Kana yang sedang memotong tomat ceri sambil memunggunginya. Kana tampak menikmati kegiatannya di dapur. Sedari tadi Kana bersenandung kecil. A woman who knows how to cook is really beautiful. Seharusnya Fritdjof telah mendapatkan kehidupan seperti ini. Setiap pulang ke rumah di malam hari, ada seorang wanita yang menyambutnya, yang membuat semua rasa lelahnya hilang hanya dengan senyum cantiknya, wanita yang menyiapkan makanan untuknya dengan penuh rasa cinta.

Sepertinya terlalu berlebihan kalau Fritdjof mengharapkan kehidupan sesempurna itu. Fritdjof menarik napas panjang.

Sepiring pasta dan semangkuk salad mendarat di depan Fritdjof. Juga pitcher berisi air putih dingin dan dua gelas bening. Kana tidak mengatakan apa pun, hanya duduk di kursi di seberang Fritdjof dan langsung sibuk dengan piringnya sendiri.

Tidak ada pembicaraan di antara keduanya. Fritdjof tidak keberatan dengan hal ini. Aneh, dia menemukan kenyamanan dalam keheningan. Nyaman, adalah rasa yang dicarinya jauh-jauh hingga ke benua ini. Kenyamanan yang ternyata dia dapatkan di dapur kecil, saat menikmati sepiring pasta bersama wanita yang tampak tidak ingin bercakap dengannya.

***

THE DANISH BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang